webnovel

Keluarga Wijaya

Beberapa minggu berlalu tidak ada hal yang berubah. Dhika menghabiskan waktunya dengan berlatih di padepokan keluarganya. Sesekali ke gunung untuk bermeditasi meningkatkan kekuatan energi spiritualnya.

Desas desus mengatakan bahwa mandalika Wilis akan ke hutan pekat. Menyerang kelompok Halimun si bandit gunung. Mungkin itu memang benar. Namun semua orang tau. Bandit gunung bukan kelompok yang mudah di taklukan apalagi menyerang wilayah mereka. Wilayah yang penuh misteri dan tidak banyak yang tau ada apa saja di hutan itu. Tuan Wilis harus benar benar mempersiapkan diri untuk itu.

Dhika duduk di perpustakaan di padepokan. Dengan segunung buku buku di mejanya. Salah satu buku terbuka. Dia sedang membacanya. Dia terhenti ketika seseorang mengetuk dan memberinya sepucuk surat.

Pengirimnya adalah Haris. Dia meminta bantuan untuk merebut kembali rumah milik keluarganya. Boris menempati rumah itu bagai tuan rumah. Dan menjadikannya miliknya. Tentu Haris tidak ingin tinggal diam. Itu adalah satu satunya tempat keluarga Wijaya hidup. Dia tidak ingin kehilangan apapun miliknya. Terlebih lagi. Boris juga semena mena terhadap warga sekitar. Terkadang menjadikan mereka sebagai budak. Mengambil kembali rumah nya berarti mengambil kembali daerah sekitar wilayah itu.

Keluarga Wiriya sepakat untuk membantu lagipula Boris dan pasukannya memang sudah sangat keterlaluan. Kini dua keluarga menjadi musuh bagi keluarga Wilis. Dan mereka tidak akan pernah tinggal diam.

Penyergapan dilakukan malam hari ketika semua pengikut Boris mulai lelah. Dimulai dari pondok pelatihan keluarga Wijaya. Terbagi dalam tiga. kelompok pengikut Dhika mengendap di sekeliling area. Memastikan keadaan aman. Kelompok pengikut Haris mengendap masuk melumpuhkan semua prajurit. Dan kelompok Haris bersama Dhika akan menerobos masuk mengalahkan semua orang yang melawan.

Keadaan sangat lancar hingga Haris dan Dhika mengendap masuk. Ada hal aneh sudah terjadi disana. Sangat sunyi. Sangat mudah untuk di lalui. Semua penjaga seperti boneka yang hanya berdiri. Seperti terhipnotis. Mereka terus masuk ke dalam padepokan. Menelusuri lorong menyisir semua ruangan. Mayat prajurit bergelimpangan tanpa luka, tanpa darah. Seperti seakan ketakutan setengah mati. Haris dan Dhika dibuat takjub dengan semua itu.

"Siapa yang melakukan ini?" Haris bertanya tanya.

"Seseorang sepertinya mendahului kita."

Mereka terus menyusuri lorong. Hingga mereka mendengar sesuatu di sebuah ruangan.

"Tolong ampuni kami. Kami mohon. Kami hanya menuruti perintah"

"Begitu? Apa membunuh juga suatu perintah? Bagaimana jika mereka memerintahkanmu untuk membunuh keluargamu? Kau akan melakukannya?"

"Tuan tolong ampuni kami"

Dhika mendengar itu dari balik pintu. Begitu juga Haris. Dia mengenali suara itu.

"Dimana dia? Dimana orang yang memerintahmu. Aku tidak melihatnya rumah besar Wijaya. Apa dia melarikan diri?"

"Ttttuan Boris?? Dia sudah pergi dari sini dua jam lalu."

"Baiklah terimakasih silahkan nikmati hidupmu beberapa menit lagi."

"Tidak tidak tolong biarkan aku hidup. Tidak" Dia berteriak teriak ketakutan.

Mendengar situasi yang sepertinya berbahaya. Dhika dan Haris sontak mendobrak pintu dan masuk kedalam. Sesuatu memang terjadi di ruangan itu.

Darah segar mengalir di mayat mayat yang tergeletak. Cipratannya cukup untuk membuat dinding menjadi berwarna merah. Barang barang rusak menjadi serpihan. Seorang petugas berlutut di hadapan seseorang. Dikelilingi mahluk mahluk dari dunia lain. Bersosok seperti anjing. Bertubuh besar bertaring panjang, mata merah menyeramkan. Mereka bersiap untuk menerkan mangsanya yang bersujud tak berdaya. Namun bukan itu saja. Pria itu, pria dengan pakaian hitam berdir di hadapan Haris dan Dhika. Membelakangi mereka. Kedua lengannya terlipat kebelakang.

Dia menoleh ke arah Haris dan Dhika. Mata dengan tatapan kebencian. Matanya yang tak pernah dia perlihatkan kepada siapapun. Dia berbeda. Sungguh berbeda. Dia seperti bukan orang yang mereka kenal. Anjing anjing hanya tinggal menunggu perintahnya.

Seseorang berlari menyusuri lorong. Terengah engah berlari tanpa henti menuju ke ruangan yang sama.

"Bayu!!" Nurmala yang baru sampai di ambang pintu. Berteriak dengan sisa nafasnya.

Bayu berbalik dan menatap mereka bertiga. "hentikan itu Bayu. Jangan lakukan lagi."

Dhika hanya menatap mereka berdua seakan bertanya tanya apa yang sudah terjadi.

Nurmala "sudah cukup Bayu. Jangan lakukan lagi"

Bayu hanya diam. Sedikit menunduk melihat ketiga orang itu. Tak lama anjing anjing itu lenyap bagai udara.

Nurmala ambruk terduduk di tempatnya. Haris mencoba mencerna semua. "Bayu..."

Bayu tersenyum "apakabar Haris. Maaf sudah membuatmu khawatir"

Haris "selama ini kau kemana saja?"

Bayu "aku sedikit tersesat"

Nada bicaranya tidak seperti biasanya. Kini dia lebih tenang, tapi lebih kelam. Sorot matanya tak seperti dulu. Seakan ada hal tersimpan yang siap untuk meledak. Raut wajahnya semakin datar, senyum palsu menghiasinya.

Haris "kenapa tidak menghubungiku? Kau tidak mencariku?"

Bayu "ah...aku bingung harus kemana"

Dhika "bayu, yang tadi itu..."

Bayu "Haris. Ayo kita pulang. Aku sudah lelah"

Haris "pulang kemana rumah kita masih di tempati oleh....." Dia teringat pembicaraaan tadi.

Bayu "sudah ku bereskan. Ayo pulang" Bayu melangkahkan kakinya. Lalu terhenti ketika Dhika berbicara.

Dhika "Bayu. Kau melanggarnya? Kau tidak ingat dengan apa yang kau katakan?"

Bayu "Dhika itu semua adalah urusanku. Tidak ada yang bisa mencampurinya."

Dhika "mempelajari hal seperti itu adalah penyimpangan!"

Bayu "terserah apa katamu. Apapun yang aku lakukan bukanlah untuk tindakan semena mena seperti mereka"

Dhika mencengkram lengan Bayu. "Ilmu hitam akan merusak hatimu, menggelapkan pikiranmu. Suatu saat mungkin akan mengambil jiwamu."

Bayu melepaskan cengkraman Dhika dan tersenyum. "Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Semua ilmu bergantung pada apa yang dikehendaki tuannya. Jika kau kira kekuatan hebat akan membawaku seperti mereka(Boris dan keluarga Wilis), maka aku tidak akan pernah memilikinya."

Dhika "itu keputusanmu?"

Bayu hanya tersenyum dan lalu pergi. Haris mengikutinya. Bahkan Bayu tidak menatap Nurmala sama sekali.

Air mata mengalir di kedua pipi Nurmala. Rasanya sangat menyakitkan melihat Bayu pergi tanpa kata sedikitpun. Bahkan dia seakan tidak pernah melihat Nurmala.

Dhika tertunduk sendu. Hatinya mungkin lebih sakit lagi. Sekian lama berharap dia kembali. Benar dia memang kembali tapi semua terasa berbeda. Terasa menyakitkan.

Nurmala berdiri dari tempatnya "Dhika.... Jangan dimasukan ke dalam hati. Mungkin dia sedang banyak pikiran" dia menghapus air matanya lalu pergi lagi.

Gerbang kayu itu penuh dengan goresan. Gerbang berlambang rumpun Bambu. Pastilah karena penyerangan itu semua menjadi rusak. Tidak sebagus biasanya. Halaman penuh dengan serpihan barang rusak. Cipratan darah masih tersisa. Tempat pembantaian biasanya akan menjadi tenpat yang kelam. Tapi mereka tidak peduli. Itu adalah rumah tercinta mereka. Dimana semua orang pernah bahagia di sana.

Bayu mengambil sebuah vas bunga yang terjatuh di lantai ruang keluarga. Dia membersihkannya dengan bajunya. Dan meletakannya kembali di atas meja. Dia teringat ketika Rindah memarahinya karena hampir saja menjatuhkannya. Bayu sangat ceroboh waktu itu.

Haris menatap sekeliling. Semua terasa berbeda. Tapi dia masih merasakan kehadiran keluarganya. Tawa ayahnya. Canda ibunya. Bahkan dia masih ingat ketika dia memiliki adik baru. Dia seakan merasa masih melihat mereka. Airmata mengalir lagi. Betapa pedih apa yang dia alami. Tapi dia harus bersyukur. Masih ada adiknya dan masih ada Bayu. Meski semua berbeda tapi dia tidak akan melupakan semuanya.