webnovel

New Luden

Menjadi seorang gamer bukanlah hal aneh di jaman yang sudah modern. Di Glaxirta pada tahun 2102 merupakan dunia VR dalam semua pekerjaan. Itu pula yang dirasakan oleh Anon, gadis SMA yang mahir bermain game, tapi selalu ditentang oleh ideologis lama sang ibu yang menginginkan anaknya bekerja secara nyata. Tapi apa jadinya saat kemudian ideologi itu harus Anon tabrak demi kebaikan sang ibu—melawan penyakit ganas yang ternyata sudah lama bersarang di tubuhnya, di tengah kemelut ekonomi yang menipis? Mampukah Anon menjadi juara dalam ajang New Luden, demi dapat menyelamatkan nyawa sang ibu tercinta? Meski kemudian dia akan dibenci akan hal tersebut?

Miaw_Nyann58 · Games
Not enough ratings
10 Chs

Ketahuan

Kerumunan di depan sana sungguh padat, hingga membuat Anon dan Melia cukup kesulitan untuk melihat apa yang orang-orang itu kerumuni, bahkan mereka harus banyak menyikut beberapa orang untuk bisa sampai ke tempat tujuan.

Setelah cukup melelahkan menyikut sana sini, kedua gadis itu sampai di hadapan dua buah hologram pria dan wanita, masing-masing dari mereka mengumumkan sebuah pendaftaran ajang gaming yang sudah melegenda, game ini diadakan setiap lima tahun sekali dengan hadiah yang tidak main-main.

Kedua hologram yang ditampilkan merupakan kedua pemenang dari ajang tersebut, yang lelaki bernama Drichey Parray yang merupakan pemenang dari game yang ke-10 dan gadis di sampingnya adalah Lyse Fane, pemenang turnamen ke-11.

Di sisi kiri, Drichey mengenakan pakaian kemenangannya yang berupa baju tempur yang terbuat dari mineral wolfram dan disimpan teknologi nano, sehingga pakaian itu memiliki kecerdasan buatan dan dapat menjadi robot secara terpisah. Sementara Lyse mengenakan gaun tanpa lengan, juga terbelah di bagian rok, disertai sebuah senjata berupa tongkat wolfram yang disematkan permata enigma yang memiliki warna hitam khas di atasnya.

Drichey dan Lyse tersenyum pada semua penonton dan mengajak untuk ikut turnamen bergengsi "The Ludens" yang ke-12, semua kalangan boleh mengikuti ajang ini tanpa dipungut biaya sepeserpun, bahkan akan diberi hadiah menarik jika berhasil memenangkannya.

Bisik-bisik terdengar di sekitar Anon dan Malia, pun orang-orang tersebut mulai mendaftarkan diri dengan harapan tinggi bisa menang, setelah para pendaftar pergi Anon dan Malia masih bertahan di sana.

"Apa kau tertarik juga?" Malia menoleh ke arah kawannya. "Berhubung kau pun jago bermain game."

"Yeah, tapi The Ludens ini berbeda, ia bukan sembarang game." Anon mendekati pendaftaran yang langsung disambut oleh senyuman ramah dari Drichey dan Lyse.

"Siap menjadi The Ludens selanjutnya, Nona?" Drichey dengan suaranya yang dalam berkata pada Anon, walau itu hanya hologram tetap saja membuat gadis yang disapa tersipu.

"Ah, tidak. Aku hanya ingin lihat-lihat."

"Kalau begitu, bawa saja ini." Lyse mengambil alih kemudian menyerahkan sebuah brosur ke devise handphone Anon yang masih tersemat di daun telinga. Brosur tersebut sudah tersedia secara holografik dan dapat dilihat oleh Anon, bahkan bisa disentuh seolah itu adalah barang nyata.

Anon menyentuh brosur tersebut, rasa enggan terlihat samar di wajahnya. Barisan kata-kata penuh ajakan membara Anon baca sepintas, dan di akhir menemukan alamat Markas The Ludens yang hanya bisa ditapaki dengan cara tertentu.

"Terima kasih." Anon mematikan fitur bias hologram. "Aku akan memikirkan dulu sebelum memutuskan untuk bergabung."

"Oke, kami tunggu," Drichey membalas dengan senyuman hangat dan kedipan mata.

Anon balas tersenyum kemudian memutuskan pergi dari sana, Malia ikut tersenyum dan mengikuti langkah Anon yang mulai menjauh sampai langkah mereka sejajar. Perjalanan menuju toserba pun berlanjut, Anon serta Malia saling bercakap untuk mengisi waktu mereka, meski begitu Anon tampak seperti tidak begitu fokus dengan apa yang Malia bincangkan, karena pikirannya masih tersangkut di pendaftaran The Ludens tadi.

"Masih memikirkan turnamen itu?" Malia yang merasa tak diacuhkan kembali bertanya setelah dua kali memanggil nama sang kawan, tapi tak juga dibalas. Bahkan dia sedikit menyenggol lengan Anon agar kesadarannya kembali ke dunia nyata.

Anon menoleh sejenak, sebelum tersenyum canggung. "Yeah, kadang aku pun ingin, tapi kau tahu sendiri bagaimana nasibku."

"Tapi aku masih tidak paham, bagaimana bisa ibumu tidak setuju kau bermain game, tapi tetap menginginkan uang yang kau dapat dari sana?"

"Ah, entahlah. Mungkin karena bagi Mama selama game atau apapun yang kukerjakan tidak menghasilkan uang, maka aku tidak boleh melakukannya."

"Mungkin saja." Malia agak terdiam, ada sedikit rasa tidak enak di sana, tapi dia tetap melanjutkan, "Seandainya ibumu tidak menolak bantuan keluargaku, ekonomi kalian pasti akan lebih baik."

"Terima kasih, kau menjadi kawanku saja itu sudah cukup."

Sebuah rasa senang tumbuh semakin merekah di hati Malia, dia senang karena ada seseorang yang tulus sebagai teman, bukan karena jabatan apalagi harta yang dimiliki oleh keluarga Malia.

Setelah berjalan cukup lama akhirnya toserba yang dituju sudah tampil di depan muka, Malia mengaktifkan sebuah troli sementara Anon yang memilih belanjaan, cukup banyak juga yang Mama daftarkan untuk dibeli Anon, sampai-sampai acara berbelanja itu dihabiskan dalam waktu 45 menit. Namun, karena sifat dasar wanita yang senang berbelanja, hal itu tidak menjadi masalah bagi kedua kawan ini.

***

Anon baru saja tiba di pelataran rumah saat sosok wanita berusia 33 tahun bertolak di pintu masuk rumah. Wajah dari wanita tersebut terlihat datar tanpa ekspresi, tapi Anon jelas tahu kalau ibunya tersebut sedang menahan marah karena tidak sabar.

"Ke mana saja kau?" Pertanyaan pertama tersebut langsung dilontarkan tanpa memperdulikan keadaan Anon sendiri.

Satu dengkusan panjang lolos dari hidung gadis berambut merah muda itu. "Anon habis berbelanja yang ibu suruh, beberapa barang hampir habis sampai-sampai aku harus menunggu."

Mama terdiam dengan menatap lekat mata sang anak, dia sedang coba mencari kebenaran di sana. "Baiklah, cepat masuk, Mama belum masak."

Tak banyak bicara Anon menyerahkan semua barang belajaan yang sudah dipesan kemudian naik ke lantai atas, di mana pada lantai itu hanya ada satu ruangan dan itu miliknya, sebuah kamar berukuran sedang dengan isi ala kadarnya, tak ada barang mewah apalagi barang elektronik mahal yang bisa dia pamerkan jika kawan-kawannya berkunjung.

Begitu menutup pintu, Anon langsung merebahkan tubuhnya yang terasa remuk ke atas ranjang, dan kembali mendengkus panjang. Pikirannya kembali melayang pada saat-saat sebelum dia datang ke kamarnya, terutama pada recruitment The Ludens, juga senyum manis Drichey.

Bias hologram pada handphone Anon kembali dihidupkan, brosur The Ludens yang tertayang secara 3D berputar-putar di depan mata. Tampil pula beberapa wajah dari para pemenang ajang Gaming tersebut, begitu bercahaya dan penuh wibawa, tapi bukan hanya hal itu pula yang Anon perhatikan, lekuk tulisan pun lebih dia tatapi dibanding membaca tulisannya. Sudah menjadi kebiasaan Anon, dia selalu suka memperhatikan detail-detail kecil dan kadang tidak penting di sekitarnya, hingga dia dibuat pusing sendiri.

Tapi tentu bukan itu saja yang sedang dipikirkan Anon saat ini. Matanya terus tertuju pada alamat Markas. Sebuah alamat yang sangat berarti bagi orang tidak berkecukupan seperti dirinya.

Iseng saja, Anon memasukan lokasi tersebut ke daftar jelajah lokasi di handphone, lalu dia melepas handphone, menaruhnya di atas meja belajar dan pergi dari kamar untuk membersihkan diri. Selama beraktivitas di dalam kamar mandi, dia teringat akan beberapa tugas programming yang belum dia selesaikan, juga beberapa pekerjaan di rumah yang harus dia selesaikan sebelum Mama naik ke lantai atas dan menegor langsung.

Air shower yang berbau besi segera membasahi rambut dan tubuhnya, selama itu pula pikiran Anon melayang-layang berkhayal dirinya bisa jadi pemenang dari The Ludens. Apakah itu akan mengubah pandangan sang Mama yang selalu memandang negatif hobi dan kemampuan Anon selama ini.

Dor! Dor! Dor!

Suara gedoran di pintu kamar mandi segera membuyarkan lamunan gadis muda tersebut, dia mempercepat mandinya dan keluar dari sana dengan perasaan terkejut disertai berbagai dugaan buruk, tapi begitu membuka pintu hanya ada wajah Mama di sana.

"A–ada apa, Ma?" Anon menggulung rambutnya dengan handuk, mencoba bersikap senetral mungkin tanpa ingin menunjukkan kalau dia kesal sebab acara mandinya diganggu.

Mama tidak segera membalas, tapi dia mengacungkan handphone dengan hologram The Ludens ke depan muka Anon. Satu pertanyaan dilontarkan dengan nada tajam yang seketika menusuk telinga dan hati Anon.

"Apa ini?"