webnovel

Pohon Keramat

Matahari sudah turun. Hanya tinggal beberapa jam saja dia akan menghilang. Senja. Senja selalu mengingatkan Nurmala akan satu hal. Satu kenangan indah masa kecilnya yang bahagia. Tertawa bersama kedua orang tuanya. Hanya satu kali. Hanya itu saja satu satunya yang dia ingat. Bukan. Hanya itu saja satu kenangan indah terakhir. Hingga semua berubah menjadi kelabu.

Senja kini terlihat sangat indah. Namun kini dia sedang tidak berada di tempat yang tepat untuk menikmati keindahannya. Beberapa gundukan tanah berjejer di atas bukit. Berpatok batu dan kayu. Berhias puing puing kayu yang masih penuh dengan arang.

Bulir air mata itu mengalir lagi. "Aku merindukan kalian semua" gumamnya. Dunia sedang tidak ramah padanya. Semua orang membencinya. Bahkan mengutuknya untuk mati. Dia tau itu hanya salah paham. Dia mengerti. Hanya saja ada saat ketika dia merasa sesak dengan itu semua. Kedua temannya kini mungkin tidak memiliki hubungan baik. Tidak seperti sebelumnya. Dia tau itu hanya salah paham. Dia bisa mengerti. Banyak hal yang di rahasiakan Bayu. Banyak Hal dari itu yang di benci Dhika.

"Apa yang harus aku lakukan?"

Banyak hal yang mengganggu pikirannya. Banyak hal yang dia tidak mengerti. Banyak hal yang membuat dia sesak. Dia bersimpuh di salah satu patok kayu. Memeluk patok itu dan menangis di atasnya.

Seseorang berjalan mendekat menghampirinya. Dia menoleh dan melihat siapa di hadapannya. Seorang pria gagah tengah berdiri. Matanya berkaca kaca. Bibirnya gemetar. "Tuan Budhi??"

"Lama tidak bertemu, Nurmala"

Bulir air mata Nurmala semakin menganak sungai. Segera dia bangkit dan berlari menghampirinya. Memeluknya dengan erat. Mereka terharu. Menangis. Menumpahkan segala rindu. Tuan Budhi sudah seperti ayah baginya. "Aku merindukan tuan setiap hari. Tuan tidak ingin menemuiku?"

"Aku bersalah padamu. Aku tidak berani menampakan wajahku"

"Aku mengerti maksud tuan saat itu. Aku sangat mengerti. Tuan tidak pernah berniat menyakitiku."

"Aku menempatkanmu dalam bahaya"

"Tidak tuan. Jangan bicara seperti itu. Aku mengerti semua maksud tuan saat itu."

Nurmala melepas pelukannya. Menghapus air matanya dengan lengan bajunya. Dia menatap Senja itu. Dan dia tersenyum. Terimakasih tuhan, selalu menghadirkan kehangatan di atas kesedihan.

Mereka berjalan berdampingan meninggalkan makam makam itu.

"Banyak hal yang ingin ku bicarakan denganmu. Tapi aku yakin bukan saat yang tepat."

"Aku juga ingin bercerita banyak hal pada tuan. Aku tak pernah bisa menemuimu di kota."

"Banyak hal terjadi. Aku dikirim kembali ke ibukota. Situasi disana juga tidak cukup baik. Terutama mengenai akan adanya serangan tentara Mongol."

Seketika saja Nurmala teringat hal yang menjadi penyelidikannya setahun lalu.

"Tuan penyelidikan waktu itu apa tidak ada perkembangan"

"Itulah sedang ku khawatirkan. Aku merasa ini adalah masalah yang lebih besar. Lebih rumit dari kelihatannya."

"Ada informasi baru?"

"Hanya sedikit. Bahkan mungkin ini tidak begitu terpengaruh. Anehnya. Semakin dalam kami mencari tau. Semakin sulit juga mendapatkannya."

"Informasi apa yang tuan dapatkan? Sekecil apapun jika bisa mengolahnya mungkin bisa bermanfaat suatu hari nanti."

Tuan Budhi menghela nafas "aku akan beritahu ini jika aku sudah yakin. Ngomong ngomong Nurmala, penyergapan tentara Mongol saat itu. Aku harus berterimakasih padamu. Berkat informasi darimu semua bisa terkendali."

"Hanya itu yang bisa kulakukan"

"Banyak hal yang kau lakukan dan itu sangat membantu. Tapi Nurmala apakah kau tidak pernah merasa sesuatu yang aneh di sekitarmu?"

"Seperti apa?"

"Apa kau mempercayai teman teman mu?"

"...."

"Apa kau mempercayai orang orang disekelilingmu?"

"Apa informasi kecil itu berhubungan dengan itu?"

Tuan Budhi mengerutkan dahi. Dia tidak menjawab. Tapi diam nya mengartikan hal lain bagi Nurmala.

"Jadi memang ada hubunganya dengan itu. Tuan merasa ada penghianat diantara orang orangku?"

"Semoga aku salah"

"...."

"Kau sudah bertemu dengan Bayu?"

"Hmm" Nurmala mengangguk

"Bagaimana keadaannya?"

"Baik baik saja. Tuan tidak mengira itu adalah Bayu bukan?"

"Aku mengenalnya sudah lama. Dia tidak mungkin melakukan hal yang salah. Tapi aku tidak tau jika memang ada perubahan."

"Kenapa Tuan bicara begitu?"

"Kau bisa menilainya sendiri. Kau adalah teman baiknya. Seharusnya kau bisa lebih mengerti dia."

"Tentu saja aku mengerti." Nurmala menunduk. Tersirat setitik kesedihan di raut wajahnya.

"Kita berpisah disini. Aku akan kembali ke ibukota."

"Baiklah. Eh tuan aku ingin tanya"

"Tanya apa?"

"Pemerintahan ibu kota. Apakah tidak ada tindakan mengenai permasalahan disini?"

"Mengenai itu.....informasi nya masih sangat rahasia. Bukannya tidak ada tindakan hanya saja. Banyak hal yang harus di perhatikan. Permasalahan di ibukota pun bukan hal kecil. Jadi akan membutuhkan waktu lebih untuk menangani ini."

"Tapi. Aku merasa .... Ah aku mengerti tuan."

"Jangan keluar jalur, pastikan kau tidak termasuk orang yang jahat"

"Mn"

Tuan Budhi pergi. Mereka berpisah di persimpangan. Nurmala memutar pandangannya pada sesuatu yang tidak asing. Yang masih membuatnya penasaran. Sebuah pohon besar berdiri tegak di tengah padang rumput. Setiap kali memandangnya dia merasa seseorang memanggilnya dari sana.

Dia melangkahkan kaki mendekati pohon itu. Lebih jauh dari yang terlihat. Lebih besar dari yang terlihat. Dan lebih menyeramkan. Sekeliling nya dipenuhi dengan kertas kertas mantra.

Tubuhnya sedikit bergetar ketika tiupan angin membelai dedaunan. Suara gemerisiknya seakan menyamarkan sesuatu yang tertawa di baliknya. Nurmala semakin penasaran. Semakin lama semakin mendekat.

Rumput berbunga kuning menjadi karpet diantaranya. Mengelilingi pohon itu. Beberapa tumpukan batu di bawah pohon itu. Tersusun dengan rapi. Berbaring setangkai bunga mawar putih yang sudah layu dan mengering. Dia tau apa artinya itu. Seseorang mungkin meninggal disini. Atau pohon ini memang dikeramatkan karena itu. Dia teringat perkataan Bayu dulu. Bahwa disini ada sepasang kekasih yang meninggal. Mungkin itu memang benar.

Nurmala harus segera pulang. Hari sudah petang. Sesuatu menghentikan langkahnya ketika melangkah pergi. Sebuah bisikan memanggil namanya. Dia menoleh melihat pohon itu. Seseorang berdiri disana. Berwajah pucat bermata sayu.

'Siapa kau. Aku tau Kau bukan dari sini. Kau juga bukan bangsa kami'

Suara itu menggema dipikirannya. Seakan itu pertanyaan dari nya. Tapi Bibir orang itu masih tertutup.

"Siapa itu? Siapa yang bicara padaku?"

'Itu aku.' Dia tersenyum.

Seram. Sangat menyeramkan. Nurmala terpaku melihat itu.

'Kenapa kau disini? Ini bukan tempatmu.'

"Siapa kamu??"

Kamu tidak tau siapa aku. Tapi aku tau siapa kamu. Rinaya, kau berada di waktu dan tempat yang salah.

"Apa maksudnya?"

'Satu kejadian besar akan terjadi lagi. Dan kau berada di tempat yang salah.'

"Kejadian? Kejadian apa?"

'Kau akan tau. Kau sudah menduganya. Dan ini akan lebih mengerikan.'

"Apa? Sebelumnya? Kapan?"

Dia tersenyum dan lalu menghilang menembus pohon.

'Kau akan tau. Dan kau harus kembali. Disini bukan tempatmu.'

Perlahan suasana berubah hangat, matahari pun sangat bersahabat. Terlihat bayangan seseorang berdiri membelakanginya. Menatap sedih gundukan batu itu. Tiupan angin seakan membelai pipi basah nya. Dia masih sangat belia. Nurmala mengenal bocah itu.

Dia menoleh padanya. Lalu semua berubah kembali seperti semula.

"Bayu??"

Nurmala berlari pulang. Ingin segera sampai dan bertemu dengan ketua. Dia pasti tau sesuatu tentang ini.

Dia tau mengenai siapa dirinya. Dan mungkin dia juga tau apa yang arwah itu maksudkan.

Malam mulai diguyur hujan. Nurmala masih terus berlari pulang. Kabut di hutan Pekat sudah semakin tebal. Tubuhnya sudah basah di guyur hujan.

Nurmala bergegas membuka gerbang paling luar. Beberapa orang sibuk membenahi rumah mereka yang bocor.

"Paman, ketua dimana?"

"Aku tidak lihat seharian ini"

Nurmala berlari memasuki rumah goa. Tama duduk memainkan beberapa balok kayu.

"Putri lihat apa yang bisa ku buat dengan ini"

"Bagus, kau lihat ketua dimana?"

"Di ruangannya. Kenapa kau basah kuyup begitu."

Dia tidak menjawab dan segera pergi mencari ketua. Dia buka pintu kayu berukir. Dilihatnya seseorang sedang menghadap jendela. Hujan terlihat dari sana. Dia menutup jendela itu.

"Ada apa?"

"Ketua ada yang ingin aku tanyakan"

"Bicaralah"

Nirmala menelan ludah "kejadian apa yang pernah terjadi di masa lalu?"

"Mengenai apa? Apa yang kau bicarakan?"

"Aku bertemu seseorang. Tidak. Bukan. Dia hantu. Dia bilang sesuatu akan terjadi lagi dan lebih mengerikan."

Ketua tersenyum "Mungkin memang seharusnya begitu."

"Ha?"

"Kau terlihat kacau. Bersihkan dirimu. Kita akan bicarakan ini besok. Pergilah"

------------