webnovel

One Victim Becomes Three

gara-gara satu orang punya masalah sama pacarnya dan terobsesi dengan cowok lain, kedua temennya juga ikut dalam masalahnya. — satu di antara tiga merasakan kerisihan terhadap pacarnya. karena kerisihan itu, ia memilih menghindar, dan mendekati pria lain. namun perkiraannya salah. bukan dia, namun 'dia'. dari situlah, wanita itu dan kedua temannya menjadi korban, dan sedang mencari jalan keluarnya.

jemimakoelima · Teen
Not enough ratings
6 Chs

06 :: ❝ diikutin? ❞

"EH, BENTAR." Semuanya pada berhenti, waktu Jolie teriak di belakang mereka.

"Jane 'kan bawa mobil, bodoh. Masukin mobil dia aja, ngapa. Sekalian langsung ke rumah lo."

Jane natap datar si Jolie, yang menurutnya hama. "Yaudah, Her, masukin Joy ke mobil gue aja."

Jolie senyum miring, penuh arti. Menatap dalam Hery, mengisyaratkan sesuatu.

Setelah kepala Joy udah dipangku Jolie, di jok belakang, Jane pamit sama Hery. Tapi Hery-nya malah ngegeleng.

"Lah, kenapa?"

"Gue ikutin dari belakang aja, ya? Biar kalian gak kayak tadi. Gue takut."

"Hah, beneran? Emang lo gak kerepotan, gitu?"

Hery senyum kecil, terus gelengin kepalanya. "Enggak, sans aja. Mau kalian butuh bantuan atau enggak, gue pasti nolongin."

"Gak usah, Her. Bukannya lo mau bersihin darahnya? Hehe, maapin ya."

"Ah, iya." Dia tepok jidatnya. "Gue lupa."

"Yaudah, gue—"

"WOY, CEPETAN! MALAH NGOBROL, BAE!"

Jane mendecak. "Sorry, ya. Temen gue emang rada gila, git—"

"WOY, KAMPRET! GUE LEMPAR SETIRNYA KE MUKA LO, YA."

Jane bukan mendecak lagi. Tapi mendesis kesel, sebelum dia duduk di jok supir.

"Nah gitu, kek."

"Lo kenapa, sih? Kayaknya gak suka banget sama si Hery. Udah ditolongin, bukannya bilang terimakasih," omel Jane, sambil ngelirik Jolie dari spion di atasnya.

"Emang lo sama sekali gak curiga, Jane? Barusan dia nanya : 'pasti darahnya udah kering, ya?' Harusnya dia diem aja. Gak usah nanya kayak gitu. Psycho tau, gak? Gue jadi tambah curiga, dia yang bunuh simon."

"Ngadi-ngadi terus aja, Jol." Jane ngelirik lagi ke arah spion atas. Dia micingin matanya karena ada sesuatu yang mengganjal.

"Jol, itu kok—"

"JANE, AWAS!"

CKIIITTTT

"Anjing," umpat Jane. Napasnya gak teratur, sedangkan kedua tangannya meremas setir mobil.

"Apaan sih, tuh orang?!"

"Jane, kayaknya yang lo tabrak bukan orang."

Karena Jane udah gondok sama Jolie, dia noleh ke belakang. "TERUS, SIAPA?"

"Tadi gue sempet liat, lo mau nabrak anak kecil! Dia lagi pegang raket di tangannya."

"Tapi, yang gue liat bukan anak kecil. Dia kayak mahasiswa, gitu. Ganteng, juga."

"Emang lo liat mukanya?"

"Enggak, sih. Gue cuman liat matanya, doang. Soalnya dia gak punya hidung sama mulut."

"Jane!" Seketika, mata Jane langsung membulat sempurna. "Lo serius?"

"Oh, shit. What happend with me?" Jane bergumam, sampe akhirnya dia berdecak halus.

"Tangan gue bergeter, Jol. Gue takut ...."

"BURUAN GAS MOBILNYA, JANE!"

"TAPI ORANGNYA MASIH BERDIRI!"

"BODO AMAT, JINGAN. CEPETAN, JALAN!"

Dengan rasa panik yang menyelimuti perasaannya, Jane mendorong rem tangan, dan menginjak gas.

"Jol, gue takut. Mau tukeran nyetir, gak? Gue beneran gak kuat." Jane udah sesegukan, sambil gelengin kepalanya berkali-kali.

"Lo pinggirin dulu, deh. Gue mau bangunin Joy."

Dia langsung kekiriin mobilnya, di depan rumah orang. Sedangkan Jolie udah mainin kedua pipinya Joy, tapi tetep aja gak bangun.

"Nih anak gak bangun." Akhirnya Jolie cubit hidungnya Joy, sampe dia bangun dengan napas yang gak teratur, ditambah sama batuk-batuk.

Plak

Joy pukul lengan atasnya Jolie. "Lo pengen gue mati, hah?"

"Lagian bocah, kagak bangun-bangun."

"Yaudah, Jol, tukeran." Jolie mendecak, membiarkan Jane duduk di sampingnya.

"Ribet banget sih, lo pada," cibir Joy, yang mendapat jitakan di dahinya.

Setelah Jolie mengambil alih kemudi, ia langsung menginjak gasnya dengan sekuat tenaga, hingga dua mahluk yang berada di belakangnya; heboh tak karuan.

"JOLIE SETAN!"

Sampainya di rumah Jane, kedua orang itu tak berhenti memegangi mulutnya.

"Gue mabok." Jane sama Joy, juga gak berhenti gandeng tangan mereka.

Sedangkan Jolie cuma siul-siul, sambil masukin kunci mobil Jane ke saku celananya.

"Ayo, dimuntahin. Mumpung sepi, ada got— ew."

Belom selesai Jolie ngomong, mereka berdua udah ngeluarin isi perutnya di got, depan rumah Jane.

Akhirnya ... lega juga.

Mereka masuk ke dalem rumah, duduk santai di sofa, dengan es jeruk bikinan Mpok Ipeh.

"Tadi lo kenapa, sih?" tanya Jolie, sambil meneguk es jeruknya.

"Kita 'kan masih di kawasan komplek, ya. Pas gue liat spion, ternyata Hery ngikutin kita. Padahal gue bilang ke dia : gak usah."

"Tuh, 'kan."

"Bentar, deh. Emang kalian kenapa, sih? Tadi gue pingsan, ya?" tanya Joy, dengan muka polosnya, berhasil mancing mereka yang pengen nampar mukanya.

"Jane hampir nabrak orang. Yang gue liat, orang itu anak kecil, sambil bawa raket. Tapi Jane ngeliat orang yang seumuran sama kita. Katanya ganteng, tapi yang keliatan cuma matanya, doang. Piye, toh?" jelas Jolie.

Jane mukul pahanya Jolie. "Anjir, bukan itu maksud gue, Bambang!"

"Terus, apa? Emang bener, 'kan? Lo tuh, aneh. Orang gak punya hidung sama mulut, dibilang ganteng."

"Gue rasa, itu bukan manusia." Mereka berdua langsung noleh ke Joy. "Gak ada manusia yang liat secara bersamaan, tapi subjeknya langsung berubah."

"J-Jol." Jane noleh pelan ke Jolie, terus peluk badan dia. "YANG KITA LIAT TADI, ITU SETAN! The fucking scared."

Perlahan Jolie meluk Jane juga. Dia jadi ikutan nangis, gara-gara baru sadar, yang dia liat itu setan.

"Gue tadi juga suruh lo cepet-cepet, gara-gara anak kecil itu mau buka pintu lo."

"HUWAAAA, JOLIE." Jane eratin pelukannya dari samping, begitupun Jolie. Mereka sama-sama takut.

Gimana kalo kalian ada di posisi mereka?

Pingsan kayak Joy, gak?

"Lo beneran ngeliat Hery ngikutin kita?" tanya Joy.

Jane ngangguk, terus lepas pelukannya. "Kalo gak gara-gara merhatiin dia, gue gak bakal nabrak 'itu'!"

"Gue juga gak tau yang benernya, sih. Tapi, kenapa tiba-tiba gue juga curiga sama Hery?"

"Masa, sih? Emang lo yakin, lo bakal ikut curigain dia? Bukannya dari kemaren, lo selalu belain dia?" tanya Jolie, masang mimik menyebalkannya.

"Y-ya, gue gak tau, Jol. Gue juga bingung. Akhir-akhir ini Hery baik sama gue."

"Kenapa harus akhir-akhir ini? Kenapa gak dari awal, dia ngedeketin lo? Gue yakin sih, Joy. Yang selama ini ikutin lo itu, bukan Simon. Tapi Hery." Jolie mengangkat alis kanannya.

"Oh, atau itu wujudnya Simon, tapi sebenernya bukan Simon."

"Jol, jangan ngadi-ngadi," kata Jane, yang jidatnya udah dibanjirin keringet.

"Loh, bisa aja." Jolie kembali menatap mata Joy. "Gue bukan paranormal, bisa baca pikiran atau apa. Tapi coba deh kalian pikir; mana ada orang yang tiba-tiba baik banget? Terus dia nanya; darahnya udah kering. Hery dateng, pas kita minta tolong."

"Jol, lo bilang Hery psikopat. Orang psikopat bukan kayak dia. Mana ada psikopat baik banget ke gue? Ya, ok, gue emang curiga dia yang lakuin. Tapi dia bukan psikopat."

"Psikopat itu sakit jiwa. Dia punya kelainan, punya topeng banyak di mukanya. Kita gak tau, seberapa banyak orang yang udah dia bunuh."

"Tapi, dia itu—"

"Stop belain Hery, Joy. Gue juga males jelasin banyak ke lo, lo-nya juga ngeyel. Mungkin dia emang bukan psikopat, tapi pembunuh berantai, yang sakit jiwa."

"Aish." Joy mijit pangkal hidungnya.

"Sebelum lo liat Simon dicongkel, lo ngapain?"

"Dia nelepon gue. Katanya, orang yang congkel itu, berdiri tegak di depan pintu. Terus nunjuk si Joy," jelas Jane, membuat Jolie menatap Joy kembali.

"Orang itu lagi ngitung lantai rumah lo."