webnovel

New Luden

Menjadi seorang gamer bukanlah hal aneh di jaman yang sudah modern. Di Glaxirta pada tahun 2102 merupakan dunia VR dalam semua pekerjaan. Itu pula yang dirasakan oleh Anon, gadis SMA yang mahir bermain game, tapi selalu ditentang oleh ideologis lama sang ibu yang menginginkan anaknya bekerja secara nyata. Tapi apa jadinya saat kemudian ideologi itu harus Anon tabrak demi kebaikan sang ibu—melawan penyakit ganas yang ternyata sudah lama bersarang di tubuhnya, di tengah kemelut ekonomi yang menipis? Mampukah Anon menjadi juara dalam ajang New Luden, demi dapat menyelamatkan nyawa sang ibu tercinta? Meski kemudian dia akan dibenci akan hal tersebut?

Miaw_Nyann58 · Games
Not enough ratings
10 Chs

Dua Kesialan Dalam Satu Waktu

"Apa ini?"

Seketika perasaan Anon menegang, seolah dia sudah ketahuan mencuri, sebentar dia kehabisan kata-kata saking terkejutnya dia, kemudian dia coba menenangkan dirinya agar dapat menjawab pertanyaan menusuk Mama.

"Itu hanya brosur yang kudapat di sekolah, Ma," Anon coba menetralkan keadaan dengan memberi pernyataan sederhana. "Aku mendapatkan dari—"

"Tak perlu banyak alasan, kau pasti ingin mengikuti ajang ini, kan? Ajang sialan yang hanya ingin mendapatkan orang-orang bodoh sebagai hiburan mereka!"

Anon kembali terperangah, meski bisa dibilang Mama memilki sikap yang dingin dan ketus, tapi tak sekalipun dia melihat Mama berteriak dan marah-marah seperti saat ini.

"Itu bukan—"

"Aku sudah mengatakan ribuan kali padamu, Nona Alyn, sudah kutekankan bahwa aku tidak setuju dengan segala hal berbau game, kecuali jika itu berhubungan dengan sekolahmu. Maka jangan sekali-kali lagi kau membantah apa kataku, mengerti?"

Tatapan tajam dari kedua mata Mama membekukan tubuh Anon seperti sedang hipotermia di benua kutub, kali ini dia benar-benar terbungkam tanpa mampu memberikan perlawanan.

"Apa kau tidak lihat bagaimana akhir dari ayahmu sendiri? Dia mati oleh permainan dia sendiri, dia tidak mau pulang pada kita karena sudah jatuh cinta pada game bodoh itu, dan lihat bagaimana aku sekarang, yang harus mengurus anak sepertimu seorang diri! Apakah ini menyenangkan? Seperti yang dianggap pada gamer? Tidak! Sama sekali tidak!"

Bentakan demi bentakan mengguncang batin muda Anon, dirinya yang tidak berniat apapun untuk bermain dalam turnamen sangat ingin membela diri, tapi di satu sisi dia tidak berani untuk berteriak lantang, akan selalu ada rasa takut dalam diri gadis muda ini.

"Jika sekali lagi kau membantah apa kataku, kau akan menerima akibatnya." Ancam Mama sambil melangkah kembali ke dapur. "Dan akan kusita handphone ini."

Dengan layu Anon berjalan kembali ke kamarnya, tanpa peduli tubuhnya yang basah dan belum mengenakan pakaian dia merebahkan diri ke atas ranjang, sekejap kemudian matanya sudah berlinang oleh air yang terus lolos dari kelopak mata, mengalir membasahi bantal.

Rasa merasa tidak mendapat keadilan semakin membuncah dalam dirinya, tapi dia hanya bisa memangis tanpa mau berbuat lebih. Karena dia melihat kenyataan dari keluarganya sendiri yang hancur sebab game, yang mana Ayahnya sampai menjual seluruh aset yang dimiliki termasuk barang-barang di rumah dan membuat mereka sendiri jatuh miskin.

Anon masih di sana, di atas ranjang. Menangis seorang diri tanpa ada yang mau menghiburnya. Seketika rasa marah bergejolak dalam hatinya. Ketidakadilan yang selama ini dia rasakan sudah cukup menurutnya, dia bangkit dari ranjang, juga dari keterpurukan dan segera memakai pakaian, kemudian mengemasi beberapa barang ke dalam ransel.

Jendela kamar dia buka lebar, lalu dia keluar dari sana dan memijak beberapa batu bata yang mencuat kemudian turun dengan mengandalkan tanaman rambat. Namun, tanaman rambat yang tidak begitu dalam menancap di dinding rumah terlepas hingga membuat dia terjatuh, membuat tubuhnya menghantam tanah dengan cukup keras.

"Argh ..." Anon mengerang kesakitan pada bagian panggul, tapi dia segera bangkit dan berjalan menjauh dari rumah, serta berharap kalau pelariannya tidak akan ketahuan oleh Mama.

BLAARR!!

Seketika terdengar suara ledakan dari arah rumah, bahkan ledakan itu sangat besar sampai-sampai membuat tubuh Anon terempas ke jalanan pinggir rumah, kepalanya terbentur aspal magnet levitasi dengan cukup keras hingga membuat kesadarannya hilang, saat-saat terakhir yang dia lihat adalah rumahnya yang hancur dan terbakar, serta orang-orang yang panik mengerumuninya.

***

Suara alat medis adalah hal pertama yang didengar oleh Anon, disusul oleh rasa sakit berdenyut di kepalanya. Anon meringis dan perlahan membuka mata. Pandangan semula terlihat buram, berlanjut terbentuk sewajah tak jauh di depannya.

Kekhawatiran terpancar jelas di wajah itu, mengesampingkan hal tersebut Anon justru berpikir keras siapa pemilik wajah di depannya.

'Mama?' pikir Anon sebelum penglihatannya menjadi jelas, ternyata wajah itu milik seorang tetangga di lingkungan rumahnya.

"Ada apa ini?" Anon bertanya dalam suara serak, rasanya dia seperti tidak minum selama bertahun-tahun.

"Rumahmu meledak akibat korsleting listrik pada bagian kompor," jelas tetangga itu sambil menyerahkan segelas air mineral. "Tapi pihak forensik yang tahu kronologi selengkapnya."

"Tunggu, rumahku meledak?"

"Iya, Sayang."

Melihat wajah sendu tetangga itu, serta fakta kalau rumahnya hancur membuatnya terpukul, sekejap kemudian dia teringat akan Mamanya yang sedang memasak di dapur. Apa ledakan itu karena hal ini? Lalu bagaimana nasib Mama sekarang?

"Di mana Mama?" Anon mulai bangkit dari pembaringan, rasa panik menghilangkan segala rasa sakit yang dia rasakan sebelumnya.

"Dia ada di ruang penanganan khusus, dia—"

Belum genap tetangga tersebut menjelaskan, Anon sudah turun dari dipan dan berlari ke ruangnya yang dimaksud, meski kemudian dia tersesat karena rumah sakit yang begitu luas, akhirnya ruangan tersebut dapat terkemukan di salah satu sudut rumah sakit, bersebelahan tepat ke kamar mayat.

Anon mengintip melalui jendela kecil yang ada di pintu masuk, begitu tangan menyentuh kaca, pintu tersebut terbuka sendiri dan menampilkan sosok dokter bertubuh sedang, yang juga hendak keluar tepat saat Anon mengintip.

"Oh, hei." Sapa dokter itu lebih dulu, mata kanannya yang diganti oleh bola mata artifisial memindai Anon dengan cepat. "Kau pasti Anon Alyn, keluarga dari Winfrieua Alyn, benar?"

"Bagaimana keadaan ibuku?" Anon kembali bertanya tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan dokter di depannya. Hingga membuat si dokter mendengkus sabar.

"Ibumu mengalami luka bakar yang serius mencapai 83 persen, tapi untungnya dia masih dapat terselamatkan, bahkan kini dia sudah sadar."

"Apa aku boleh melihatnya?"

"Mari, masuk saja."

Tanpa banyak bicara Anon segera masuk dan mencari bilik ibunya, begitu melihatnya dari jauh hati Anon seketika terenyuh oleh rasa nyeri, Anon langsung menghambur pada Mama dan duduk di kursi yang terdapat di samping dipan.

Mama sedikit membuka satu matanya yang masih selamat, perban putih dengan teknologi nano untuk menyembuhkan luka pada kulit menutupi hampir seluruh tubuhnya. Napasnya putus-putus seperti akan sekarat, tapi alat medis menunjukkan kondisinya yang hampir membaik.

Rasa bersalah sempat hendak kabur dan meninggalkan sang pemberi kelahiran membuat Anon tak mampu menahan air mata. Penyesalan besar dia rasa membebani dada dan pikirannya, tangisan pelan juga isak terdengar pelan dari gadis itu.

"Anon …" suara Mama terdengar amat lirih, bahkan tidak begitu terdengar jika Anon tak berada tepat di sampingnya, Anon menggenggam selimut yang menutupi tubuh Mama.

"Maafkan Anon, Ma." Anon masih menitikan air mata, beserta rasa sakit di relung hatinya.

"Ha–harusnya … Mama yang mi–minta maaf …" Mama membalas dengan putus-putus pula, tangannya hendak meraih tangan Anon, tapi tertahan oleh rasa sakit.

Anon tak mampu membalas, hati dan pikiran masih sibuk dengan perasaan sendiri. Tak berapa lama seorang perawat datang untuk mengganti perban yang dipakai oleh Mama, maka Anon pun pergi meninggalkan ruang inap untuk membiarkan perawat melakukan pekerjaannya.

Begitu baru mencapai pintu, dokter yang sebelumnya kembali hadir tepat di hadapan Anon, seolah sengaja berdiri di depan pintu untuk menungguinya.

Dengan canggung Anon tersenyum kepada dokter tanpa memperdulikan keberadaannya, tapi dokter itu justru mencegat jalan Anon.

"Tunggu, kita harus bicara mengenai kondisi ibumu." Suara dokter terdengar dalam, tapi juga menusuk, karena hal itu juga membuat Anon tak bisa membantah. Keduanya berjalan menjauhi ruang inap mendekati kamar mayat.

Sejenak dokter terdiam, dalam kepalanya dia memikirkan kata-kata yang tidak terasa menyinggung atau menyakitkan bagi Anon, tapi itu tetap membawa ketegangan bagi Anon sendiri, sampai-sampai telapak tangannya berkeringat.

"Ada apa, Dok?" Anon memutuskan untuk memulai percakapan lebih dulu, membuyarkan lamunan si dokter.

"Bagaimana aku mengatakannya?" Sama seperti sebelumnya, dokter itu melempar pertanyaan. "Ibumu menderita kanker paru-paru, kanker ini bersifat ganas dan sudah menyebar ke tempat lain."