Tengah malam, sepertiga anggota Unit 5 Totinco berkumpul di Kediaman Kapten mereka. Mereka memberikan keterangan dari para Pelayan dan Pengawas Sawah La Besi yang sempat ditanya satu persatu. Terbongkar beberapa rahasia Juragan yang selama ini ia berusaha tutupi.
"Aku sudah mendengar semuanya, seluruh kerabat dekatnya akan kita tangkap terutama Ibu Tua yang menyerang Ujung dan Temmalara tadi. Kerja bagus terutama untukmu Temmalara, sudah kuduga kau pasti memiliki bakat terpendam," ujar Karassa.
"Ah tidak juga Kapten aku hanya..."
"Jangan terlalu merendah kau itu sudah mulai dianggap orang yang terpandang. Yah meskipun masih kekanak-kanakan tapi wajar. Umurmu masih 17 tahun santai saja," balas Karassa.
"Tapi Kapten apa tidak apa-apa memburu Pelaku sampai sejauh itu? kenapa kita tidak tunggu saja 1-2 bulan sampai ia kembali ke Tosora," tanya Data.
"Jangan bodoh untuk apa dia kembali ke Kota ini, bukan 1-2 bulan namun 1-2 tahun," jawab Temmalara.
"Keputusanku sudah matang, Data. Besok pagi kita akan langsung berangkat. Temmalara panggil kau kumpulkan setengah dari unitku nanti. Data dan Ujung kalian atur logistik dan catat dalam kertas biaya yang harus dikeluarkan lalu laporkan ke markas. Untuk Mario dan Anakbatu kalau mau dibayar, kalian harus membantu dalam ekspedisi ini. Jika mengerti, perintahkan yang lain bubar dan beritahu Letnan Badrul untuk mengatur bawahan ketika kita telah berangkat."
"Baik!" serempak jawab mereka yang berada di hadapan Karassa.
--
Seperti apa yang diperintahkan tadi malam, saat matahari baru terbit 50 Prajurit telah berbaris. 3 Kerbau untuk mengangkut perbekalan dan peralatan telah disiapkan. Sisa barang yang perlu diangkut, diserahkan kepada Prajurit yang mendapat tugas salah satunya adalah kelompok Temmalara termasuk Mario dan Anakbatu. Mereka berdua terhitung sebagai Tentara Bayaran.
Dalam struktur Tentara Profesional Wajo, seorang Kapten biasanya memimpin 100 pasukan yang dibantu oleh 2 Letnan. Posisi Letnan sendiri membawahi 50 pasukan. Untuk Milisi yang biasanya terdiri dari petani dsb, mereka biasanya tidak ada pembagian hierarkis yang rumit dan langsung dipimpin oleh seseorang yang memiliki pangkat di atas mereka.
Setelah disuruh bertanya-tanya sekali lagi oleh Karassa kepada para pedagang, Mario dan Anakbatu menunjukan ilustrasi wajah La Runggu yang didapatkan Temmalara kemarin. Seorang pedagang buka mulut ketika diberi uang. Ia mengatakan kalau pria yang mirip di gambar itu memborong banyak barang dagangannya sebelum pergi ke Luwu.
Secara rinci, ia tidak menyebutkan daerah yang mana. Anakbatu dan Mario hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala mereka. Jika dibandingkan dengan Gowa, Luwu sebenarnya memiliki provinsi lebih banyak meskipun wilayah Gowa yang wajib membayar setiap upeti tentu mencakup seluruh Sulawesi.
--
Matahari semakin membumbung tinggi ketika Mario dan Anakbatu menghadap Karassa. Meskipun dengan informasi yang kurang jelas, saat itu juga Karassa memulai keberangkatan. Derap langkah kaki mereka menarik perhatian Warga tidak terkecuali Prajurit dari Unit lain yang kebetulan sedang lewat berpatroli.
Mereka berfikir hanya buang-buang waktu membawa puluhan tentara hanya untuk mengejar pelaku pembuhuhan. Pelaku kejahatan seperti itu biasanya akan menghilang seperti yang sudah-sudah.
Setelah keluar dari Gerbang Benteng Tosora, Karassa mempercepat laju gerak pasukannya karena sekarang sedang musim penghujan.
--
Perbatasan Kerajaan Wajo-Kedatuan Luwu
Pergerakan pasukan Unit 5 dari Pitumpanua menuju ke perbatasan Luwu memakan waktu 2 hari dari total 5 hari perjalanan yang mereka tempuh. Jika dihitung sejak kematian La Besi, sudah 9 hari mereka berusaha untuk menangkap Sang Pelaku.
Para Prajurit kelelahan diakibatkan jalan yang berlubang dan terkadang ditumbuhi semak belukar. Moral telah menurun drastis, dalam benak mereka pasti timbul satu pertanyaan. Untuk apa menempuh perjalan melelahkan ini hanya untuk mencari seorang pembunuh yang kabur.
"Hah... ini ulahmu Temmalara," ketus Mario.
"Diam saja anggap ini latihan fisik," timpal Temmalara.
"Kalau tahu seperti ini aku lebih baik mengemis saja di Somba Opu," balas Anakbatu.
Jalan di Rawa itu sempit, mereka bertiga tidak dapat melihat mengapa rombongan yang berada di depan terhenti.
"Pasukanku dengarkanlah Jembatan ini rusak!" teriak Karassa dari atas kudaya.
"Sudah tahu jembatan dari Pitumpanua ke Luwu rusak. Bukannya naik perahu Kapten bodoh ini justru ia malah naik kuda," ketus salah satu Prajurit.
"Kapten! kita kembali saja ke Tosora!" sahut salah satu prajuritnya yang lain.
"Tidak kita akan memperbaiki jembatan ini! kalau bukan kita siapa lagi! ini tanah kita bersama!" teriak Karassa seraya membusungkan dadanya.
"Hoy kapten bodoh! kau pikir kau bisa memerintah kami seenaknya hah! pulangkan kami ke Tosora!"
Kali ini Karassa harus berhati-hati, ia tidak boleh sampai silap lidah. Dalam benaknya Kapten itu teringat dengan sebuah pasinrillik (Puisi khas Makassar/Bugis) yang mengkisahkan bahwa di masa-masa sulit seperti ini, jiwa pemimpin seseorang akan diuji.
"Dengarkan baik-baik! aku tidak akan menghukum kalian. Aku tahu kalian lelah! tapi kita ini adalah Askar yang mengabdi pada Kerajaan Wajo. Wajo telah melebur menjadi satu dengan Gowa dan juga Luwu. Tidak boleh ada dengki atau pamrih di antara Saudara! sudah kewajiban kita pula untuk membantu demi kesejahteraan bersama!"
"Bantu saja sana sendiri!"
"Iya benar kalau begitu kami lebih pulang untuk menunaikan kewajiban membuat pulau! seperti kamu tadi!"
"Dengar sendiri, bagaimana Keadilan akan tegak. Jika kita egois tidak mau mengorbankan waktu, harta, pikiran, bahkan nyawa. Wajo telah memberi kalian upah dan properti! lantas balas budi apa yang telah kalian perbuat untuk membalas kebaikan Kerajaan. Kalian semua tidak ada ubahnya seperti cacing yang hidup di perut manusia!"
Mereka hanya terdiam mendengar kata-kata Kapten mereka. Seketika Karassa telah meloncat aliran rawa seorang diri. Temmalara yang melihat Kaptennya dalam kesusahan berjuang seorang diri, ikut meloncat diikuti oleh Ujung dan Data.
Byurrr!
"Kapten kami bertiga siap mengorbankan nyawa untuk Wajo!" tegas Data.
"Baik meski hanya berempat aku yakin jembatan ini pasti bisa kita perbaiki," balas Karassa.
Mario dan Anakbatu memutuskan ikut turun membantu Kapten. Prajurit lain yang melihat kegigigan mereka berenam mulai tergerak hatinya untuk membantu. Gotong royong membagi tugas, ada yang menebang pohon dan mempersiapkan penyangga jembatan.
Meskipun ada rasa tersinggung di hati karena ucapan Kapten tadi, kebanyakan dari mereka mulai sadar bahwa keadilan dan kesejahteraan hanya bisa tercipta jika mereka semua berkomitmen untuk memperjuangkannya.
Hawa panas menyengat para Prajurit, dalam waktu tidak sampai 1/4 hari mereka semua berhasil menyelesaikan perbaikan jembatan yang tidak pernah diurus itu selama bertahun-tahun. Karassa yang sudah selesai membersihkan diri, tersenyum melihat hasil kerja Unit 5 Totinco.
Setelah beristirahat sebentar, pasukan itu kembali bergerak. Ketika telah sampai di Ujung Jembatan, dapat dipastikan mereka telah memasuki Luwu dari patok perbatasan besar yang sudah berlumut itu.
Karassa yakin La Runggu bersembunyi di Kota Palopo. Tidak mungkin orang yang ceroboh akan berpikir bahwa Tentara Wajo saat ini sedang mengejar dirinya. Tidak lama setelah mereka menyebrang dari jembatan itu, jarak di antara pepohonan tampak mulai berkurang
Pandangan mereka semua terbalalak mendapati sebuah Kampung yang berukuran sangat besar namun tidak berpenghuni. Pemerintahan di wilayah ini telah hilang. Di Tengak Perkampungan, terlihat rumah panggung yang sangat besar namun dindingnya telah berjamur dan tangga masuknya telah tertutupi oleh tumpukan kayu.
Di Kampung Raya yang telah ditinggalkan ini, Karassa memutuskan mengistirahatkan pasukannya secara total sebelum melanjutkan perjalanan esok hari ke Palopo. Para Prajurit tidak menyangka jika di Rumah-Rumah itu masih terdapat sisa harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya.
Kelompok Temmalara bertempat di tempat yang sama dengan Karassa di Rumah Panggung yang besar itu. Di Gudang Bawah Tanah, Anakbatu dan Mario yang berniat mencari harta menemukan pemuras dalam sebuah peti yang mulai lapuk.
Akan tetapi, kondisi senjata itu cukup memprihatinkan. Karat telah menyebar di beberapa bagian besi dari Pemuras. Temmalara memeriksa pemuras itu dan mendapati bahwa mekanisme tembaknya masih menggunakan sumbu tali.
"Senjata yang bagus, ambil saja pemuras itu. Aku tidak tertarik mengambil apa yang ditemukan oleh bawahanku," ujar Karassa.
"Terima kasih kapten!" - Balas Temmalara
"Tidak perlu haha harusnya aku yang berterima kasih kepadamu. Kalian berlima seperti orang kurang waras saat melompat ke Rawa tadi."
"Kapten kenapa kau tidak cambuk saja yang menghinamu tadi?" tanya Temmalara.
"Aku ini tidak gila hormat Temmalara, lagipula jika kita menghukum prajurit disaat seperti itu malah akan berbalik. Kita ini harus mempunyai seni dalam memimpin," jawab Karassa.
"Aku belum mengerti Kapten?" tanya Temmalara masih kebingungan dengan 'seni' yang dimaksud.
"Contohnya seperti ini, ada seorang Bangsawan yang sadis dan semena-mena. Suatu hari ia sadar kalau sebentar lagi wilayahnya akan diserang Kerajaan lain. Pasukannya bodoh dan terbiasa bertindak semaunya. Lalu tiba-tiba Bangsawan ini datang dan menyuruh prajuritnya untuk berkumpul beserta Kapten Pasukan itu. Kau yang tahu sedikit tentang memimpin, tahu kalau mereka tidak mau sepenuhnya menuruti kehendaknya Bangsawan itu," jawab Karassa.
"Benar Kapten," balas Temmalara seraya mengangguk kecil.
"Kemudian agar pasukannya menuruti kehendaknya, Bangsawan itu memenggal kepala Kaptennya sendiri dan menendang kepalanya sendiri. Menurutmu apa pasukannya dapat ia kendalikan?" tanya Karassa.
"Tapi dia bagaimanapun adalah Bangsawan pasti militer akan mematuhinya, apalagi ia sampai memenggal kepala bawahannya," jawab Temmalara.
"Haha kau ini, masih belum ada perubahan. Bangsawan tadi dihajar sampai mati karena bagi pasukan tadi pemimpin mereka yang sejati hanya Kapten itu tadi."
"Bagaimana bisa? bukannya mereka telah dibayar?"
"Uang bukan segalanya, kesetiaan tidak bisa dibangun dalam waktu semalam. Seorang Pemimpim harus bisa mengendalikan situasi dan paham keinginan pasukannya. Setiap Individu memiliki tujuan yang beragam. Jika keinginan itu tidak dapat disatukan, sebesar apapun jumlah sebuah Pasukan maka akan rapuh."
"Terlalu filosofis aku masih kurang paham Kapten haha..."
"Kau itu bukan hanya memiliki keberuntungan namun juga bakat kepemimpinan. Temmalara tidak semua Aristokrat itu sejahat yang kau kira, luaskan pandanganmu itu anak muda," ujar Karassa seraya memukul kepala Temmalara.
"Terima kasih Kapten!"
"Oh sepertinya kau mau pukulan ini lagi ya?" tanya Karassa.
"Tidak Kapten maksudku..."
Brak!
"Duh..."
Brak!
Kampung Besar yang telah mati itu untuk sesaat menjadi hidup kembali. Moral Unit 5 naik, perjalanan menembus belantara menuju Luwu sama sekali tidak terasa sia-sia. Malam yang panjang itu diisi dengan sukacita.