webnovel

Nisekai

Setelah keluar dari acara perpisahan, Fadil menemui Sang Kakek di dalam kamar. Beliau mewariskan Ajian turun-temurun yaitu Ajian Brajamusti. Setelah beberapa saat, beliau menghembuskan nafas terakhir. Semenjak mewarisi Ajian Brajamusti, kehidupannya perlahan mulai berubah. Tubuhnya yang kebal serta elemen api yang ia miliki, membuatnya terlindungi dari para penjahat. Suatu hari, ketika sedang menjaga warung ia membuka sebuah botol misterius berisi action figur. Munculah sosok Ras Bidadari bernama Sarah. Suatu ketika, awal fenomena kesurupan memunculkan makhluk misterius. Mereka berdua, bertemu sosok penyihir putih bernama Luna. Lambat laun, mereka tinggal bersama. Mereka membentuk sebuah organisasi yaitu Demon Killer. Fadil, Luna dan Sarah menjalani dua kehidupan sebagai Demon Killer, Mahasiswa berwirausaha sekaligus rumah tangga. Namun, tanda kebangkitan Raja Iblis Mamon membuat kehidupan normal dan Dunia diciptakan para Dewa terancam. Bisakah Fadil dan Demon Killer bisa menghadapinya?

Tampan_Berani · Fantasy
Not enough ratings
195 Chs

Mendengar

Fajar telah tiba, burung-burung mulai keluar dari sarangnya. Masyarakat keluar dari rumah memulai aktivitasnya masing-masing. Para pejalan kaki mulai terlihat di jalanan komplek. Udara sejuk, membuat masyarakat merasakan nikmatnya pagi. Sarah sejak sepuluh menit yang lalu, membangunkan Fadil dari tidurnya. Namun daya gravitasi kasur yang kuat, membuat pemuda itu enggan untuk meninggalkan kasurnya.

"Bangun sayang, katanya OSPEK mulai jam tujuh pagi! Aku sudah belikan sarapan untukmu, jadi ayo bangun," ujarnya sembari menepuk pahanya secara perlahan.

"Iya," jawab singkat sembari beranjak dari tempat tidurnya.

Pemuda itu berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk memenuhi panggilan alam. Setelah itu dia membasuh mukanya, dan dia duduk bersila di ruang tengah bersama Sarah. Dia membuka bungkus kupatahu, beralaskan piring tersedia di atas lantai. Kemudian dia melirik ke arah jam dinding terpasang tepat di atas TV. Rupanya, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dengan penuh tergesah-gesah, dia habiskan sarapan pagi lalu kembali masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Selama pemuda itu mandi, Sarah dengan berinisiatif menyiapkan segala keperluannya untuk OSPEK. Dia meletakkannya, di ruang tengah agar Fadil bisa langsung membawanya. Selesai mandi, Fadil berjalan cepat memasuki kamar lalu pemuda itu memakai kemeja putih dan celana bahan hitam. Dia pun berjalan keluar, dalam keadaan kemeja belum di kancing mencari barang-barang miliknya untuk keperluan OSPEK.

"Barangmu sudah aku siapkan disini," menunjuk pada sebuah kantong plastik hitam besar.

"Ya ampun, kukira barang-barangku hilang. Thanks Sarah," ujarnya berterimakasih.

"Bajumu belum di kancing sayang, sini biar aku kancingi." Timbalnya maju ke depan lalu mengancingi kemejanya satu persatu.

Rasa malu mulai dia rasakan, Fadil sempat menolaknya namun gadis itu bersikeras mengancingi bajunya. Kemudian rambutnya di ikat, menggunakan tali rapia hingga menyerupai sumbu kompor. Selanjutnya, Sarah memakaikan sebuah kalung bawang dan cabai. Sarah pun tertawa terbahak-bahak melihat kesayangannya berpenampilan konyol. Raut wajahnya semakin merah menahan malu, lalu dia memasukkan kalung bawang dan cabai itu ke dalam kantong plastik.

"Padahal kamu sangat cocok memakainya," kata Sarah sembari menahan tawa.

"Dasar kamu ngeledek yah? Hah, pada akhirnya aku harus memakainya sial," timbalnya pada Sarah.

"Nikmati saja sayang, kapan lagi kamu bisa merasakan momen sekali seumur hidup?"

"Iya," jawabnya singkat.

Selesai berkemas dia menuntun motornya menuju halaman rumahnya, sedangkan Sarah berjalan untuk membuka pintu gerbang. Kemudian, dia mulai melaju kendaraannya menuju kampus meninggalkan Sarah seorang diri di rumah. Sekian lama di perjalanan, dia pun sampai lalu ia berlari sembari membawa kantong plastik di tangan kanananya. Pemuda itu melirik kesana kemari, mencari dimana rombongannya berada. Tiba-tiba pemuda itu menabrak seseorang, lalu dia melihat gadis berambut putih tergeletak di atas lantai lorong kampus.

"Maaf aku tidak sengaja, ayo biar kubantu bangun." Ujarnya membantu gadis berambut putih itu bangun.

"Tidak masalah, lagi pula ini salahku juga karena berlarian di lorong." Timbalnya dengan raut wajahnya yang datar.

Kemudian, Fadil membantu mengambil barang keperluan OSPEK miliknya, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik putih. Selai memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam plastik, dia pun pamit berjalan arah berlawanan. Secara mengejutkan, gadis berambut putih itu menarik tangannya dengan kuat hingga hampir membuatnya terjungkal.

"Mencari rombongan Fakultas Bahasa Jepang? Kebetulan kita satu Fakultas, jadi ayo ikut aku tau tempatnya." Ujarnya menuntun lelaki itu sembari berjalan cepat.

Mereka berdua, berlari sambil bergandengan tangan menuju tempat peserta OSPEK berkumpul, pada sebuah tempat penuh dengan rumput hijau di bawah pohon beringin. Peserta OSPEK dari Fakultas Bahasa Jepang, duduk bersila membentuk sebuah lingkaran besar. Udara yang sejuk, keramahan panitia menjalankan tugasnya dalam membimbing serta mengakrabkan para peserta OSPEK. Salah satu panitia berbadan gemuk, berkulit putih serta menggunakan almet melihat mereka berdua baru saja datang.

Kemudian panitia itu meminta, mereka berdua untuk maju ke depan berdiri di hadapan peserta yang lain. Kedua tangannya gemetar, pikirannya kabur dan dia menatap orang dengan grogi. Sedangkan Luna menatap semua orang dengan raut wajahnya yang datar. Gadis itu melirik ke arah Fadil, lalu dia melihat tangannya yang gemetar. Secara mengejutkan Luna menggenggan tangan kanannya, lalu mereka saling bertatapan.

"Tenang jangan grogi, ada aku disini." Ucap gadis itu berbisi membuat Fadil tersipu malu.

"Iya," jawabnya dengan singkat.

"Ciee ada yang CILOK (Cinta Lokasi) nih," ujar salah satu panitia mengenakan hijab coklat.

"Enggak kak, siapa juga yang CILOK." Bantah Fadil.

"Itu tangannya," ujar panitia itu sembari menunjuk ke dua tangan yang sedang bergandengan.

Tubuhnya, seketika memerah bagaikan kepiting rebus. Para peserta termasuk panitia, meneriaki mereka berdua dengan kata "Ciee" dengan lantangnya. Fadil langsung menarik tangannya, sedangkan gadis itu memalingkan wajah dengan tersipu malu walau raut wajahnya masih saja datar. Kemudian kedua panitia, meminta mereka berdua untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selesai bernyanyi, mereka berdua di minta untuk goyang Bang Jali dengan iringan lagu dari ponsel milik salah satu panitia.

Sejak saat itu, nama mereka berdua mulai di kenal. Berbagai aktivitas telah Fadil ikuti, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tengah hari, kegiatan OSPEK pun berakhir sebab sebagian peserta harus pergi bekerja. Fadil duduk seorang diri, pada sebuah bangku panjang terbuat dari semen di sebuah taman dekat dengan patung Ir. Soekarno. Tak berlangsung lama, seorang pemuda berkacamata, mengenakan kemeja merah datang menghampirinya. Dia berjalan, sambil membawa tas punggung hitam, juga membawa sebuah kantong plastik putih entah apa isinya.

"Lama?" sapa Dimas.

"Iya mas, sudah setahun gue nunggu disini." Canda Fadil.

"Lagian, minta segala tungguin disini, capek atuh Bang," ujarnya dengan kesal lalu duduk di sampingnya.

"Biarin, hitung-hitung olahraga."

"Jadi bagaimana kegiatan OSPEK hari ini bos?"

"Begitulah, datar dan membosankan. Cuman ada yang manis-manisnya," balasnya membuat Dimas menjadi penasaran.

"Sewaktu gue datang terlambat, gak sengaja gue nambrak gadis itu."

"Gadis itu? Maksudnya gadis berambut putih di kedai waktu itu?" tanya Dimas memastikan.

"Iya," jawabnya singkat.

"Bergandengan tangan, hingga tiba di tempat pelaksanaan OSPEK. Elu tau bagian terbaiknya? Sewaktu aku grogi, tiba-tiba gadis itu menggenggam tangan gue terus dia bilang ada aku disisimu." Ujarnya yang sedang kasmaran.

"Jadi kamu menyukainya?"

"Tentu saja, rambutnya yang putih bagaikan salju. Sepasang mata merah, bagaikan batu merah delima, body-nya aduhai dan juga kulitnya yang lembut. Tapi yang di rumah juga gak kalah cantik."

"Di rumah?"

"Rambut hitam berkilau, sepasang mata hijau yang indah dan tubuhnya gak kalah aduhai. Pelukkannya yang hangat, apalagi dia sering memasakiku makanan. Sungguh istri idaman," ujarnya membayangkan gadis yang tinggal serumah dengannya.

Dimas menatap aneh temannya, dirinya tak tau kemana temannya membawa arah pembicaraan ini. Pemuda berkaca mata itu, menggelengkan kepala ketika menyimpulkan bahwa temannya lagi dan lagi mengkhayal tentang tokoh-tokoh anime yang tidak dia ketahui. Kemudian, dia melihat gadis berambut putih duduk di bangku sebelah. Gadis itu menatap sahabatnya, dengan penuh kasmaran secara diam-diam. Sekilas dia teringat saat makan di kedai bersama Fadil, dan gadis itu diam-diam memperhatikannya.

Pemuda itu pun mengerti akan situasinya, lalu dia berencana untuk memberikan sedikit dorongan agar status jomblonya segera berakhir. Walau dirinya tidak tau status aslinya yang sebenarnya. Mengingat sumpahnya, ketika acara perpisahan membuat dirinya bertekat untuk terus membantunya. Sekaligus menembus kesalahannya sewaktu sekolah karena selalu diam ketika temannya di tindas.

"Seandainya gadis itu ada di sini, elu mau apa?"

"Jika seandainya di sini, aku ingin bilang 'I Love You' lalu kupuji rambutnya yang indah. Mungkin hanya itu," ujarnya sembari membayangkan gadis itu ada di hadapannya.

Dimas pun melirik ke belakang, melihat gadis itu tersipu malu lalu dia pun beranjak dari tempat duduknya dan pergi begitu saja. Seumur hidup baru pertama kali, ada seseorang memuji rambutnya. Biasanya orang-orang melihatnya, merasakan ketakutan apalagi saat rambutnya memantulkan sinar bulan. Sejak kecil, orang-orang memandang aneh dirinya, sebab hanya dia satu-satunya manusia memiliki sepasang mata merah dan juga berambut putih. Sedangkan papahnya berwarna pirang dan mamahnya sendiri berambut hitam.

Pernah sewaktu dirinya duduk di bangku SMP. Beberapa gadis berandalan, menyirami rambutnya dengan air comberan, hingga sekujur tubuhnya berwana hitam. Segala hal yang menjijikan menghiasi tubuhnya, lalu aroma tak sedap memenuhi sekujur tubuhnya. Namun dia hanya terdiam dengan wajahnya yang datar. Hingga suatu hari, seseorang menaruh bekas permen karet di atas bangkunya. Luna pun duduk di atasnya, hingga seluruh bekas permen karet menempel di bokongnya.

Gadis itu langsung memukul pelakunya, lalu dia pun berkelahi dengan lima gadis sekaligus. Ada juga beberapa lelaki, di bayar untuk ikut mengeroyokinya. Pandainya gadis itu dalam bertarung, membuat kelima gadis beserta orang-orang suruhan babak belur. Kemudian, dia masuk ke ruang kepala sekolah hingga gadis itu terpojok karena anak yang ia pukul adalah anak kepala sekolah.

Semenjak saat itu, tidak ada seorang anak pun yang mau berteman dengannya. Dia berjalan seorang diri, dengan penuh kesepian serta rasa hampa. Hanya buku-buku dan laptop, menjadi teman setia meneranginya dalam kegelapan. Berkali-kali dia meraih prestasi, baik dalam sekolah mau pun di luar sekolah. Walau pada akhirnya, hanya sekolah tempat dia menimba ilmu yang di akui. Sedangkan dirinya, hanya di anggap sebagai seorang penyumbang. Begitulah sekilas ingatan, dari seorang Ratu Es yang kesepian.

Namun semua itu berubah, saat pertemuannya dengan pemuda itu. Keberadaannya seolah menjadi cahaya, menyinarinya dalam kegelapan. Pancaran sinar, membuat dirinya terpesona. Sejak pertama kali dia bertemu dengannya, dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia bertanya-tanya siapa pemuda itu. Dimana dia tinggal? Siapa namannya dan lelaki seperti apa dirinya? Ratu Es itu selalu bertanya dalam lubuk hatinya setiap menjelang tidur.

Rasa yang tak dia mengerti mulai menggebu-gebu dalam hatinya. Jantung Luna pun berdegup kencang, ketika mendengar apa yang dia katakan. Gadis itu menghentikan langkahnya, lalu melirik ke arahnya yang sedang berbincang dengan temannya. Senyumannya yang manis, serta pesonannya terpancar ketika tertawa membuatnya jatuh hati. Dia pun mengingat, apa yang dikatakan jika seandainya pemuda itu bertemu dengannya.

Gadis itu menatap pemuda itu dan berkata, "I love you too."

Setelah itu dia berbalik badan, lalu berjalan seorang diri menelusuri lorong yang sepi. Setiap langkah, dia berharap dirinya bisa berbincang lama dengannya. Setidaknya, dia bisa melukis kisah pada sebuah kertas dengan warna yang lain.