webnovel

Panggilan Menggemaskan

Bagas yang terkejut dengan ucapan istrinya langsung bangun dari duduknya dan bertanya untuk memastikan pendengarannya. 

"Apa benar itu, Nak?" tanya Bagas menghampiri istri dan putrinya.

"Mama ngomong apaan sih, bukan begitu maksudnya. Aku tuh cuma cerita bukan beneran mau dilamar, Ma." Tiara meluruskan perkataan yang sudah membuat heboh kedua orang tuanya.

"Loh kok, kamu jadi salahin mama. Kamu yang bilang sendiri kalau Zaidan bicara seperti itu," belas Sartika.

Tiara menghembuskan napas panjangnya dan menyuruh Bagas untuk duduk, lalu dia menjelaskan secara detil agar tidak terjadi kesalah pahaman.

"Jadi singkat cerita begini, Pa. Kita berdua tadi ngobrol di jalan tuh ... terus aku kayak nantangin ucapan kak Zaidan, eh di jawab kalau kak Zaidan itu nggak pakai sistem pacaran, lah aku bingung dong."

Tiara menceritakan ulang kejadian yang dialaminya bersama Zaidan kepada kedua orang tuanya seperti sedang curhat pada sahabatnya, ucapannya terus mengalir tanpa ada yang di lewatkannya.

"Lalu, aku pernah bilang sama kalian tentang lanjutin kuliah di Turki waktu itu, kan. Kak Zaidan bilang sebelum dia melanjutkan S2-nya disana, dia mau lamar disini kalau aku sudah lulus sekolah terus kita berdua kuliah bareng di sana," jelas Tiara dengan nada malu-malu.

Didalam pikirannya Tiara terus berkata, bagaimana bisa dia menceritakan hal seperti ini pada kedua orang tuanya, bahkan dia tidak memikirkan reaksi apa yang akan ditunjukan pada kedua orang tuanya nanti.

"Kamu jawab apa?" tanya Bagas antusias.

"Aku jawab nggak lah, Pa. Aku masih sekolah loh, memangnya kalian mengharapkan aku jawab apa?" Tiara balik bertanya.

"Mama kira kamu menerima begitu saja," ucap Sartika dengan nada sedikit kecewa.

"Kok Mama jawabnya begitu, memangnya Mama mau aku jawab seperti apa?" serang Tiara.

"Sudah, sudah, kok jadi malah berdebat. Apa yang kamu katakan itu benar, Nak. Lagi pula di umur kamu belum seharusnya untuk membicarakan hal seperti itu dan kamu menjawabnya dengan tepat. Kalau memang dia serius sama ucapannya sampai kapanpun akan terus menunggu sebelum seorang lelaki mengatakan kalimat sucinya di hadapan papa," terang Bagas.

Tiara langsung memeluk Bagas karena mendukung keputusannya, sedangkan dia menjulurkan lidah pada Sartika karena mendapat pembelaan dari sang papa.

"Tapi kalau mereka berjodoh, apa Papa menyetujuinya?" tanya Sartika cepat.

"Kalau memang mereka berjodoh apa yang harus papa lakukan, jodoh itu sudah digariskan oleh Sang Pencipta mana mungkin papa menolaknya," jawab Bagas.

"Kalau dia beneran mau lamar Tiara, bagaimana?" tanya Sartika lagi.

"Kamu kenapa, Ma? Sepertinya kamu senang betul dengan cerita ini," kata Bagas mengernyitkan dahinya.

"Mama kan cuma bertanya, memangnya salah ...," keluh Sartika.

Tiara tertawa mendengar keluhan Sartika dan langsung masuk ke dalam kamar.  Tiara duduk diatas ranjang dan bersandar pada headboard sambil memainkan handphone serta berselancar di dunia maya, matanya langsung melebar sempurna dan katup bibirnya sedikit terbuka karena membaca status.

"Kenapa sampai di tulis juga?" gumam Tiara.

_Menunggu cinta yang telah terucap

Serta hati untuk menyambut

Berserah diri pada Sang Maha Cinta

Untuk mempermudah hati yang telah tertuju

Setiap doa kusebut untuk meyakini dirimu

Akan cinta yang hadir dalam hatimu

Melihat senyummu...

Jantung ini tak berhenti berdetak cepat

Hingga membuat raga ini berucap

Pada ikatan suci dihadapan orang tuamu_

"Apa aku perempuan yang pantas untukmu, Kak?"  tanya Tiara sambil mengehembuskan napas beratnya.

Tiara memberanikan diri untuk membalas status tersebut.

[Tiara: Puisinya bagus, Kakak puitis juga ya, hehe.]

[Zaidan: Akan lebih bagus lagi, jika kamu membalasnya.]

Tiara langsung berteriak dengan ditutupi bantal agar tidak terdengar suaranya karena sedang histeris gembira. Seketika lututnya lemas dan aliran darahnya mengalir deras serta jantungnya dapat terdengar suara detakannya.

"Benar kata gue, kan. Puisi itu buat gue," gumam Tiara sambil tersenyum.

"Duh, gue balas apa ya?" tanya Tiara kebingungan.

Baru saja Tiara mengetik, tapi sudah terlebih dulu handphonenya berdering. Tiara menjadi gugup karena Zaidan menghubunginya, dengan tangan yang tiba-tiba berkeringat Tiara menggeser tombol berwarna hijau.

"Assalamualaikum," salam Zaidan.

"Wa-waalaikumsalam, Kak," jawab Tiara tergagap.

"Maaf, kalau Kakak membuatmu tidak nyaman dengan tulisan itu," ucap Zaidan merasa tidak enak hati.

"Ng-nggak apa-apa kok, Kak. Aku hanya tersentuh sampai nggak bisa balas pesan lagi," balas Tiara.

Detik berikutnya Tiara langsung menepuk mulutnya sendiri karena dia mengatakan hal tersebut secara tidak sadar.

"Kakak boleh nggak  tanya satu hal sama kamu, hanya untuk memastikan saja," kata Zaidan dengan nada serius.

Mendengar perkataan Zaidan, jantung Tiara semakin berdetak cepat hingga membuatnya tidak bisa menjawab.

"Apa rasa berbeda itu hanya sekadar alasan atau memang kamu belum bisa menjawab?"

'Nih orang bikin gue melting aja deh,' batin Tiara.

Tiara mengambil napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya untuk menjawab pertanyaan Zaidan.

"Rasa itu hadir karena aku melihat sesuatu yang berbeda pada diri Kakak, entahlah aku sendiri juga nggak mengetahui dengan pasti. Hanya saja saat melihat Kakak, perasaan ini menjadi senang dan selalu tersenyum," jawab Tiara dengan nada malu-malu.

"Masya Allah, pandai betul kamu merangkai kata," puni Zaidan.

"Kak Zaidan bisa aja deh," kekeh Tiara, "akak belum tidur?"

"Kenapa kamu menanyakan hal itu?"

Tiara terkejut karena mendengar pertanyaan dari Zaidan, bagaimana bisa dia bertanya lagi.

" Ya … Nggak gitu konsepnya, kenapa akak balik tanya?"

"Lalu Akak harus jawab apa?"

"Tuh kan, malah balik tanya lagi," ucap Tiara sambil mengerucutkan bibirnya.

Zaidan tertawa karena mendengar keluhan manja dari Tiara, bahkan Tiara menyuruh jangan menertawakannya.

"Sebel ih, daritadi nggak dijawab. Setiap aku tanya selalu balik nanya," keluh Tiara.

Meskipun tidak melihat wajahnya Zaidan dapat membayangkan bagaimana gemasnya tingkah Tiara saat ini. Suatu kesenangan tersendiri bagi Zaidan kala berbincang seperti ini, baginya ini salah datu pendekatan dua hati yang masih berjauhan. Cukup lama mereka berbincang lewat telepon dan Zaidan pun mendengar suara menguap dari Tiara.

"Ya sudah, akak sudahi teleponnya ya. Besok kalau masih ada yang ditanyakan jangan sungkan hubungi akak," pesan Zaidan.

"Bentar deh … berarti aku sekarang panggil dengan sebutan akak ya," ucap Tiara memastikan.

"Iya, Dek. Selama panggilan itu positif, akak terima kok."

"Iya 'kan, akak juga menyebut diri sendiri dengan sebutan akak," kekeh Tiara.

"Akak suka karena terdengar menggemaskan saja, terlebih kamu yang sebutin," timpal Zaidan, "kalau begitu, semoga mimpin indah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," balas Tiara.

Sambungan telepon sudah terputus, senyum Tiara tidak sedikitpun pudar dari bibirnya. Dia menangkupkan wajahnya dan tersenyum, merasakan getara-getaran yang membuatnya senang tak terkira.

"Semoga mimpi indah penyejuk hatiku," ucap Tiara sambil melihat nama Zaidan dilayar handphonenya.

Tiara pun merebahkan dirinya dan perlahan matanya mulai terpejam untuk tidur malam panjangnya serta membuka dunia mimpi.