Aku berjalan perlahan sambil memperhatikan sekitar, melihat sebagian peserta seusiaku, mereka tampak asik bermain aneka macam game yang disediakan, melihatnya membuat ekspektasiku runtuh. Kupikir akan ada persaingan atau pembahasan berat di sini, tapi ini tak jauh beda dari ajang game lainnya.
Sebab perasaan sendu itu, aku memilih duduk di barisan belakang kursi yang ada di arena permainan fisik, dengan tak nafsu ikut menyaksikan beberapa pemain saling menguji kemampuan di tengah arena. Luas arena itu sendiri seluas ring tinju, dan terdapat dua pemain yang sedang adu gulat dengan diawasi oleh seorang wasit humanoid
Sekilas hadir sebuah ingatan tentang Mama yang sedang terbaring di rumah sakit dengan seluruh tubuh dibalut perban membuat hatiku nyeri. Meski selama ini aku hidup dengan banyak peraturan dan kekangan, tapi aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Mama sebagaimana Ayah meninggalkan kami, aku bahkan selalu berusaha menjadi baik, walau ada saja celah yang bisa dia jadikan bahan untuk menghina.
Ingatanku kembali ke masa kecil dulu, saat tiap kali aku pulang membawa uang taruhan dari adu bermain game. Saat itu ibu selalu menghukumku karena sudah bersentuhan dengan hal yang dia larang-larang, bermain game sama seperti telah membuat dosa besar. Namun, di tengah siksaan itu, uang yang kudapat pasti akhirnya dia pakai juga untuk kami makan.
Lucu, munafik memang. Di satu sisi dia benci bagaimana dan darimana aku mendapatkan uang, di sisi lain dia tetap butuh dan tanpa malu menggunakannya. Kenapa tidak bersikap jujur saja?
Lamunanku terganggu oleh suara di sekitar, kusadari raut wajah orang peserta yang sama-sama duduk di kursi panik, bahkan sudah ada yang menjerit dan menunjuk ke area tengah arena permainan fisik. Saat itu pula getaran kuat terasa dari arah sana, dan bahkan terbentuk beberapa retakan besar di lantai, retakan terus melebar sampai mencapai barisan kuris terdepan, sontak hal tersebut membuat para peserta berlarian tak tentu arah.
Aku sendiri masih bertahan di tempat duduk, kedua tangan dengan kuat berpegangan ke sisi-sisi kursi agar aku tidak terjatuh. Guncangan besar tadi mendadak berubah menjadi gempa besar seakan hendak meruntuhkan gua dan mengubur kami hidup-hidup. Dinding bergetar hebat, bahkan langit-langit gua sudah meruntuhkan sedikit pasir, peserta yang panik berlari cepat ke pemindai sebagai akses satu-satunya keluar markas.
Di tengah kepanikan, aku yang masih bertahan di kursiku menyaksikan perubahan para retakan besar di arena permainan. Retakan tak beraturan itu mendadak semakin membesar, kemudian membentuk pola ulir-ulir lengkung, yang kemudian merekah dan membuka jalan. Selanjutnya sebuah panggung dari batu naik dari dasar retakan ke permukaan dan menampakkan sebelas sosok The Ludens.
Di tengah tampil sosok Elrert seperti saat pertama aku bertemu dengannya langsung, jaket abu, kaos merah dan celana jeans biru menjadi tampilannya saat ini. Di tangan kanannya terbalut semacam remote control besar, bahkan lebih terlihat seperti sarung tangan, alat itulah yang mengendalikan robot puma di sampingnya.
Setelah Elrert, kelima Ludens di sisi kanannya adalah Lyse Fane si gadis bertongkat, Drichey Parray dengan baju semi robotik, Wisym Benthey yang dikenal sebagai Pria teka-teki, Sybel, gadis dengan kemampuan fisik kuat, dan ilmuwan cilik milik Ludens, Rida.
Di sisi kiri Elrert terdapat enam orang yang belum kuulik julukannya, tapi nama-namanya kalau tak salah ingat Walteph Fane, Chughye, Aengorn, Brona, Fruda Reawe dan satu pria yang tidak diberitahu kecuali dengan tanda X. Dengan masing-masing kemampuan dibidang strategi, domain dan programming.
Kudapati raut para Ludens yang menatap jengkel ke arahku, sampai membuat jantungku mau copot saat menerimanya. Apa pula salahku sampai mereka menatap sebegitu sebalnya padaku, apa aku harus ikut panik dan berlarian seperti peserta lainnya?
Tapi dugaanku langsung dipatahkan saat Lyse Fane mengangkat tongkat kayunya tinggi-tinggi sebelum akhirnya menghentak ke bumi dengan keras. Pancaran sebuah gelombang kuat langsung menyebar; mengenai semua peserta dan benda-benda, juga memantul di dinding gua, yang seketika memberikan efek seperti pause pada setiap pergerakan.
Aku yang hanya duduk ikut terkena gelombang itu, sontak merasakan sensasi seperti dicengkeram kuat, bahkan untuk bernapas saja sulit, rasanya benar-benar tidak nyaman sampai membuatku ingin muntah. Aku benar-benar kagum akan teknologi yang ada di tongkat Lyse, tentu dengan memberikan gelombang efek semacam ini, tongkat itu memiliki teknologi canggih.
Dalam kebekuan itu kuperhatikan Elrert yang berada di tengah The Ludens menatap sekitar dengan jengkel, dia mengubah pumanya menjadi sebuah robot manusia raksasa yang kemudian menggendongnya ke bahu, lalu berdiri di sana.
"Apa-apaan ini? Hanya ada satu anak yang diam di tempat," suara teriakan Elrert menggema ke dalam kepala, "Baru simulasinya saja kalian sudah berteriak dan meraung takut mati, apalagi kalau benaran memulai per The Ludens, hah!?"
Setelah Elrert berteriak, Lyse melepaskan 'sihir' time pause-nya dan membebaskan para peserta. Rasa tak nyaman langsung tersingkir, aku segera menghela banyak napas seperti baru saja tenggelam di tengah lautan. Sementara peserta yang lain ada yang justru pingsan dan gemetaran.
Sementara Elrert dan Lyse selesai dengan jurus mereka, seorang pria yang berpengalaman paling sederhana maju ke depan dari barisan mereka. Pria itu hanya mengenakan celana jeans sobek dan hoodie hitam, tampilannya pun tidak begitu meyakinkan.
Dalam hati kubertanya apa pula yang membuat dia mampu menjadi The Ludens, dan dia Luden yang keberapa? Aku belum melihat Luden seperti dirinya di poster pendaftaran kemaren.
Luden itu mengeluarkan semacam lempeng hitam persegi, dalam satu gerakan cepat dia melemparnya ke udara di hadapan, sontak sebuah layar hologram terbentuk dan menampilkan rangkaian kode biner.
"Biar kalian tahu, bahwa The Ludens bukan hanya ajang adu kemampuan biasa, tapi sebuah permainan antara hidup dan mati." Pria yang bertanda X itu menoleh sekilas pada Elrert sebelum menekan sebuah tombol di tengah layar hologram.
Bagai hidup di dunia NPC, gua yang semula penuh dengan berbagai jenis permainan sontak berganti dengan ruangan putih bersih. Aku sampai jatuh dari kursi karena kursi itu menghilang, tak lama dunia berganti 180° dari yang semula modern, menjadi alami.
Aku terduduk di atas lahan berumput luas, udara terbuka disertai angin dan langit biru cerah mengingatkanku pada suasana di luar markas, juga pada saat aku terjatuh beberapa saat lalu. Di hadapanku para Ludens masih berdiri tegap, baju mereka berkobar tertiup angin, dan kini raut wajah mereka tidak sebal seperti sebelumnya.
Aku yang terduduk di atas rerumputan tentu kebingungan, bagaimana caranya bisa tiba-tiba ada di sini? Belum lagi alam ini terlihat begitu nyata. Angin yang berembus begitu terasa di kulit, dan bau rumput terasa menusuk hidung, juga cahaya matahari yang menyengat.
Ini gila, aku seperti sudah berada di lain tempat, atau memang aku berada di lain tempat?
"The Ludens adalah sebuah ajang pencarian bakat terbaik untuk membantu pemerintah membentuk pertahanan negara lebih baik lagi," X kembali berkata, "Jika kalian kira ini hanyalah sebuah ajang game biasa, kalian salah besar!"
apa ceritaku udah menarik menurut kalian, Nyann? Komen di bawah ya! ^^