webnovel

- La Runggu

Anakbatu terbangun ketika suara lolongan serigala terdengar dari arah pepohonan. Cacing yang berada di perutnya kembali meronta-ronta meskipun tadi sempat memakan masakan sagunya bersama dengan Mario. Ketika ia keluar untuk menghirup udara malam, bau yang menggugah selera makan tercium olehnya.

Anakbatu ikut duduk bersama beberapa orang prajurit yang sedang asyik mengobrol. Matanya tidak berkedip ketika melihat ayam yang baru saja dibakar itu. Para Prajurit yang tadinya asyik dengan kopi dan candaan mereka kini melirik ke arahnya.

"Nak apa kau tersasar? sepertinya kau tidak punya teman," sahut salah satu Prajurit.

"Ah tidak juga mereka sedang tertidur saat ini. Aku adalah Tentara Bayaran yang dipekerjakan oleh Kapten."

"Padahal kau masih anak-anak. Tenang sebentar lagi ayam ini akam matang. Anggap saja kami berenam ini Pamanmu, kau ikut bergabung bersama kami jauh-jauh dari Makassar pasti memerlukan uang kan, jangan ragu untuk bercerita pada kami," balas Prajurit itu.

"Bagaimana bisa Paman tahu kalau aku berasal dari sana?" tanya Anakbatu penasaran.

"Haha dari logatmu itu... Istriku juga dari Makassar. Kau mengingatkanku pada Putraku yang sudah berusia 14 tahun namun dia terlalu dimanja ibunya. Ya mau bagaimana lagi, berbeda jauh denganmu anak itu. Sampai sekarang tingkahnya seperti anak balita senang merengek padahal laki-laki."

"Pasti cacing di perutmu sedang mengamuk, lihat ayamnya sudah matang. Ambil saja semuanya, ini sisa ayam yang terakhir. Kami sudah puas, Anak laki-laki harus banyak makan. Apalagi kau sedang dalam masa pertumbuhan." ucap Prajurit lain, memberikan ayam itu kepada Anakbatu.

"Baik Paman..." ucapnya seraya memotong bagian paha ayam itu.

"Bagaimana rasa ayam dari Luwu?"

"Lezat tidak ada bedanya dengan ayam dari Somba Opu. Dagingnya empuk tidak terlalu keras," balas Anakbatu.

"Maaf tadi Paman malah mengutarakan masalah pribadi hahaha."

"Tidak apa-apa Paman, aku juga berandai-andai seandainya aku punya ayah seperti paman... aku juga ingin dimanja setiap hari. Tapi saat aku masih kecil lagi, aku selalu meminta-minta makanan. Jadi aku tidak pernah merasakan yang namanya kasih sayang orang tua," Balas Anakbatu sambil memandangi bekas gigitan di ayam itu.

"Kehidupan itu memang penuh lika-liku," balas Prajurit itu seraya memandangi bintang-bintang.

"Kalian mau dengar kisah dari Kota Malangke? Kakekku berasal dari bekas Kotaraja Luwu sebelum berpindah ke Palopo." tanya Prajurit yang lain.

Serempak mereka mengangguk, penasaran ingin mendengarkan kisah itu dari seorang Prajurit yang memiliki ikatan darah dari Luwu.

"Bercerita tentang tragedi itu tentu tidak lengkap tanpa menceritakan tentang Bugis Luwu iya kan teman-teman?" tanya Prajurit itu.

"Kau tahu sendiri kami jarang-jarang mendengar kisah tentang Luwu," balas Prajurit yang lain.

"Itu karena pengaruh Luwu telah melemah digantikan oleh dominasi Gowa, akan tetapi keadaanya berbeda pada zaman dahulu. Kedatuan Luwu adalah Hegemon regional Sulawesi. Wilayah yang membayar upeti kepada Sang Datu meliputi Sulawesi bagian Selatan, Tengah, Barat hingga ke Timur. Ibukotanya berada di Malangke, menurut dongeng orang-orang terdahulu di kota itu Tumanurung turun ke Bumi."

"Aku pernah mendengar cerita Tumanurung adalah Karaeng lelaki yang tangguh," sahut Anakbatu.

Seketika mereka tidak dapat menahan gelak tawanya apalagi Anakbatu bercakap dengan mereka menggunakan logat daerahnya.

"Haha haduh perutku kau ini... bahkan bocah di pedalaman yang paling terpencil di Minahasa tahu kalau Tumanurung itu perempuan. Anak muda zaman sekarang begitu mudahnya melupakan cerita moyang kita. Baik Bangsa kita To Ugi maupun bangsa mereka Anak Mangkasara, Bangsawan kita semua di wilayah ini adalah anak turun Arung Tumanurung." ujar Prajurit itu sambil memegangi kayu.

"Kenapa gelarnya Karaeng bukan Ratu?" tanya Anakbatu kebingungan.

"Cerita dari turun temurun memang seperti itu. Masa Tumanurung berakhir hingga muncul Kerajaan dari Jawa yang bernama Majapahit. Kerajaan besar itu berambisi ingin mempersatukan Nusantara, dibawah kepemimpin mereka tentunya. Keturunan mereka tidak punya malu mengaku kalau mereka sempat menguasai Sulawesi. Padahal di naskah I La Galigo jelas tertulis bahwa Luwu hanya berdagang besi dengan mereka."

"Hah! ada-ada saja," balas salah seorang Prajurit.

"itulah kawanku mereka pikir waktu itu kita ini takut dengan mainan cetbang (pendahulu lantaka) tiruan meriam dari Mongolia. Besi di wilayah utara Luwu bercampur dengan logam mengkilat yang kita tidak tahu namanya (Nikel). Empu Kerajaan itu sangat senang membuat keris mereka menjadi mengkilat."

"Lalu kenapa produksi besi dari Luwu bisa hancur?" tanya salah seorang Prajurit.

"Benar aku saja sampai bingung kenapa bisa," timpal salah seorang Prajurit yang lain.

"Ada sebab musabab di balik kejadian itu, percampuran besi Luwu dengan logam lain membuat ketangguhan senjata menjadi rapuh. Persediaan besi di Bagian Selatan yang tidak tercampur dengan logam lain perlahan mulai menipis. Untuk memenuhi kuota permintaan yang kian meningkat, Datu Luwu terpaksa memusatkan semua kegiatan penambangan ke Utara." jawab Prajurit itu menatap kosong api unggun yang mulai redup.

"Berarti karena alat sehari-hari yang digunakan pada masa itu tidak tahan lama."

"Benar apa yang kau katakan, terlebih setelah populernya meriam dan lantaka. Luwu semakin tertekan, senjata api yang dibuat dari Kerajaan itu selalu gagal memenuhi ekspektasi."

"Tapi menurutku bukan berarti Luwu harus mengandalkan persediaan besi dari wilayah lain dan menghentikan total penambangan."

"Memang idealnya seperti itu, namun Kerajaan Gowa secara licik memanfaatkan kesulitan Luwu. Siapa yang menguasai besi, menguasai Sulawesi. Gowa memasok besi murah dari Sumatra, besi yang terjual mampu digunakan untuk membuat badan dan peluru meriam secara sempurna."

"Bukan licik namanya, Luwu saja yang tidak bisa beradaptasi," sahut Anakbatu.

"Tetap saja licik kau pikir di mana keberadaan Kerajaan Siang sekarang yang nasibnya sama seperti Bone dan Soppeng?" tanya Prajurit yang bercerita itu.

"Sudahlah lanjutkan saja ceritanya, dia masih anak-anak." jawab salah seorang Prajurit.

"Keadaan semakin buruk seiring waktu hingga puncaknya kira-kira 40 tahun yang lalu. Mereka yang menggantungkan mata pencaharian dari besi beramai-ramai mendatangi Istana Datu di Malangke. Tidak lama setelahnya, kobaran api menghancurkan segalanya. Kakekku ikut membakar Kota tempat ia dilahirkan. Ironis memang pasti ada rasa penyesalan di dada Beliau."

"Menyedihkan andai yang berhasil mempersatukan Sulawesi adalah Bugis. Hoahem mengantuk, padahal besi dari Luwu melimpah ruah. Sudah ya aku mau tidur duluan, tidak sabar ingin mengunjungi Palopo," ujar Prajurit yang bercerita tadi seraya memukul punggungnya yang terasa pegal.

"Nak sebelum tidur kau habiskan dulu ayam itu," sahut salah seorang prajurit menepuk pundak Anakbatu.

Anakbatu hanya terdiam setelah mendengar kisah itu. Ia tidak sadar bahwa ayamnya yang di taruh pada nampan telah menjadi dingin.

--

2 Hari kemudian

Kota Palopo, Kedatuan Luwu

Palopo merupakan kota yang lebih besar daripada Tosora. Diperkirakan 15.000 hingga 20.000 orang hidup di Kotaraja. Datu Luwu menetap dan memerintah, pengganti Kotaraja Malangke yang telah ditinggalkan.

Karassa dari atas kudanya melihat Benteng Kota dari kejauhan. Berbeda dari Tosora, dindingnya terbuat dari kayu dan bambu yang terdiri atas 3 lapis dan hanya lapis terluar yang dikelilingi oleh parit. Penjaga Benteng juga tidak sebanyak di Tosora, samar-samar hanya ada 2 orang yang berjaga disitu.

"Kau yang menaiki kuda pasti Pemimpin mereka! apa maksud kalian datang kesini dengan membawa pasukan sebanyak ini!" teriak salah seorang Prajurit Berkuda Luwu. Dibelakangnya, terlihat samar ada 6 Prajurit yang bersembunyi di balik pepohonan.

"Aku Karassa, Kapten Unit 5 Totinco dari Tentara Wajo. Jangan khawatir kami kesini untuk mengejar buronan Wajo," balas Karassa.

"Unit apa itu? Kapten gelar dari wilayah mana? apa kalian musafir dari Totinco, oh Ibuku berasal dari Wanua itu," tanya Prajurit itu.

"Oh tujuan kami adalah berperang," jawab Karassa.

Kepalaku jadi tambah pusing?" Prajurit itu semakin kebingungan sembari menggaruk kepalanya.

"Haha maaf jangan dimasukan ke hati. Tadi hanya candaan saja, intinya seperti yang kukatakan tadi. Kami ke Palopo karena mendapat perintah dari Arung Wajo. Sekarang apa kami diizinkan memasuki Kota?" tanya Karassa.

"Baik akan tetapi setelah sampai di Gerbang Kota, kalian harus menyerahkan semua senjata kecuali badik. Kau nanti ikut kami jelaskan semuanya, ayo bergerak sekarang ikuti aku!" sahut Prajurit itu memberikan aba-aba.

Ketujuh Pengendara Kuda itu menuntun Prajurit Wajo ke Gerbang Benteng. Karassa menghadap salah satu penjaga dan menjelaskan semuanya dengan rinci. Prajurit Luwu merasa kagum dengan kegigihannya.

Pasukannya bahkan sampai memperbaiki Jembatan Perbatasan yang rusak hanya demi mencari seorang buronan.

--

Sesampainya di dalam, Karassa membariskan mereka semua dan untuk saat ini membiarkan kebanyakan Prajuritnya bersantai bebas di Palopo. Khusus untuk Kelompok Temmalara dan Karassa, mereka sendiri yang akan mencari keberadaan Runggu.

"Santainya yang lain, mereka berkunjung ke Pantai Lambopo. Sementara kita masih sibuk bekerja," ketus Data.

"Yah mau bagaimana lagi Data bukankah kita berempat yang dari awal bersikeras ingin menuntaskan pembunuhan ini. Rekan kita yang lainnya hanya ikut arus saja, setahuku di Daerah yang kau bilang tadi kalau tidak salah masih banyak bakau yang menutupi pasirnya," balas Ujung.

"Itu dulu sekarang telah dibersihkan dan jadi tempat rekreasi kesukaan semua kalangan."

"Ah mau di Pantai manapun sama saja membosankan, sungguh bosan Kakak tidak bisa cuci mata," sahut Mario.

"Kalau kau bosan lebih baik menikah saja Mario. Tidak ada tempat mandi laki-laki dan perempuan bercampur. Pantai hanya khusus untuk laki-laki," timpal Ujung seraya menepuk pundaknya.

"Kasihan sekali Mario," sahut Temmalara.

"Memangnya kau yang sudah punya pendamping!" ketus Mario menunjuk ke arahnya.

"Oh... begitu ya kenapa kau tidak cerita kalau sudah menikah hah Temmalara," sahut Ujung seraya memukul kepalanya.

"Kakak-kakak sudah dari tadi kumohon diamlah...maaf apa Bapak pernah menjumpai orang ini." tanya Anakbatu seraya memperlihatkan ilustrasi wajah La Runggu pada seorang penjual durian.

"Oh aku tahu persis Pemuda ini, katanya ia menginap di Penginapan satu-satunya kota ini. Orangnya sangat baik, kemarin dia membeli semua durianku." jawab penjual durian itu.

"Dia bukanlah orang baik-baik, bisa jadi itu hanya kedoknya saja. Hampir dua minggu yang lalu ia membunuh Ayahnya sendiri, kami datang dari Wajo ke sini untuk menangkapnya."

Setelah mendapatkan keterangan itu, mereka melaporkan kepada Kapten yang baru saja menyusul mereka ke Pasar tentang keberadaan Pelaku. Karassa kemudian kembali menemui para Prajurit Luwu di Titik Penjagaan untuk melaporkan hal ini.

--

"Kapten sebaiknya kita berbalik arah saja atau paling tidak menunggu rekan kita semuanya datang ke sini," ujar Temmalara keringat dingin sedikit membasahi pipinya.

"Biarkan saja mereka bersenang-senang, ini urusan kita berenam," balas Karassa.

Brak!

Belum sempat Temmalara berbicara lagi, pintu penginapan terhempas. Karassa tidak segan mengeluarkan badik dan mengarahkannya ke wajah Gadis Pelayan Penginapan itu. Tidak seperti Ujung maupun Data, Temmalara hanya diam menghadapi situasi yang telah memanas.

"Kalau tidak ingin wajahmu itu kami rusak cepat katakan di mana Sulewatang La Runggu dari Wajo!" teriak Karassa.

"Ampun baik Tuan... Sulewatang..."

Tap...

Langkah kaki mengerenyitkan kayu papan di penginapan itu. Dari dalam, muncul 20 orang dengan persenjataan lengkap menghadang, tombak-tombak mereka sudah diacungkan. Beberapa orang dari mereka, memisahkan diri dan berdiri di tempat masuk penginapan.

Tidak ada jalan keluar lain selain bertarung sampai titik darah penghabisan. Temmalara tidak sadar keringat dinginnya telah membasahi wajahnya. Sepertinya benar kata Prajurit dari kelompok yang lain, Kapten ini hanya pandai memainkan kata-kata.

"Aku tahu ini pekerjaan kalian... tapi apa hanya demi uang semata, siri kalian digadaikan semua!? demi anak manja otak udang itu!" sahut Karassa.

"Besar juga nyalimu, tapi sebelum meninggikan suaramu alangkah baiknya sadar di mana posisimu saat ini bodoh. Kami menang jumlah haha! sekarang cepat katakan katakata terakhirmu!" teriak Pengawal itu.

Srat!

Kali ini leher Karassa sudah dibeset oleh Pengawal itu. Lehernya mengeluarkan darah yang banyak namun sorot matanya masih tajam menatap Pengawal Runggu, sama sekali tidak terlihat rasa gentar meskipun telah dikepung dan diintimidasi mereka.

"Kau yang gentar dasar bodoh, kenapa tidak langsung julang saja leherku tadi. Tapi jangan harap bisa selamat, kalian akan diburu meski bersembunyi ke sarang semut sekalipun. Dengar aku punya tawaran menarik bekerja sama denganku, akan aku berikan masing-masing kalian 5 Dinar jika kita mau menyelesaikan masalah ini dengan damai."

"Heh! julangan tombak yang kedua tidak akan meleset!"

"Sungguh bodoh jika kalian yang bertarung mencari uang menolak penawaranku. Apa kalian ingin bertarung demi Anak Manja itu hingga mati haha, yang ada siri kalian yang akan hilang nanti. Kau pasti paham maksudku kita ini sama-sama dari Wajo, pantang bagiku berbohong."

"Semuanya turunkan tombak! kau Prajurit Wajo apa jaminannya!?" ujar Pengawal itu menegakan kembali tombaknya.

"Nyawaku, seluruh propertiku yang ada di Kota." balas Karassa, tatapannya masih sama dari awal.

Tidak hanya Temmalara, Mario dan Anakbatu yang berkeringat dingin. Ujung maupun Data mulai merasakan hal yang sama dengan mereka bertiga. Begitu mudahnya Kapten mereka menyerahkan segalanya sebagai jaminan.

"Haha... hahaha! baiklah aku mengenal beberapa Prajurit Wajo yang sering berjaga di Gerbang Selatan, ingat hutangmu hari ini. Cepat kalian seret Runggu dan berikan dia!" balas Pengawal itu.

"Baik!"

Runggu diseret oleh Pengawalnya sendiri, kaki dan tangannya diikat. Mulutnya belum disumpal karena Karassa masih penasaran kenapa ia tega membunuh ayahnya sendiri. Pengawal itu beberapa kali menendang Runggu yang telah tersungkur sebelum pergi meninggalkan penginapan.

Brak!

"Hoy kembali! apa maksud kalian menendang Tuan sendiri! lepaskan sialan! haaah!" teriak Runggu histeris seraya merayap-rayap di lantai.

"Temmalara pengalaman ini pelajaran berharga untukmu. Tidak semua masalah seperti tadi harus diselesaikan dengan pertarungan," ucap Karassa sembari menempelkan daun sirih ke luka yang berada di lehernya.

"Tapi bukankah Kapten mengarahkan badik ke arah Gadis tadi?" tanya Temmalara masih kurang paham.

"Kau ini... mana mungkin aku sejahat itu terhadap perempuan, aku tentara bukan pembunuh bayaran," jawab Karassa.

"Dari tadi kalian berkelakar apa maksudnya! aku ini Sulewattang cepat kalian lepaskan!"

Brak!

"Semua sama di hadapan hukum, jika Raja sembarangan membunuh rakyat jelata maka harus di qishas. Hoy kalian yang di luar menguping kan?" ucap Karassa setelah menendang wajahnya.

Karassa seorang diri mengangkat Runggu yang pingsan. Para Pengawal yang masih berada di luar tertawa terbahak-bahak melihat Tuan mereka yang tidak berdaya. Runggu dibawa ke sebuah Rumah yang kosong untuk dimibtai keterangan.

Splash!

"Hah ampun bukan aku pelakunya, demi..."

Brak!

"Jangan membawa nama Allah untuk berdusta, kami sudah tahu sekarang akui saja!" teriak Karassa.

"Arghh! bu... bukan aku pelakunya! tolong handuk dingin,"

"Temmalara, Data, Ujung, Mario, Anakbatu. Aku serahkan pada kalian. Gali terus informasi darinya sampai ia mau mengakui kejahatannya. Kaptenmu ini juga ingin menikmati pasir putih di Lambopo," sahut Karassa.

"Baik Kapten!" serempak balas mereka berlima.

Runggu diseret masuk ke dalam ruangan bawah tanah. Ruangan itu gelap, hanya ada obor kecil yang menerangi.

"Mengaku kau pembunuhnya!" sahut Temmalara.

Bruk! 

"Ugh... bukan aku pelakunya bocah sialan! memangnya kalian punya bukti! ada saksi yang melihat!" teriak Runggu.

"Haha ya jelas tidak ada saksi Paman. Kau tidak mungkin sebodoh itu membunuhnya di khalayak umum," sahut Anakbatu meludahi wajahnya.

"Pengawalku tolong aku! kalian di mana!?"

Brak!

"Berisik kau itu lelaki bukan!" sahut Data.

"Siksa saja! jadikan samsat tinju! sekaligus untuk melatih kekuatan. Katanya kau ingin menjadi kuat Adik Temmalara," ujar Ujung.

"Kenapa kau memukul kepalaku tadi Kakak Ujung?"

"Soalnya kau tidak terbuka kepada kami tadi..."

Runggu yang terikat di kursi itu tak kuasa selain menggoyangkan badannya. Pukulan demi pukulan mendarat di wajahnya namun ia masih tetap tidak mau mengaku. Sobek sudah wajahnya berlumiran xarah.

Data yang melihat cara ini tidak membuahkan hasil segera mengambil karung, mengikatnya di leher Runggu dan menjungkir balikan kursi itu.

Brak!

"Ughh... Mmmhhhh!" teriak Runggu meronta-ronta kembali.

"Mario ambilkan bejana air!" sahut Data

"Baik!"

"Ughh..."

"Hehe kau tahu kan Runggu, dengan bejana ini aku mau apa."

"Ini Kakak Data," ujar Mario menyerahkan bejana air.

"Siapa pelakunya kalau bukan kau? ya lagipula tidak apa kalau kita siksa orang yang membunuh Ayahnya sendiri haha!" seru Data dengan bejana penuh yang sudah ia pegang.

"Mmmhhh!"

Splash!

"Mengaku saja sialan!"

Bejana air itu dialirkan perlahan ke wajah Runggu. Rasanya sakitnya bisa disamakan seperti tenggelam. Setelah bejana itu habis, Mario dengan sigap mengambilkannya bejana yang lain. Hal ini diulangi oleh Data hingga beberapa kali.

*Blurrrghhhhh*

"Cih, masih tidak mau berbicara!" teriak Data sammbil membuka karung itu.

"Haaaahh... ampun tidak bisa bernafas."

Lalu posisi duduk Runggu dibenarkan, kini giliran Ujung yang menyiksa Runggu. Ternyata ia sudah membawa gunting untuk mencukur bulu domba.

"Kau mau apa!" teriak Runggu histeris.

"Oh mau mencukur bulu domba, hoho hanya bercanda. Jarang ada yang pelihara domba disini, menurutmu aku mau apa?" ujar Ujung seraua menggunting-gunting udara.

"Bukan aku pelakunya, tapi pengawalku! ampun aku sudah jujur!" ujarnya sambil mengeluarkan air mata.

"Oh bisa menangis juga ya haha. Saat Ayahmu kau bunuh kau kesenangan kan? bagaimana kalau kita main permainan anak perempuan itu yang pastinya menyenangkan. Aku lupa namanya..."

"Sudah kubilang Pengawalku yang membunuhnya!" ujarnya semakin histeris.

"Lihat kuku jarimu panjang sekali dasar anak nakal!" ujarnya sambil menyelipkan jari kelingkingnya ke gunting.

"Tolong jangan..."

"Tolong iya!" teriak Ujung.

Arggghhh!

Jari kelingking Runggu putus digunting. Darah bercucuran di lantai. Tidak lama Runggu pingsan karena tidak kuat menahan sakit.

"Bagaimana ini cepat sekali dia pingsan," sahut Temmalara.

"Apa kau mau digunting hidungmu?" tanya Ujung mengarahkan guntingnya ke Temmalara.

"Sudahlah Kak tidak lucu," jawabnya acuh tak acuh.

"Apa jangan-jangan dia mati karena kita siksa dari tadi," ujar Mario.

"Tidak mungkin orang yang jarinya putus langsung mati Mario. Nanti dia bangun sendiri lalu siksa lagi sampai dia buka mulut. Hoy Ujung jangan tanggung kalau ingin menyiksa, seharusnya kau putus semua jarinya tadi." balas Data melirik ke arah mereka berdua.

"Aku ingin muntah..." balas Anakbatu pergi meninggalkan mereka berempat.

Tidak lama setelah jarinya yang putus diobati, Runggu diberi ramuan untuk membuatnya siuman kembali. Ketika ia membuka matanya, Ujung membasuh gunting itu secara langsung di depan matanya.

"Kakak Runggu ayo kita main lagi," ucap Ujung tersenyum sinis.

"Aku sudah jujur dari tadi, Pengawalku yang membunuhnya!"

"Runggu si pembunuh bohong lagi."

"Tidak aku tidak mau mati!" teriaknya kembali histeris.

Arrrghhh!

haaahhh!

arrrghhh!

haaaaahhh!

heaaaghhh!

hueeekkk!

ehkkk!

"Siapa yang menyuruhmu muntah!" teriak Data.

"Tidak ada... ampun..." ujar Runggu, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas.

Jempol, jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking dari tangan kiri Runggu berceceran semua di lantai. Darah terus mengalir dari bekas lukanya. Data lalu menutupi dan membersihkan luka itu agar tidak dimasuki kuman, sebelum disiksa lagi.

Kali ini Ujung telah mengapit gunting itu di hidung Runggu, Ia menawarkan kesempatan terakhir. Darah segar mengalir dari apitan gunting itu ia tidak segan-segan untuk melakukannya.

"Mengaku! keras kepala sekali dari tadi! apa setelah ini aku tusuk saja lehermu!" bentak Ujung.

"Haaahhh..."

Srat!

Melayanglah potongan hidung itu jatuh ke tanah, darah segar mengalir membasahi wajahnya. Namun ia tidak berteriak karena suaranya habis.

"Mengaku sialan!" teriak Ujung yang sudah habis kesabaran.

"Ya aku... yang membunuhnya, tapi karena dia duluan yang mengguna-guna adik-adikku. Aku hanya melakukan pembelaan diri. Tapi kalian yang tidak tahu apa itu keadilan berlagak layaknya... pahlawan," ujar Runggu dengan tatapan sayu.

"Akhirnya mengaku juga," sahut Temmalara.

"Temmalara! kau panggil Karassa ke sini sekarang," ujar Ujung.

Temmalara segera pergi ke Pantai untuk melaporkan bahwa ia berhasil membuat Runggu mengakui kejahatannya. Saat berada di pantai, ia terkejut mendapati Karassa yang sedang bermain pasir membuat istana besar.

Setelah pengakuan Runggu, Karassa memberikan waktu 3 hari kepada bawahannya untuk bersantai di Palopo.