webnovel

New Luden

Menjadi seorang gamer bukanlah hal aneh di jaman yang sudah modern. Di Glaxirta pada tahun 2102 merupakan dunia VR dalam semua pekerjaan. Itu pula yang dirasakan oleh Anon, gadis SMA yang mahir bermain game, tapi selalu ditentang oleh ideologis lama sang ibu yang menginginkan anaknya bekerja secara nyata. Tapi apa jadinya saat kemudian ideologi itu harus Anon tabrak demi kebaikan sang ibu—melawan penyakit ganas yang ternyata sudah lama bersarang di tubuhnya, di tengah kemelut ekonomi yang menipis? Mampukah Anon menjadi juara dalam ajang New Luden, demi dapat menyelamatkan nyawa sang ibu tercinta? Meski kemudian dia akan dibenci akan hal tersebut?

Miaw_Nyann58 · Games
Not enough ratings
10 Chs

Ujian

Langit yang semula cerah, mendadak mendung dan turun hujan, petir menggelegar sampai membuat telingaku pekak. Di saat peserta lain kembali panik, aku justru terpaku melihat hal selanjutnya di depan.

Para Ludens menghilang entah ke mana, berganti dengan seekor monster dengan bentuk campuran antara singa, burung, dan ular. Ukuran monster itu pun sungguh besar, raungan dari mulutnya lebih keras dari guntur di atas langit.

Aku yang berada persis di hadapan monster itu jelas ketakutan. Apa pula dayaku yang hanya seorang gadis tanpa senjata? Apa aku harus rela dimakan hidup-hidup oleh mahluk ini dan ikut membiarkan Mama mati di rumah sakit?

"Kalian semua harus mengalahkan monster ini," suara X menggema seolah orangnya sendiri ada di dalam kepala, "Jika sampai gagal dan manticore berhasil menyantap kalian semua, maka The Ludens tahun ini akan berakhir tanpa pemenang."

Berbagai protes dan rasa terkejut menyebar di antara para peserta, mereka tentu tak percaya dengan apa yang harus mereka hadapi saat ini, apa benar kami akan mati?

"Hei! Jangan bercanda!" Seseorang berteriak ke arah langit, kembali mengejutkan orang-orang yang sudah panik. "Jika kalian tidak mengambil peralatan yang sudah kami bawa dari rumah, kami akan mudah saja membunuhnya!"

"Benar! Akan mudah bagi kita mengalahkan monster itu!" Suara Ecin terdengar membela. "Kalau tanpa senjata begini, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana cara mengalahkan monster tanpa senjata?"

Peserta lain yang terprovokasi saling menyalak, ikut berteriak ke langit meminta keadilan. Tanpa mereka sadari, Manticore sudah benar-benar dekat denganku, matanya menyalang marah seolah aku sudah merusak sarangnya, belum lagi embusan napasnya menyapu seluruh wajahku. Bau, tapi aku sedikit menyadari sesuatu.

Kutatap balik matanya, juga mengekpresikan emosi yang sama. Aku yang berada di paling depan tentu tak mau mati duluan, belum lagi memang aku tidak membawa senjata apa-apa dari rumah. Benar kata Ecin, bagaimana cara mengalahkan monster tanpa senjata.

Peserta di belakangku masih saja berisik, tapi aku tak berani menoleh ke sana, bisa-bisa begitu aku melepaskan pandangan monster ini akan melahapku bulat-bulat. Pilihan sulit memang. Kugenggam rumput dan menggali pasir di bawahnya, setelah menumpuk sampai segenggam, pasir itu kulempar tepat ke mata manticore, tepat saat itulah aku berguling ke samping.

'Seandainya aku memegang halberd milik avatarku, tinggal kugetok saja kepalanya.' Kususun siasat di kepala agar tidak cepat mati sebab menjadi yang terdekat jaraknya dengan monster itu. 'Ini bukan game, ayolah, berpikir!'

Manticore mengambil ancang-ancang untuk menerkam, kedua kaki depannya yang masih kaki singa menjadi pijakan loncat, sementara dua kaki belakang berbentuk kaki burung elang pasti akan langsung mencabik tubuhku setelah aku tertangkap. Aku berniat akan melompat turun ke depan, sebelum apa yang aku duga terjadi lebih cepat.

Tubuh manticore sudah melayang ke arahku, kedua kaki elang membuka dengan ujung kuku runcing dan tajam, tak ada waktu bagiku untuk melompat sehingga aku hanya bisa menahan cengkeraman kaki manticore di atasku.

Debu langsung mengepul, pandanganku ikut mengabur dan tak bisa memastikan apa yang kutahan dengan tangan, tapi setelah beberapa saat kulihat sesuatu bersinar memanjang melebihi cengkramanku. Setelah debu tersibak, ternyata yang kupegang adalah halberd andalan avatarku, warna merah muda yang khas juga pancarannya kukenal baik.

Maka dengan halberd di tangan—yang entah bagaimana bisa ada di situ—kudorong manticore sampai dia terjatuh ke belakangku. Kuberbalik segera sambil mengayunkan halberd itu, satu sayatan berhasil mengenai sisi matanya dan membuat monster itu meraung keras.

Aku mundur sambil mengambil napas sejenak, sementara si manticore menggeleng kepalanya, entah merasa pusing atau terganggu oleh rasa sakit dari luka yang kubuat, kemudian ia kembali menggeram dan berancang-ancang. Namun, sebelum dia benar-benar akan kembali melompat, aku kembali mengayunkan halberd ke depan, sambil mengingat bagaimana cara avatarku menggunakan jurusnya.

Sebuah retakan besar tercipta begitu halberd sudah mengenai tanah, disusul dengan sebuah aura tajam yang dikeluarkan halberd sebagai pengganda daya serang. Manticore tidak berkutik dan tepat terkena seranganku, tubuhnya terluka parah, bahkan bisa dibilang terbelah.

Melihat kondisi akhir dari manticore membuat peserta yang sedari tadi menonton bersorak girang, bahkan mereka mengerubungiku dengan segala ucapan takjub. Aku pun tak menyangka kalau jurus sederhana dari halberd avatarku memiliki daya serang seperti ini, pantas saja untuk mengalahkan musuh level rendah mudah saja ia lakukan.

"Hei lihat, manticore itu membelah diri menjadi dua!"

Suasana yang semula menyenangkan, seketika menguap dan berubah menjadi mencekam. Walau terbilang mudah untuk mengalahkan manticore, tapi tetap saja yang memegang senjata hanya aku seorang.

'Sialan.' Aku hanya bisa mengumpat dalam hati, kusibak kerumunan yang menghalangi dan kembali bersiap.

"Tunggu sebentar, Nona."

Bersama suara itu, seseorang menepuk bahuku dari belakang, tepukan yang terasa bersahabat itu membuatku menoleh dan menemukan wajah beberapa orang yang sebenarnya tidak begitu kukenal, tapi mereka tersenyum padaku.

"Kami juga punya senjata dan strategi." Orang yang menepuk bahuku menunjukkan senjatanya yang berupa pedang besar, bilahnya terbuat dari kristal kebiruan dan memancarkan aura seperti es. "Biar kita hajar bersama monster sialan itu."

Ketika kuperhatikan keadaan sekitar, ternyata selain pemuda tadi, beberapa orang di sekitar juga menunjukkan senjata dari Avatar masing-masing, ada yang hanya berupa baju tempur, senjata bergaia model dan jarak, sampai memiliki kendaraan tempur. Ini menyenangkan, karena aku tidak perlu repot mengurus manticore sialan itu seorang diri, aku pun bisa memilih untuk bersantai sambil melihat bagaimana mereka bertarung. Ini bisa menjadi tambahan informasi kala permainan The Ludens yang sebenarnya sudah dimulai.

Manticore di depan sana hanya berdiam dan menunggu, jadi beberapa orang sudah berkumpul dan menyusun strategi, begitu pula aku, orang yang menunjukkan bagaimana cara mengalahkan si manticore, yaitu dengan menggunakan senjata tumpul, sebab jika tertebas, maka monster itu akan membelah diri.

Kami mengelilingi seorang pemuda berkaca mata, dia memiliki postur tubuh cukup tinggi, tapi juga kurus. Entah berapa kali dia menelan ludahnya sendiri dengan membenarkan posisi kacamatanya, tampak sekali dia gugup.

"Ayo Aethehrt, kau bilang kau punya rencana?" Pemuda yang menepuk bahuku sepertinya mengenal betul dengan si pemuda gugup di depan kami, dari raut wajahnya memang memancarkan aura kepercayaan tinggi.

Tapi aku yang jaran bermain tim tentu merasa bosan, jika sudah tahu manticore hanya bisa dihajar dengan benda tumpul, kenapa tidak menyuruh beberapa orang yang memegang senjata tumpul untuk menyerang?

Aku masih memperhatikan mereka saat si pemuda berkacamata justru berbisik ke pemuda pertama, raut wajah si pemuda yang semula ramah, berganti sedikit mengerutkan kening dengan kepala angguk-angguk, kemudian dia berdiri dan jalan ke arahku.

"Maaf, tapi kamu tidak bisa di sini."