2 Hari Pemakaman

Kedua orang tua Vero yang tidak dapat diselamatkan lagi dari kejadian perampokan di cafe malam itu membuat Vero harus kehilangan kedua orang tuanya di usia yang terbilang masih sangat muda.

Untuk anak seusia Vero, ini merupakan kejadian yang sangat memukul perasaan. Di usia lima tahun, harusnya Vero mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Namun Vero harus kehilangan orang tuanya, bahkan kejadian penembakannya ia saksikan sendiri dengan mata kepalanya.

Jasad kedua orang tua Vero sampai setelah perjalanan menggunakan pesawat selama berjam-jam. Dan hujan salju yang mengguyur kota tempat rumah sakit orang tuanya dibawa kemarin, membuat Vero harus menunggu lebih lama karena penerbangan harus di-pending.

Vero yang mengenakan pakaian serba hitam, hanya terdiam melihat ke arah liang lahat tempat kedua orang tuanya akan dimakamkan siang itu. Kedua peti jenazah sudah berada di samping liang untuk dimakamkan. Sedangkan Vero yang sejak tadi hanya diam yang berdiri di pinggir liang ditemani oleh pamannya, Rudolf.

Sejak tadi, pamannya merasa ada yang aneh dengan keponakannya itu. Karena Vero hanya terdiam, dan tidak berkata apa pun, bahkan untuk menangisi kepergian kedua orang tuanya pun, tidak.

"Vero … apa kamu baik-baik saja, Nak?" tanya pamannya sambil memperhatikan raut wajah keponakannya itu.

Vero tetap diam dan tak menjawab pertanyaan Rudolf. Sehingga membuat Rudolf benar-benar merasakan ada sesuatu yang janggal.

Dorrr!!! Dorrr!!!

Dua peluru melesat di dada Ayah dan Bunda Vero. Peluru yang ditujukan pada dua orang polisi yang membawa senjata tajam pula itu pun, malah melesat pada dua orang tak bersalah.

Vero yang melihat kedua orang tuanya memegangi bekas masuknya peluru di dada kiri atas mereka masing-masing yang sudah berlumuran darah segar itu pun, hanya bisa diam, dan tak dapat berkata-kata apa pun. Kejadian mengerikan itu, terjadi begitu saja, tepat di hadapan matanya.

Suasana di cafe itu pun, kini mendadak menjadi riuh. Kedua polisi tadi, langsung berlari mengejar perampok tadi. Sedangkan, beberapa pengunjung dan pelayan cafe itu, nampak menggrumbuli Ayah dan Bunda Vero yang kini tergeletak tak berdaya di lantai.

"V--vero sayang … Vero harus jan-ji ya, pada ayah dan bunda. Ka-lo Vero akan menjadi anak yang kuat, kebanggaan ayah dan bunda--" ujar bundanya dengan terbata-bata, karena menahan sakit. Namun, kemudian bundanya langsung memejamkan matanya tak sadarkan diri, setelah mengucapkan kalimat terakhirnya itu.

"Bunda…." teriak Vero dengan spontan, sehingga membuat pamannya terkejut. Dan membuat semua mata orang yang menghadiri pemakaman tersebut tertuju pada Vero.

Semua kejadian dan kata-kata terakhir yang disampaikan oleh bundanya itu terus terngiang-ngiang di telinga dan pikiran Vero.

"Vero, ada apa?" tanya pamannya kemudian langsung menggoyang-goyangkan tubuh keponakannya itu, karena pandangannya tampak kosong.

"Katakan sesuatu pada paman, agar paman tahu, Nak," ujar pamannya dengan ekspresi yang khawatir.

Tetap saja, keponakannya itu hanya termenung dengan pandangan yang kosong. Saat kedua peti jenazah orang tuanya dimasukkan ke liang lahat pun, Vero hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

Kemudian Rudolf hanya dapat memberikan pelukan hangatnya pada keponakannya yang bernasib malang itu.

Kedua peti jenazah di hadapan Vero kini telah tertutup dengan tanah. Pamannya yang memegang dua buah buket bunga, berniat memberikannya pada Vero, agar Vero yang memberikannya di kedua makam orang tuanya.

Orang-orang yang mengantarkan pemakaman kedua orang tua Vero, satu per satu meninggalkan tempat itu. Tersisa Vero dan pamannya, Vero sejak tadi hanya terdiam memandangi kedua makam orang tuanya yang bersebelahan.

"Vero … kamu harus mengikhlaskan kepergian kedua orang tuamu, Nak. Kamu akan tinggal bersama paman setelah ini," ucap Rudolf sambil menyodorkan kedua buket bunga dengan paduan bunga berwarna kuning dan putih.

"Vero tidak mau memberikan bunga itu, karena bunga hanya diberikan saat sedang bahagia," jawab Vero dengan ketus.

Deg….

Pamannya seperti mendapat tamparan keras dari keponakannya itu. Rudolf segera mengurungkan niatnya memberikan kedua buket bunga itu pada Vero.

"Baik lah, Vero … jika kamu tidak mau, paman tidak akan memaksa kamu memberikan bunga ini," jawab pamannya dengan lembut sambil mengusap pundak Vero.

Pemakaman yang diiringi dengan turunnya salju itu pun, akhirnya berlangsung dengan sangat cepat. Karena khawatir orang-orang yang mengantar ke pemakaman itu kedinginan.

"Vero, sebaiknya kita harus pulang sekarang, karena salju terus turun dan sepertinya akan sangat lebat," ucap pamannya sambil mendongakkan kepala memandang ke arah langit yang dihiasi dengan butiran-butiran salju yang turun.

Tidak ada jawaban dari Vero. Namun, Vero hanya menuruti perkataan pamannya tanpa mengatakan apa pun. Ia langsung melangkahkan kaki pergi dari makam kedua orang tuanya, dan berjalan menuju mobil pamannya.

Rudolf yang melihat itu pun, buru-buru menyusul keponakannya itu. Ia langsung meletakkan kedua buket bunga yang ia pegang pada makam kedua orang tua Vero.

Vero sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil Rudolf. Sedangkan Rudolf yang berada di belakang Vero sempat terkena salju cukup banyak, langsung membersihkan butiran-butiran salju dengan tangan pada jaketnya.

"Apakah kamu tidak kedinginan, Nak?" tanya pamannya yang baru saja masuk ke mobil.

Lagi-lagi Vero tak menjawab pertanyaan pamannya, dan malah memandang ke arah depan dengan pandangan kosong.

Rudolf lagi-lagi mengembuskan napas gusar, saat pertanyaannya lagi-lagi tidak dijawab oleh keponakannya itu.

Kemudian Rudolf tidak mengatakan apa pun, setelah itu. Ia langsung menghidupkan mobilnya, dan langsung menancapkan gasnya, menuju rumah sebelum salju turun begitu lebat.

Perjalanan pulang Vero dan Rudolf sangat lah hening, tidak ada obrolan yang terjadi antara paman dan keponakannya itu.

Hingga saat mobil Rudolf terparkir di garasi mobil rumahnya, Vero hanya diam dan langsung turun dari mobil, kemudian melangkah ke dalam rumah.

Untunglah, sebagai paman, Rudolf sangat lah penyabar. Ia sangat menyayangi keponakannya itu seperti anaknya sendiri. Meskipun dirinya belum menikah, namun ia berusaha menjadi orang tua bagi keponakannya itu.

Sampai ponselnya terus saja berdering saat di mobil, namun Rudolf tidak mau mengangkatnya, karena ia tak mau mengganggu keponakannya itu.

Kini saat sampai di rumah, ia membuka ponselnya untuk melihat siapa yang menelponnya sejak tadi. Setelah dilihatnya, ternyata kekasihnya lah yang sejak tadi menelponnya.

Rudolf segera menelpon balik kekasihnya itu.

"Halo, dari mana saja kau?" suara seorang wanita dengan nada tinggi langsung menyeruap di telinga Rudolf.

"Tidak perlu berteriak," jawab Rudolf dengan santai.

Rudolf sengaja me-loudspeaker panggilan itu, karena dirinya sambil membawa dan merapikan barang-barang Vero yang ada di bagasi mobilnya.

"Kau ini dari mana saja?" tanya kekasih paman Vero itu, kini dengan nada rendah.

"Aku baru saja pulang dari pemakaman kakak ku," jawab Rudolf yang sibuk merapikan barang-barang Vero.

"Kenapa tidak mengabari aku?" tanya wanita itu lagi.

"Tidak sempat," jawab Rudolf dengan santai.

"Tidak sempat kau bilang? Maksudnya, aku tidak penting untuk dirimu?" tanya wanita itu bertubi-tubi dan terlihat kesal.

"Aku mengurusi keponakanku,"

"Apa kau bilang? Jadi sekarang kau mengurusi seorang anak?"

"Hmm" jawab Rudolf dengan berdehem karena sudah malas menanggapi pertanyaan kekasihnya yang membuat kesal itu.

"Kenapa tidak kau titipkan saja di panti asuhan?" tanya kekasihnya dengan santainya.

Rudolf yang tengah membereskan pakaian Vero pun, menghentikan kegiatannya dan seketika mengepalkan tangannya.

"Aku rasa, aku sudah salah berpacaran dengan orang gila," ucap Rudolf dengan nada kesal.

"Apa maksudmu Rudolf?" tanya wanita itu kaget mendengar ucapan Rudolf.

"Aku rasa, aku tidak mau lagi berhubungan denganmu, terima kasih," ucap Rudolf kemudian memutuskan sambungan telepon itu tiba-tiba.

Rudolf mengepalkan telapak tangannya penuh amarah. Namun tak disangka, jika sejak tadi Vero mendengar semua pembicaraan Rudolf dengan kekasihnya. Membuat Vero merasa bersalah pada pamannya, karena kehadirannya membuat beban di hidupnya.

Vero menghampiri Rudolf dengan kepala yang tertunduk lesu, seperti merasa sangat bersalah.

"Vero … ada apa?" tanya Rudolf yang melihat ekspresi wajah keponakannya yang nampak muram.

"Paman, sepertinya lebih baik jika aku dititipkan ke panti asuhan saja," ucap Vero dengan tetap menundukkan kepalanya.

Rudolf yang mendengar Vero mengatakan hal itu pun, terkejut. Sepertinya Vero mendengar pembicaraannya di telepon tadi.

Rudolf langsung berlutut agar menyamakan tinggi keponakannya itu. Ia memandang lekat-lekat wajah keponakannya itu.

"Vero, kamu itu keponakan paman, bahkan paman sudah menganggap kamu anak paman. Jadi, paman lah yang akan bertanggung jawab untuk mu setelah ini, jangan pikirkan hal apa pun, kamu anak yang tangguh, paman tahu itu," ucap pamannya dengan sangat tulus.

Vero langsung mendongakkan wajahnya dan balik menatap pamannya itu.

"Sungguh paman?" tanya Vero dengan wajah polosnya.

Rudolf hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum dengan tulusnya.

"Terima kasih, paman."

"Besok, mau kah ikut bersama paman ke suatu tempat?" tanya Rudolf.

Vero tampak berpikir sejenak mendengar pertanyaan pamannya itu. Lalu beberapa detik kemudian Vero mengangguk setuju.

avataravatar
Next chapter