Nico berusaha keras membuka kunci pintu kamar. Jika bukan karena gadis yang sedang mabuk berat ini, yang terus menempel padanya, ia pasti sudah berhasil membuka pintunya dari tadi. Ia kembali mencoba menyandarkan tubuh mungil Sandra ke dinding, agar bisa leluasa membuka pintu. Tiba-tiba sebuah barang terjatuh dari genggaman gadis itu.
Nico mengerutkan keningnya melihat sebuah bingkisan dengan motif yang indah tergeletak di lantai. Ia pun mengambilnya dan mengintip isi dari bingkisan itu. Sebuah hadiah? Nico segera melepaskan Sandra dari pelukannya dan mengeluarkan dompet berbentuk Hello Kitty yang telah diberikan Leo.
"Anak itu yang memberimu?"
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Nico. Ia menghela nafas panjang, merasa telah bersikap konyol. Ternyata di usia yang sudah menginjak kepala tiga, ia masih bisa merasa cemburu seperti anak remaja yang belum matang.
Sandra, yang secara misterius didorong menjauh, menyipitkan matanya, melihat dompet di tangan Nico, dan tertawa keras.
"Dasar Leo, dia suka memberiku sesuatu. Sudah seperti ini sejak kita masih kecil. Leo anak yang baik, kamu akan menyukainya", Sandra meracau dengan tidak jelas sembari berjalan masuk, merosot di sofa dan tertidur pulas. Sementara itu, Nico diam tak bergerak.
Suka memberikan hadiah sejak kecil? Jadi anak itu bahkan menyukai gadis ini sejak kecil?
Nico semakin merasa gerah. Dengan reflek, ia melemparkan hadiah itu ke tempat sampah.
Melihat Sandra yang sedang tidur nyenyak di sofa, sosok tinggi itu berjongkok untuk menutupi badan mungilnya dengan selimut.
Begitu dia berbalik, Sandra menendang selimutnya hingga jatuh. Nico pun berbalik lagi, mencoba meraih selimutnya, namun tiba-tiba kali ini tubuh Sandra yang terguling jatuh ke lantai. Sofa kecil itu rupanya tidak bisa menahan gerakan aktif gadis yang sedang mabuk itu.
Nico menjadi panik, ia bergegas dan mengangkatnya dari lantai untuk memeriksa apakah ada luka di tubuhnya. Untunglah sepertinya dia tidak terluka. Karena mempertimbangkan keselamatannya, Nico memeluk gadis kecil itu dan mengangkatnya ke kamar tidur. Setelah meletakkannya di tempat tidur, dia ikut berbaring di sebelah gadis itu.
Ada dua orang berbaring di ranjang kecil, sedikit penuh sesak. Mereka bahkan tidak berani membalikkan badan, tetapi meskipun mereka tidak bergerak, mereka akan tetap saling bersentuhan. Ini juga pertama kalinya Nico berbaring dengan seorang wanita. Melihat wajah memerah gadis kecil itu, pikiran usil muncul di benaknya. Jari-jarinya dengan lembut mendarat di wajah gadis kecil itu dan meremasnya, sangat lembut, seperti telur yang baru dimasak.
Sandra yang sedang tidur meletakkan kakinya di pangkuan Nico. Jarak antara mereka berdua menjadi semakin kecil. Sandra mengubah posisinya menjadi menghadap ke samping, wajah mungilnya jatuh tepat menghadap wajah Nico. Dengan jarak di antara mereka yang begitu dekat. Tanpa sadar, lelaki itu bergerak maju, mendaratkan bibirnya tepat di bibir gadis yang sedang tidur terlelap di sampingnya. Betapa lembutnya bibir gadis itu.
Sandra berbalik lagi, kali ini membelakangi Nico. Kali ini ia tertawa kecil melihat kebiasaan tidur gadis itu yang sangat aktif, seperti kelinci putih yang lucu dan melompat kesana kemari. Nico berbaring terlentang di tempat tidur, melihat ke langit-langit, dan akhirnya tertidur pulas.
......
Leo terbaring di tempat tidur, di kepalanya hanya ada pikiran tentang Sandra. Dia telah membuat banyak panggilan dan mengirim banyak pesan teks, tetapi gadis itu sama sekali tidak menjawab.
Dengan perasaan khawatir, Leo merasa harus memberitahu seseorang tentang situasi Sandra saat ini. Sosok Diana Hartono pun terlintas di benaknya. Ia pun segera mengirim pesan kepada kakak tiri Sandra itu.
"Kak Dian, apakah Sandra pernah bertemu seseorang baru-baru ini? Dia sepertinya tinggal dengan seorang laki-laki, apa kau tahu tentang ini?"
Begitu menerima pesan dari Leo, Diana yang sedang berbaring di tempat tidur bergegas bangkit dan berlari ke kamar ibunya dengan membawa ponsel.
"Apa, Sandra tinggal dengan seorang laki-laki? Leo, kamu bisa menjelaskannya dengan lebih detail?" Diana tidak menjawab pesan Leo, tetapi langsung menelepon sahabat adiknya itu. Diana menyalakan speakerphone, dan duduk dengan ibunya untuk mendengarkan.
Leo mengerutkan kening sebelum menyadari bahwa dia bisa-bisa menyebabkan masalah bagi Sandrai? Tidak ada seorangpun di keluarganya yang tahu tentang pria yang tinggal bersama Sandra, kadi gadis itu jelas enggan membicarakannya.
"Ah, tidak apa-apa. Sandra minum anggur dalam perayaan ulang tahun teman sekelasku hari ini. Aku agak khawatir dengan keadaannya. Jadi aku hanya sekedar bertanya, karena tidak ada yang salah, aku akan menutup teleponnya, selamat malam kak"
Leo menutup teleponnya. Dia tidak ingin mengungkapkan lebih banyak tentang Sandra, tetapi dia bahkan lebih kesal ketika menutup telepon.
"Bu, aku akan memberitahu ayah agar dia menghukum Sandra. Dia adalah seorang pelajar yang bahkan belum genap berusia 18 tahun! Jika benar ia tinggal bersama dengan seorang pria, ia akan merusak nama baik keluarga ini!", kata Diana kepada ibunya.
"Tidak." Kalina menahan keinginan putrinya. Sekarang bukan waktunya untuk bersikap impulsif, mereka harus fokus pada situasi keseluruhan.
"Mengapa? Aku tidak ingin melepaskan kesempatan yang begitu baik. Jika ibu tidak setuju, aku bisa melakukan semuanya sendiri." Diana menepis tangan ibunya.
"Diana, kapan kamu bisa menjadi lebih stabil? Hanya mengandalkan kata-kata seorang anak seperti Leo, kamu berniat lari ke ayahmu untuk melaporkan tentang putri kandungnya? Jika tuduhan itu tidak terbukti, ayahmu tidak akan diam begitu saja. Dia pasti akan membuang kita", Kalina menggelengkan kepalanya, mencoba memperhitungkan setiap gerakan yang mungkin untuk diambil.
"Lalu apa yang rencana ibu? Melupakan ini begitu saja?", tanya Diana penuh dengan rasa kecewa.
Kalina tertawa, "Tentu saja kita tidak bisa melupakannya."
Melihat raut wajah ibunya yang begitu percaya diri, Diana menjadi sedikit lega.
"Bu, aku tahu ibu pasti punya ide. Katakan apa yang harus aku lakukan? Aku akan menuruti apapun perintah ibu."
......
Pukul enam pagi, matahari mulai menampakkan diri dan mengerahkan sinarnya hingga menembus jendela kamar Sandra. Gadis itu sedikit terbangun, terganggu oleh cahaya matahari yang menyengat matanya. Kepalanya masih sangat pusing. Ia merasa seperti berputar-putar di tempat tidur, hingga akhirnya tertidur lagi. Kedua tangannya memegang mainan yang sangat besar dan empuk dengan sangat erat. Membuatnya begitu nyaman.
Di sisi lain, Nico yang merasakan tubuhnya diremas oleh Sandra sepanjang malam tidak tertidur sama sekali. Ini masih begitu pagi, dan dia tidak tega mengganggu tidur gadis itu. Ia pun bangkit dari tempat tidur, meninggalkan Sandra yang masih meringkuk manja di dalam selimut.
Beberapa saat kemudian, ponsel Sandra berdering. Nico mengangkat ponsel itu dan meletakkannya di telinganya.
Leo sedang duduk di atas sepeda, sambil membawa sarapan, dan sudah menunggu di gedung apartemen seperti biasa: "Sandra, kamu akan terlambat jika tidak segera bangun! Aku membelikan menu sarapan favoritmu, cepat bangun, dan aku akan menunggumu di luar komplek"
Insiden kemarin membuat Leo kesal, tapi itu tidak bisa menghentikannya untuk menjemput Sandra hari ini. Ia harus memastikan bahwa hubungan di antara mereka tidak akan terpengaruh oleh siapa pun.
Selain itu, Sandra minum terlalu banyak kemarin, mungkin dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Leo selalu membuat berbagai alasan di dalam hatinya.
"Tidak usah menunggu, si bayi kecil tidak ingin pergi ke sekolah hari ini, dan kamu tidak perlu lagi menggendong bayi kecil ke sekolah untuk seterusnya," kata Nico dengan dingin.
Leo tampak terkejut. Dia memegang telepon dan melihatnya berulang kali. Mengira dia telah melakukan panggilan yang salah. Jelas bahwa ini nomor Sandra, ia bahkan hafal tiap digitnya di luar kepala. Leo kembali meletakkan ponsel ke telinganya.
"Siapa kamu, mengapa mengangkat ponsel Sandra seenaknya? Aku ingin berbicara dengannya, dan sebaiknya kamu tidak menyentuh Sandrai, jika tidak, aku tidak akan melepaskanmu. "
Ia memiliki keinginan kuat untuk melindungi Sandra. Meskipun jika mengingat tubuh kekar pria yang ditemuinya semalam, Leo menggeleng penuh kengerian. Pria itu mungkin bisa melemparnya hanya dengan satu tangan.
"Siapa aku?" Nico tertawa kecil, "Sandra terbaring di pelukanku. Dia memelukku sepanjang malam. Menurutmu aku ini siapa?"
Mendengar jawaban dari pria itu, telinga Leo terasa terbakar. Dengan cepat ia menutup ponselnya. Dia tidak ingin berbicara dengan pria asing yang tidak relevan. Hanya saja Leo sepertinya yakin, bahwa perasaan pria itu kepada Sandra telah mengakar kuat.