5 Ganti rugi

Zelyn yang terlihat sangat shock dengan mata yang membulat, menatap tajam ke arah pria yang mungkin setiap hari akan ditemuinya di tempat kerja dan juga lokasi proyek tentunya. Apalagi lokasi proyek itu bukan berada di Jakarta, melainkan di Bali. Dekat dengan tempat yang merupakan area wisata dan belum terjamah oleh manusia dan pulau itu sudah dibeli oleh Alcatraz corporation.

Takdir yang sama sekali tidak pernah disangkanya, karena ia bisa berhubungan dengan pria menyebalkan, merupakan cucu dari pemilik hotel yang dirancangnya.

'Astaga, takdir buruk apa ini? Tidak mungkin aku bisa bekerja bersama pria se-menyebalkan sepertinya. Aku benar-benar bisa muntah jika terus berdekatan dengan dia. Tidak ... tidak, aku lebih baik mengundurkan diri dari project ini. Akan tetapi, aku sudah berjuang sangat keras dengan arsitek-arsitek sainganku demi bisa mendapatkan project ini. Apa aku bisa merelakannya? Padahal jika ini berhasil dan sukses, kemungkinan karirku akan benar-benar meroket. Aah ... aku pusing memutuskannya,' lirih Zelyn yang merasa sangat bimbang dengan keputusan yang akan diambilnya. Hingga sebuah tepukan di pundaknya, membuat ia tersadar dari lamunannya.

"Zelyn, cepat sapa kolega bisnis paling penting perusahaan!" ucap Emy pada calon menantunya.

"Eh ... iya, Ma." Zelyn terpaksa menuruti perintah dari calon mertuanya dengan membungkukkan badan. Tentu saja untuk menghindari berjabat tangan dengan pria yang memang mempunyai paras sangat tampan.

"Selamat datang di Jakarta Tuan Arman dan Tuan Axel. Semoga bisa bekerja sama dengan baik untuk masalah hotel Alcatraz yang akan dibangun.

'Sial, dia memang tampan sekali sebagai pria. Dasar bodoh, kenapa aku malah bilang dia tampan. Jaga sikapmu, Zelyn. Anggap saja dia hanya patung manekin yang menjadi pajangan di toko,' gumam Zelyn yang masih pada posisi membungkuk hormat.

"Sudahlah, jangan terlalu formal. Lama-lama kamu bisa sakit pinggang nanti," seru Arman yang mencoba untuk menghilangkan suasana panas antara putra dan wanita yang menjadi arsitek hotelnya.

"Biarkan saja dia seperti itu, Dad. Bukankah kita seperti keturunan raja saja dan dia seperti pelayannya?" ucap Axel dengan bahasa aslinya. Tentu saja agar semua wanita itu tidak memahami ejekannya.

Arman menepuk dengan keras pundak putranya. "Dasar! Kamu pikir wanita-wanita ini bodoh? Mereka bisa mengerti kamu berbicara apa. Lebih baik jangan mencari gara-gara, Boy."

"Baiklah, aku akan diam." Axel sudah mengarahkan indera penglihatannya pada Zelyn yang sudah kembali berdiri tegak dan mengarahkan tatapan menusuk padanya.

Sementara itu, Zelyn benar-benar semakin kesal begitu mendengar perkataan dari Axel yang bisa dipahaminya telah menghinanya. Karena ia bukanlah wanita bodoh yang tidak paham bahasa asing. Namun, ia masih berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri, karena tidak ingin bersikap bar-bar di depan keluarga calon suaminya.

'Sabar ... sabar, aku tidak boleh emosi dan bersikap seperti wanita yang tidak berpendidikan. Tunjukkan bahwa kamu adalah wanita yang berpendidikan dan bisa dibanggakan oleh Ardhan, Zelyn. Ya, aku bisa,' batin Zelyn yang kini mencoba tersenyum pada rekan bisnis atasannya.

"Itu sudah menjadi kebiasaan saya, Tuan. Anda tidak perlu merasa khawatir kalau saya akan sakit pinggang, karena saya masih muda dan sangat sehat. Sepertinya nanti kita setiap hari akan bertemu, Tuan Arman dan jadwal dari perusahaan, kita akan terbang ke Bali besok lusa."

Laila mendekati Zelyn dan berbisik di dekat telinga. "Jangan membahas tentang masalah pekerjaan di sini, karena kita tidak sedang berada di perusahaan, Zelyn. Untuk masalah itu, bisa kamu bahas besok saat jam kerja."

Zelyn yang menyadari kesalahannya, membuat ia merutuki kebodohan yang dilakukan. Karena merasa kesal pada pria yang mengejeknya, membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Padahal ia adalah seorang wanita yang terkenal sangat perfeksionis dalam segala hal. Baik dalam hal penampilan, sikap dan juga mengenai pekerjaan.

"Iya, Nyonya Laila. Maafkan saya," lirih Zelyn dengan sebuah anggukan kepala.

Axel masih fokus menatap ekspresi wajah dari sosok wanita yang menurutnya sangat membuatnya merasa penasaran. Karena seumur hidup, baru kali ini ada wanita yang seolah tidak tertarik padanya. Padahal biasanya, setiap wanita yang melihatnya, akan selalu bertekuk lutut dan ibarat kata, menyembah kakinya agar mengajaknya ke atas ranjangnya.

'Wanita ini sepertinya lain dari yang lain. Aku ingin melihat apa reaksinya saat mengetahui bahwa daddy tidak akan ikut ke Bali karena sudah menyerahkan segala urusannya padaku. Permainan ini akan semakin menarik,' gumam Axel.

"Apakah kita akan menghabiskan waktu di butik ini, Mommy Laila?"

"Tentu saja tidak, kami sudah selesai dan kita akan langsung ke Mansion ," jawab Laila setelah mendengar nada protes dari Axel. "Kalian menginap di Mansion, seperti rencana awal bukan?"

"Sepertinya hanya aku saja yang akan menginap di tempatmu. Karena putraku lebih suka tinggal sendiri. Kamu lihat aura gelap dari wajahnya yang menjelaskan bahwa dia suka menyendiri, bukan? Jadi, dia memilih tinggal di hotel. Lagipula aku pun hanya dua hari di Jakarta. Jadi, aku ingin menghabiskan waktu bersama dengan keluarga kalian sebelum aku kembali ke New York. Apa kita bisa pergi sekarang?" tanya Arman yang sudah menatap secara bergantian ke arah empat wanita di depannya.

Semua orang menganggukkan kepala, kecuali Zelyn yang masih sibuk mencerna perkataan pria yang seumuran dengan papanya.

'Kembali ke New York dua hari lagi? Tunggu ....' Zelyn yang daritadi asyik bergumam dan bertanya-tanya di dalam hati, refleks langsung mengungkapkan pertanyaan karena mulai mencium tanda-tanda bahaya. "Tunggu, Tuan Arman."

Arman yang baru saja berbalik badan dan berniat berjalan, refleks langsung menoleh ke arah Zelyn. "Ya, ada apa?"

"Apa maksud Tuan dua hari lagi kembali ke New York? Bukankah Anda harus melihat proses awal pembangunan dari hotel di Bali?"

"Dasar bodoh, buat apa orang yang sudah berumur susah-susah ke tempat terpencil itu?" sarkas Axel dengan tatapan penuh seringai.

"Jadi, apakah nanti Andalah yang akan pergi ke Bali?" tanya Zelyn dengan perasaan tidak menentu?"

'Fix, lebih baik aku mengundurkan diri saja dari proyek ini daripada aku harus makan hati bekerja bersama pria menyebalkan sepertinya,' lirih Zelyn.

Axel tersenyum smirk dan tidak berhenti mengamati ekspresi kekecewaan dari Zelyn. "Kenapa? Kamu tidak suka bekerja denganku dan lebih suka bekerja dengan daddy, begitu? Jika memang begitu, kamu bisa mengundurkan diri saja."

Raut wajah yang tadinya masam itu langsung berubah berbinar. "Benarkah?" Zelyn yang menyadari kebodohannya, refleks langsung membungkam mulutnya.

"Sepertinya benar, kamu ingin mundur begitu mengetahui akan pergi denganku. Baiklah, kamu boleh pergi!" seru Axel dengan wajah datarnya. "Ayo, Dad. Kita kembali saja ke New York sekarang. Tiba-tiba aku tidak bersemangat lagi untuk mengurus semua ini."

Tanpa menunggu jawaban dari daddy-nya, Axel berjalan dengan langkah kaki panjangnya meninggalkan semua orang yang menatap kepergiannya.

Sementara itu, Zelyn benar-benar merasa di atas angin karena berhasil membuat pria yang dianggapnya sangat menjengkelkan itu pergi dari hadapannya.

'Yes, akhirnya pria memuakkan itu pergi juga. Seolah udara di sekitarku yang tercemar oleh polusi, langsung bersih seketika saat dia pergi.'

Lamunan Zelyn seketika buyar saat mendengar suara bariton dari pria yang berdiri tak jauh darinya. Bahkan ia lagi-lagi harus merasa shock untuk yang kesekian kalinya.

"Zelyn, kamu harus meminta maaf pada putraku. Karena dia tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika kamu tidak melakukannya, putraku akan menarik uang ratusan juta dollar dari perusahaan. Pastinya kamu yang akan dituntut ganti rugi. Kamu sanggup untuk mengganti kerugian perusahaan?" ucap Arman yang saat ini terlihat sangat tegas karena merasa sangat khawatir jika putranya akan berbuat onar saat sedang kesal.

"A-apa, Tuan Arman? Ganti rugi? Aku tidak mempunyai uang sebanyak itu?" lirih Zelyn dengan kaki yang lemah lunglai begitu mendengar uang ratusan juta dan bukan rupiah, melainkan Dollar.

TBC ...

avataravatar
Next chapter