webnovel

Namamu Selalu Kusebut

Tiara mengeratkan tangan pada benda pipih yang dipegangnya, dirinya menjadi bad mood seketika.

"Awas lo ya, kalo gue tau siapa diri lo bakalan gue habisin," ancamnya.

Nomor tidak dikenal itupun dia simpan dengan nama pabbo yang berarti bodoh. Saat menekan tulisan simpan tiba-tiba tawanya meledak seperti iblis yang memenangkan turnamen. Tiara meletakkan handphonenya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk bebersih diri.

Tiara tengah melihat Sartika yang sibuk dengan peralatan dapur.

"Ma, aku mau ayam bakar," pinta Tiara.

"Nggak ada. Kamu nggak lihat, Mama lagi masak sop ayam ini masa kamu minta ayam bakar, aneh deh."

"Duh, Mama. Aku maunya ayam bakar," ucap Tiara lagi seperti anak kecil yang meminta dibelikan mainan.

"Aturan kamu bantuin Mama, bukan minta yang macam-macam," omel Sartika lagi.

Tiara mengerucutkan bibirnya seperti orang cemberut dan mulutnya terlihat komat-kamit karena tidak terima diomelin sang mama.

"Belikan Mama daun bawang di warung bi Surti, mama lupa ternyata di kulkas nggak ada persediaan daun bawang," titah Sartika.

"Emang malam-malam ada daun bawang?" tanya Tiara bingung.

"Warung Bi Surti, Tiara sayang putri mama yang cantik. Itu artinya warung yang ada di depan gerbang, tukang sayur bukan warung jajanan cantik," jelas Sartika dengan nada meledek.

Tiara membulatkan mulutnya membentuk O pertanda baru mengerti apa yang di suruh oleh Sartika. Dengan seribu langkah Tiara keluar rumah sebelum kena semburan oleh Sartika lagi, karena Tiara memang suka meledek mamanya setiap ada kesempatan.

"Jauh banget lagi, mana warung di depan gerbang sana," keluh Tiara.

Tiara berjalan santai sambil bersenandung didalam hati, melihat cahaya bulan yang menyinari indahnya malam serta bintang-bintang dengan genitnya mengedipkan cahayanya. Bibir Tiara membentuk lengkungan hingga tidak sadar ada yang mengikutinya di belakang, kakinya melangkah sesuai irama yang dinyanyikan dalam hati, tangannya pun diayunkan untuk menyempurnakan lagunya.

"Tiara!"

"Kamcagiya!" seru Tiara. (ucapan terkejut)

Tiara menoleh ke samping untuk melihat sosok yang sudah membuatnya terkejut setengah mati, jantungnya pun berdetak cepat takut-takut ada hantu yang menggerayanginya. Saat melihat sosok tersebut, jantungnya tak kalah cepat terlebih melihat senyuman yang terlukis indah menambah ketampanan pemilik wajah tersebut. Katup bibir Tiara terbuka karena melihat betapa rupawan sosok yang membuat mata nyaman dipandang, langkahnya pun berhenti untuk melihat betapa sempurnanya sosok yang ada dihadapannya kini.

"Kamu mau kemana? Daritadi kakak panggil kamu, tapi nggak dengar," jelas Zaidan.

"Aku nggak dengar, Kak," kekeh Tiara.

"Mau kemana?" tanya Zaidan lagi.

"Aku mau ke warung bi Surti, di suruh mama," jawab Tiara.

"Kaka temani mau, sekalian kakak jalan pulang," tawar Zaidan.

Tiara mengangguk dengan semangat dan melanjutkan jalannya.

"Kamu seperti sedang gerak jalan saja, pelan-pelan dong jalannya," ucap Zaidan.

Tiara tidak bisa berjalan berdampingan dengan gerakan lambat karena jika saja jantungnya berada diluar sudah dipastikan terlepas dari asalnya, darah yang mengalir di tubuhnya akan keluar karena saking derasnya aliran tersebut.Terlebih Zaidan memintanya untuk memperlambat jalan, bisa dilihat pipinya menjadi merah merona.

"Memangnya kamu disuruh buru-buru sama mama?" tanya Zaidan.

"Ng-nggak juga sih, cuma itu ... mmm...."

Tiara tidak bisa melanjutkan perkataannya karena gugup sudah menyelimuti di jiwanya.

"Oh iya, bagaimana ajakan ibu. Kamu mau?"

"Mmm ... aku belum tau, Kak," jawab Tiara.

"Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa kok, ibu juga pasti maklum karena memang tempatnya jauh juga, kan," jelas Zaidan.

Tiara hanya merespon dengan senyuman, sesekali melirik untuk melihat arah pandangan Zaidan.

"Kakak boleh tanya sesuatu sama kamu?"

Langkah kaki Tiara seketika berhenti saat mendengar pertanyaan Zaidan, Tiara berusaha menelan salivanya karena merasakan detak jantungnya sudah tidak normal. Entah darimana pikirannya bisa mengatakan kalau selanjutnya Zaidan akan menyatakan perasaan padanya, sementara Zaidan sendiri belum mengatakan apapun.

"Kalau kamu ngerasa terganggu sama kakak, tolong bilang ya. Kakak nggak mau ada salah paham nantinya," lanjut Zaidan.

"Ha? Eh, kirain," gumam Tiara.

"Kirain? Kenapa, Tiara?" tanya Zaidan bingung.

"Ha? O-oh ng-nggak, Kak. Nggak apa-apa kok," kekeh Tiara.

Zaidan tambah bingung dengan perkataan Tiara dan bertanya, "Lalu?"

"Lalu? Lalu apa ya?" tanya Tiara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kaka merasa kalau kehadiran kakak buat kamu terganggu, kalau itu yang kamu rasakan tolong bilang sama kakak karena nggak mau terjadi salah paham antara kita," jelas Zaidan.

"Salah paham? Diantara kita? Hahaha, emangnya kita lagi pacaran sampai berkata seperti itu," balas Tiara di iringi tawanya.

Tiara pun melanjutkan jalannya dan terlihat masih tertawa. Mendengar perkataan Tiara, Zaidan pun bertanya lebih serius.

"Memangnya kamu mau pacaran?"

DEG!

'Pertanyaan macam itu,' batin Tiara.

Seketika langkah Tiara berhenti lagi dan langsung melihat wajah yang menanyakan hal tersebut. Tersenyum. Tiara melihat Zaidan tengah tersenyum padanya.

"Kalau itu mau aku, bagaimana?"

Detik berikutnya Tiara merutuki diri sendiri, bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu.

"Kakak nggak pacaran, dek. Kalau kamu mau nanti kakak akan mencari hari lalu kerumah terus melamar kamu. Bagaimana?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Zaidan sukses membuat Tiara seperti dilempar dari burj khalifa. Berulang kali Tiara menelan saliva yang dirasakannya, hingga tangannya gemetar karena gugup menyerang. Ekspresi wajah pertama yang ditunjukkan Tiara adalah tersenyum kaku dan tawa terdengar untuk mencairkan suasana hatinya yang tidak karuan.

"Bercandanya bisa aja deh," kekeh Tiara, "lagi pula aku masih sekolah juga, kan."

"Hanya tunangan bukan menikah, Kakak juga tau itu. Lagi pula rencana kakak juga belum tercapai yaitu mau melanjutkan kuliah S2 di Turki sana," jelas Zaidan.

"Kalau kamu setuju, setelah kamu lulus sekolah Kakak akan melamarmu lalu mengucapkan janji suci dan kita berangkat kesana sambil melanjutkan kuliah," tambahnya.

"Rencana Kakak seperti cerita di novel, bahasanya halus dan bisa bikin pembaca terharu," balas Tiara.

Tiara langsung melanjutkan langkahnya karena tidak ingin larut dalam percakapan yang belum pas untuk usianya. Jarak umur antara Tiara dan Zaidan hanya terpaut enam tahun, memang di usia yang seperti itu wajar dikatakan oleh Zaidan, tapi tidak untuk Tiara. Jalannya masih jauh bahkan ujian nasional belum dirasakan, hingga dirinya belum memikirkan untuk sejauh itu. Masih ada yang harus dicapai dan Tiara ingin melewati serta menikmati masa mudanya terlebih dahulu, dia tidak ingin menjalin hubungan serius karena memang belum siap.

"Kakak serius, Dek," ucap Zaidan mengimbangi langkah Tiara.

Tiara melihat bangku didepannya, dia pun duduk untuk menjelaskan pendapatnya dengan tenang karena kalau sembari jalan sangat tidak sopan. Zaidan pun mengambil duduk dan memberikan jarak dengan Tiara.

"Mmm ... Sebenarnya aku senang mendengar pernyataan Kakak, tapi untuk saat ini aku belum memikirkan sampai ke hubungan serius. Aku masih mau menikmati hari-hari dengan teman, jalan, jajan, nonton dan sebagainya. Aku belum tau untuk ke depannya seperti apa karena memang aku sedang menikmati suasana hidup di umur aku yang sekarang ini," jelas Tiara dengan melihat pandangan ke depan.

Sama halnya dengan Zaidan, dia menatap ke depan dan menyimak apa yang dikatakan Tiara.

"Seandainya kita memang ditakdirkan untuk bersama, aku akan menyambut dengan senang hati, jujur aku juga punya perasaan yang berbeda pada Kakak, tapi ... untuk saat ini ... biarkanlah perasaan ini meyakini apa yang akan dijalani nanti," tambah Tiara dan tersenyum.

"Kakak hanya mengutarakan apa yang kakak rasakan. Benar kata kamu, Dek, kalau kita memang ditakdirkan bersama pasti akan di satukan oleh-Nya, tapi yakinlah ... di setiap doa kakak, namamu selalu kusebutkan untuk meridhoi perasaan yang kakak rasakan saat ini."