5 BAB 5

Hari-hari Yusuf dan Adel tergolong cukup menyenangkan. Yusuf selalu membuat dirinya bisa dekat dengan Adel meski gadis itu jarang sekali merespon Yusuf.

"Del, nanti nonton yuk!" ajak Yusuf saat mereka berdua duduk di sebuah cafe dekat kampus.

"Ma'af kak, Mama meminta ku untuk pulang malam ini jadi aku harus pulang ke rumah Papa."

"Terus rumah yang kamu tempati selama ini rumah siapa? Bukannya kamu satu atap dengan orang tua kamu?" Adel menggelengkan kepalanya saat menjawab pertanyaan Yusuf.

"Rumah yang aku tempati adalah rumah kakak aku, Kak. Aku bertengkar dengan Papa, karena Papa memaksakan keinginan nya kepada Kakak dan sekarang Kakak tidak pernah kembali lagi setelah ditugaskan diluar negeri." Adel menjelaskan panjang lebar tentang masalah pribadinya membuat Yusuf merasa kasihan.

"Jadi kamu tinggal sendirian disana?" Adel lagi-lagi mengangguk. Yusuf yang melihat raut muka Adel sedih, membuatnya tidak sampai hati jika menanyakan tentang kakak nya lebih banyak lagi.

"Ya sudah. Kita bisa pergi lain kali. Orang tua itu harus dituruti karena surga kita berada pada mereka. Sebenci apapun kita kepada mereka jangan sampai membuat kita lupa bahwa kita ada dan bisa sampai seperti ini karena orang tua kita." Yusuf mencoba menasehati Adel dengan halus.

Adel merasa ucapan Yusuf ada benarnya. Sebenci apapun kita kepada orang tua, mereka lah yang sudah berjuang mati-matian untuk kita. Tapi, saat mengingat kakaknya yang tidak kunjung kembali dari luar negeri karena tugas penyelamatan yang di embannya membuat Adel kembali merasakan sesak di dadanya.

***

Adel memasuki halaman rumah yang cukup luas dan asri. Tempat dimana dia dan kakaknya dulu menghabiskan waktu bersama. Bayangan wajah kakaknya terlihat jelas di ingatan Adel, membuatnya meneteskan air mata.

"Kamu Sudah datang, Sayang." Sapa bunda Adel saat melihat gadis kesayangannya memasuki rumah. Wajah sang bunda terlihat sangat senang melihat Adel yang mau menginjakkan kakinya kembali ke rumah ini.

"Kamu sudah makan, Sayang?" Adel mengangguk menjawab pertanyaan sang bunda. Adel mendekati bundanya dan memeluknya erat.

"Adel kangen, Bunda."

"Kenapa tidak pulang? Bunda juga sangat merindukan Adel."

Adel melepaskan pelukannya dan berjalan menuju meja makan. Adel sangat merindukan Bundanya tapi, kalau melihat wajah Ayahnya, Adel akan kembali tersulut emosi.

"Bagaimana bisa, seorang ayah yang tidak mendapatkan kabar apapun dari anaknya bisa setenang itu? Anaknya Tidak pergi jalan-jalan melainkan ikut berperang, tidakkah ada rasa khawatir yang terlintas?" batin Adel marah.

"Kenapa Adel disuruh pulang, Bun?" pertanyaan Adel membuat sang bunda menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Kamu tidak merindukan bunda?"

"Rindu, sangat rindu." jawab Adel sambil memeluk tubuh kecil Bundanya. Bunda yang selalu ada untuk Adel dalam situasi apapun, Bunda yang tidak mempunyai salah harus ikut Adel benci karena sikap ayahnya.

"Sudah, sana kamu ganti pakaian dulu. Nanti akan ada tamu untuk kamu."

"Tamu?"

"Iya, ada seseorang yang cukup mempunyai nyali dan ingin meminang kamu."

"Meminang? Jadi ada yang mau melamar Adel, Bun? Adel kan masih kuliah, Bunda?" Adel tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Adel memang tidak pernah berpacaran, orang tuanya mengajarkan dia untuk menjaga jarak dengan pria termasuk pacaran.

"Bunda tau, kamu lihat dulu. Nanti kalau kamu tidak suka, kamu bisa menolaknya. Ayah dan bunda tidak akan memaksa kamu untuk menerimanya." Bunda Adel menasehatinya dengan mengusap kepala Adel, lembut.

"Ya sudah, sana! Kamu bersih-bersih dulu nanti kalau sudah selesai bantuin bunda menyiapkan makanan untuk tamu kita nanti." Adel mengangguk lalu melangkah menuju kamar yang dulu dia tempati. Tempat yang menyimpan banyak kenangan untuk Adel dan Kakaknya.

***

"Bun, tamunya akan datang jam berapa?" tanya Adel saat didekat bundanya yang sibuk menata kue di atas piring.

"Masya allah, kamu cantik banget, Sayang." Bunda Adel tertegun melihat penampilan Adel yang mengenakan jilbab, Adel terlihat anggun dan sangat cantik.

"Ba'da maghrib sayang. Kamu mau kan dikenalkan dengan tamu nanti?" Adel mengangguk dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Kamu cantik sayang, Bunda senang sekali."

"Terimakasih, Bunda. Sudah ah, Bunda jangan puji Adel terus, nanti Adel bisa lupa telinga Adel taruh dimana." Bunda Adel tertawa mendengar candaan puti bungsunya itu. Rumah ini terlalu lama tidak terdengar suara tawa sejak anak gadisnya ini pergi meninggalkan rumah.

"Assalamualaikum!"

"Wa'alaikum salam." Suara salam tidak dijawab oleh Adel, hanya bundanya yang menjawab salam dari sang ayah.

"Kok salam ayah tidak dijawab? Dosa loh." Tegur Bunda Adel saat telinganya tidak mendengar jawaban untuk salam sang ayah.

"Wa'alaikum salam." jawab Adel dengan suara lirih, hampir tidak terdengar.

Ayah Adel tersenyum melihat putri bungsunya yang masih menaruh amarah untuknya. Ayah Adel tau apa yang dirasakan putrinya, bukan ayahnya tidak sayang dengan Abang Adel, tetapi sebagai seorang prajurit, dia juga harus ikhlas apapun yang terjadi kepada keluarganya saat pergi bertempur.

"Sudah dari tadi , Nak?"

"Hem." Jawaban singkat Adel atas pertanyaan Ayahnya membuat sang bunda menggelengkan kepalanya.

"Tidak baik menjawab pertanyaan orang tua dengan cemberut." tegur sang bunda dengan lembut.

"Sudah, dari tadi siang."

"Kita jama'ah maghrib dulu sebelum tamunya datang."

Ketiga orang itu pergi ke mushola keluarga, mereka beribadah dengan khusyuk. Air mata bunda Adel kembali menetes, sudah sejak lama dia tidak merasakan sholat berjamaah seperti ini. Ujian dari Tuhan yang cukup luar biasa membuat hubungan mereka menjadi renggang.

***

Pukul tujuh tepat, bunyi bel rumah Adel terdengar. Bunda Adel bersiap membukakan pintu untuk tamu yang sudah ditunggu sejak tadi. Adel masih berada di dalam kamarnya setelah dia mengangkat telepon dari Risa yang menanyakan tentang tugas yang diberikan Asdos baru mereka. Risa yang bercerita panjang lebar membuat Adel sedikit terhibur, memang teman satu ini paling bisa diandalkan untuk menghibur Adel.

Tok... Tok... Tok...

"Sayang, keluar yuk! Tamunya sudah datang."

"Iya, Bun. Sebentar."

Adel bergegas menghapus make-up yang dia pakai dan memakai kembali hijab yang sempat dia lepas tadi. Jika pria ini mencintai dia, pria itu tidak akan keberatan saat melihat wajah tanpa make-up Adel, pikir batin Adel.

Melihat penampilannya sekali lagi di depan kaca, Adel merasa puas. terlihat natural meski masih saja terlihat cantik dengan hijab yang baru saja dia putuskan untuk memakainya.

"Saatnya keluar dan melihat siapa yang mau meminang aku?" ucap Adel dengan senyum yang dipaksakan.

Adel keluar dari kamarnya dan berjalan dengan gelisah menuju ruang tamu, di sana terlihat ada sepasang orang tua yang tersenyum saat melihatnya.

"Masak yang mau meminang aku pria itu? Dia kan pantasnya jadi ayah aku? Ya Allah, bantu hamba." batin Adel merapalkan do'a, dia benar-benar takut jika pria itu yang meminangnya.

"Perkenalkan ini anak saya yang bernama Adel." Ayah Adel memperkenalkan adel kepada kedua tamunya.

"Masya allah, cantiknya. Tidak salah pilihannya." pujian terdengar dari bibir wanita yang ada didepan Adel.

"Saya Anisa, panggil bunda Nisa saja sayang." Orang yang baru saja memperkenalkan dirinya yang bernama Anisa itu memeluk dan mencium kedua pipi Adel, membuat Adel tertegun.

"Ya Allah, benarkah kiamat sudah hampir dekat? Kenapa harus pria tua ini? Apa yang muda sudah habis?" Batin Adel masih merutuki nasibnya, ingin sekali Adel melarikan diri dari tempat ini tapi saat melihat wajah sumringah sang bunda membuat Adel merasa tidak tega jika harus mengecewakan wanita ini untuk yang kesekian kali.

"Dan ini perkenalkan, Toni. Panggil Om Toni saja karena ayahnya sedang tidak enak badan jadi Om nya yang dibawa kesini."

"Om? Ayah? Maksudnya?" Adel semakin bingung dengan apa yang tengah terjadi.

"Iya, beliau Om saya. Jadi yang meminang kamu untuk menjadi istri itu saya, bukan Om Toni?"

"Hah? Kamu? Kok bisa?"

avataravatar
Next chapter