webnovel

Ibu Nindi

Pagi ini Reres sudah rapi dan sedang berjalan menuju kamar Saga untuk melakukan pekerjaannya seperti biasa. Saat itu Reres berpapasan dengan Nindi yang tengah duduk dan membaca artikel dari ponselnya.

"Pagi Bu," sapa Reres.

Nindi mengangguk, lalu melepas kacamata yang ia kenakan. "Saya mau bicara sebentar sama kamu," titahnya lalu berjalan masuk ke dalam ruang baca.

Nindi duduk di kursi sementara Reres berdiri dengan sopan dan menunduk seperti hal yang diajarkan sang nenek. Sebagai pelayan pantang menatap majikan meski Reres masih terus melakukan itu pada Saga dan hanya pada Saga ia berani melakukan itu.

"Saya mau minta tolong kamu, mulai hari ini tolong kamu pulang lebih dulu apapun alasannya karena Aira yang akan menjemput Saga."

"Baik Bu," jawab Reres.

Nindi mengangguk kemudian menatap Reres. "Saya harap kamu tau diri untuk jaga jarak dengan Saga ya, Res? Saya menerima kamu di sini karena saya tau kamu sudah enggak punya siapa-siapa dan karena menghargai nenek kamu yang memang sudah jadi pengasuh Ayahnya Saga dulu dan Saga bergantung sekali sama kamu. Saya punya mata dan telinga dimana-mana, meskipun kamu dan Saga coba tutup rapat-rapat. Saya tau apa yang kalian lakukan." Nindi berbicara penuh penekanan.

Reres mengangguk kembali lalu telan saliva. Hal yang ia takutkan adalah Bu Nindi tau tentang apa yang ia lakukan. Bisa-bisa ia kehilangan pekerjaan jujur ini sedikit membuat Reres takut.

"Saya harap kamu mengerti, silahkan ke luar."

"Permisi Bu." Reres kemudian berjalan ke luar ruangan kembali melanjutkan kembali apa ayang harus ia lakukan pagi ini.

Berjalan menuju kamar Saga di lantai dua. Pikiran Reres terus saja memikirkan apa yang dikatakan sang nyonya rumah. Selama ini Nindi tak pernah mengancam seperti ini. Lalu apa ancaman kali ini adalah sebuah tanda kalau ibu satu Saga itu tau tentang apa yang dirinya dan Saga lakukan di Bali sebulan yang lalu?

Reres memasuki kamar, Saga sudah terbangun dan kini berada di kamar mandi. Reres segera mengambilkan pakaian dan menyiapkan semua keperluan sang CEO. Reres cukup pandai memilah pakaian hingga pas dikenakan, ia melihat ada beberapa dokumen di tempat tidur. Reres memiliki tak merapikan sebelum Saga yang meminta. Karena ia tak tau dokumen mana yang mungkin sudah dibaca Saga.

Tak lama Saga berjalan ke luar dari toilet lalu duduk di meja rias. Reres segera berjalan menghampiri lalu mengeringkan rambut si pucat yang kini terlihat kesal. Reres menatap pada cermin melihat Saga yang kesal mungkin karena kejadian malam tadi saat Reres menolaknya.

"Kok Lo manyun?"

"Lagi males," jawab Saga ketus.

"Kok galak jawab gue?"

Saga membalik tubuh kini bisa menatap Reres. Jelas pria itu masih kesal dengan apa yang Reres lakukan padanya semalam. Saga hela napas, lalu menatap Reres yang terlihat tak seperti biasanya. Saga berpikir kalau Reres merasa bersalah karena telah membuat ia kesal.

"Gimana gue enggak galak, Lo jahat banget gue lagi ON Lo malah ninggalin. Burung gue enggak pernah di tolak, harga diri dia hancur."

Reres menatap Saga tanpa senyum, biasanya apa yang dikatakan Saga buat ia kesal atau tertawa. "Hmm, sorry kalau gitu."

Saga mengerenyit, menatap Reres yang berbeda. "Lo kenapa sih?!"

"Apa sih Ga?!" Reres kesal kemudian memutar tubuh Saga agar kembali menatap pada cermin.

"Kok jadi lo yang marah? Kan gue yang Lo tinggal?" Saga bertanya heran.

Reres memilih tak menjawab ia hanya terdiam dan mengeringkan rambut Saga. Kemudian setelah kering Saga segera bangkit dan Reres memakaikan pria itu pakaian. Tak ada senyum dan itu buat Saga bingung sendiri. Ia berpikir bukankah dia yang seharusnya marah? Saga yang ditolak lalu mengapa malah wanita yang terang-terangan menolaknya semalam yang kini marah dan kesal padanya?

"Gue nanti mau pulang cepat." Reres berucap sambil mengancingkan jas Saga.

"Kenapa?"

"Ada urusan."

"Urusan apa?" Saga bertanya lagi.

"Kok Lo tanya tanya?" Reres bertanya kesal.

"Lo datang bulan apa gimana sih? Gue salah apa sih? Kenapa gue yang kena marah? Astaga." Saga kesal bergerak gelisah sambil berkacak pinggang.

"Ya karena lo tanya terus. Lo enggak harus tau apa urusan gue," kesal Reres kemudian mengambil tas Saga. "Ini mana dokumen yang mau Lo bawa?"

Saga menatap Reres sesaat lalu mengambil tas dari tangan Reres dengan kesal. Ia memasukan dokumen ke dalam tas. Lalu kini menatap gadis yang berdiri di hadapannya tanpa senyum.

"Mbok bilang apa dulu? Den Saga jagain Reres ya, kalau udah gede yang akur ya jagain Reres Kayan adik sendiri? Mbok nitip cucu mbok ya Den. Gue bukan cuma sekedar mau tau, gue tanya karena Lo juga tangung jawab gue. Gimana gue tanggung jawab ke Mbok kalau Lo kenapa-napa?" Saga mengatakan itu dengan serius lalu berjalan meninggalkan Reres yang masih terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengikuti Saga keluar kamar.

Reres tak banyak berada di ruangan Saga. Ia memilih duduk bersama Haris di luar ruangan. Haris sibuk dengan pekerjaannya sementara Reres tak memiliki pekerjaan selain menemani Saga. Sesekali Haris mengerakkan kepalanya karena lehernya yang terasa pegal. Reres melihat itu lalu bergerak mendekat pada Haris dan memijat bahu pria itu.

Haris menoleh dan tersenyum pada Reres. "Pijetan kamu enak Res."

"Pegel banget ya Mas?" Tanya Reres sambil terus memijat Haris.

"Lumayan sih, aku kemarin nginep di rumah ibu. Bantalnya empuk banget. Sedangkan aku biasa pake bantal yang agak keras."

Reres anggukan kepala, "Bisa jadi salah bantal nih Mas. Agak keras ototnya ini. Coba di oles minyak panas mas."

Reres memijat Haris yang kini tahan senyum karena merasa senang dapat perhatian dari gadis yang ia sukai. Ia begitu menikmati waktu yang ia habiskan bersama Reres meskipun hanya duduk dan mengobrol seperti ini. Haris sadar betul akan sulit meminta waktu lebih untuk bersama Reres karena Saga begitu bergantung pada gadis yang ia sukai. Hari ini mungkin satu dari sedikit waktu dimana Haris merasa beruntung. Karena Reres memilih untuk duduk bersamanya sejak pagi.

"Mas aku balik ya?"

"Sekarang?" tanya Haris.

Reres anggukan kepala. "Aku mau ke salon sekali-kali. Nanti kalau Saga tanya bilang aja aku udah pulang sama Pak Ahyat."

"Sama Pak Ahyat? Terus pak Saga gimana pulangnya?"

Reres tersenyum, lalu memilih bangkit dari duduknya. "Gampang kalau si Bos. Mas istirahat ya, jangan lupa pakai minyak hangat biar cepat sehat. Aku cabut dulu."

Reres kemudian berjalan meninggalkan tempat itu, menuju lift yang terbuka. Ia baru saja akan berjalan masuk, sebelum ....

"Reres!" Suara teriakan Saga terdengar.

Reres segera berjalan cepat, kemudian masuk ke dalam lift. Setelah masuk ia menatap Haris memohon agar pria itu membantunya. Haris mengangguk, lalu Reres menunjukkan tanda cinta dengan ibu jari dan telunjuknya. Hal itu membuat sang sekretaris menatap dengan senyum sampai pintu lift tertutup.