webnovel

Mona

Seakan-akan waktu berhenti. Lalu, hanya Lily dan Dokter tersebut yang hidup bergerak seperti biasa. Tatapan mereka sangat dalam. Laki-laki tampan di hadapannya, siapapun bisa terkagum-kagum. Rahang yang tegas, mata tersenyum, bibir yang tipis merah muda, hidung tinggi yang lurus dan tubuhnya yang sempurna. Andai saja gadis itu memasuki dunia animasi, Author sudah pasti membuatnya mengeluarkan darah yang menyembur dari hidungnya. Wajah pahatan Tuhan sangat sempurna. 

"Ka-kalian saling mengenal?" tanya Daniel yang memasang wajah polosnya. Bahkan suster di sampingnya hampir mengeluarkan tawa melihat tingkah Daniel yang polos.

Suster tersebut membisikan sesuatu. "Apakah kamu tidak tahu? Mungkin saja mereka memiliki hubungan spesial," kata Suster tersebut. Lalu, menepuk bahu Daniel pelan. "Jangan cemburu, ya," sindirnya. 

"A-aku tidak cemburu!" belanya. Dan Suster tersebut hanya membalas dengan anggukan tidak percayanya. Hal itu, membuat Daniel kesal. 

Daniel mengerutkan wajah lugunya. Hal tersebut membuat Lily kesal. "Aish, kenapa dia diam saja disitu? Tidakkah dia pergi dari sini? Aku ingin berduaan saja bersama Dokter," batinnya. "Aaaaa! Dokter. Kepalaku sakit lagi sepertinya," jeritnya pura-pura. 

Hal tersebut, membuat Daniel panik. Dia segera menghampiri Lily dengan lembut. Dan membuang kekesalannya terhadap Lily. 

"Ka-kamu tidak apa-apa?" Daniel memasang ekspresi gundahnya. Rasa takut terlukis di wajahnya. 

"Aish, kenapa kamu bertanya? Bagaimana aku tidak kenapa-kenapa jika aku kesakitan seperti ini. Dokter tolong aku," bujuknya terhadap Dokter tersebut. "Kamu tidak pergi? Aw, kepalaku," sambungnya dengan drama yang terus berlanjut.  

"Daniel, sebaiknya kamu tunggu di luar, ya," pinta Dokter tersebut. 

"T-tapi, Dok," elaknya yang tidak mau pergi dari ruangan tersebut. 

"S-saya mohon, saya merasa sakit yang dialami  Lily cukup serius. Tolong, ya, Daniel," bujuknya. 

"B-baiklah," jawabnya dengan wajah yang berubah pasrah. 

Daniel pun berjalan meninggalkan ruang rawat Lily. Hatinya tidak bisa berbohong. Dia ingin sekali saat ini melihatnya ke belakang. Namun, dia tetap berjalan dengan pandangan lurus. 

"Kenapa aku harus keluar juga, ini bukan IGD. Apakah luka Lily cukup serius?" batinnya lalu duduk di depan pintu yang di dalamnya terdapat mereka berdua. 

"Dia kekasihnya, ya. Ah, kenapa perasaanku sakit? Perasaan apa ini?" katanya dengan perasaan bimbang. 

Daniel menggeleng kepalanya. Dia membantah bahwa dirinya menyukai gadis itu. Untuk menghilangkan ribuan pertanyaan di kepalanya, Daniel pun memiliki ide untuk mendengar pembicaraan mereka dibalik pintu. 

"Aku merindukanmu," ucap Lily yang terdengar oleh Daniel dibalik pintu. 

Detak jantung Daniel terdengar cepat. Wajahnya memucat. Pupil matanya bergerak lebih cepat dari biasanya. 

Daniel pun duduk kembali. "Aish, Daniel! Sadarkan dirimu! Lily pantas dengan Dokter itu. Apa yang kamu harapkan? Argh! Perasaan apa ini? Aku tidak mengertinya," kata Daniel frustasi. 

Ditengah kegelisahannya, muncul teriakan dari kamar sebelah. Membuat Daniel melihat sumbernya. Dia tidak menyangka, yang dilihatnya sekarang adalah teman sekelasnya. Tepatnya, perundung yang selalu mengganggunya. 

"Siapa yang mereka tangisi?" batinnya penasaran. "Ron, Angel, Tom, Jake, Ariel. Lalu, tunggu! Di mana Mona? Jangan-jangan. Tidak! Mona? Aku pikir aku salah. Aku tidak boleh terlihat oleh mereka. Lebih baik dengarkan saja di sini," kata Daniel yang berbicara dengan dirinya. 

"M-mona! Huhuhu. Kenapa kamu pergi secepat ini?" Tangisan Angel yang merupakan sahabat dekatnya terdengar pecah. 

Sedangkan keempat teman laki-lakinya, terlihat lebih menyedihkan walaupun tidak kompak menjerit. Raut wajah Tom lebih menyedihkan saat ini. Dia bahkan menangis dengan suara bergetar. Bahkan dia terjatuh saat mendengar Mona sudah tidak bernyawa lagi. 

"Kalian boleh melihatnya. Hanya dua orang yang diperbolehkan masuk," kata Dokter dengan hati yang berat. 

"A-aku ingin melihat Mona," kata Angel yang mendorong Dokter di depannya. Lalu, Dokter tersebut pergi tanpa melawan. 

Namun, Tom malah mendorong gadis itu sampai tersungkur. 

"Tom! Apa yang kamu lakukan? Aku juga ingin melihat Mona! Aku teman paling dekat dengannya," sentak Angel. 

"Dekat? Saking dekatnya, kamu bahkan berani membunuhnya, Angel!" balas Tom kembali dengan kepalan yang dia tahan sedari tadi. 

Pernyataan tersebut, cukup mendiamkan gadis itu dengan rintik air matanya. 

"Bahkan saat detik-detik terakhir Mona hidup, kamu enggan meminta maaf, Mona. Aku sangat kecewa padamu," sergah Ron dengan laga yang tidak menakutkan. Namun, lebih seperti orang yang putus asa. Raut wajahnya seperti itu. 

"Ron!" panggilnya.

Ron malah menghempas tangan yang ditarik erat oleh Angel. Gadis itu kini, hanya menatap kosong dengan tubuhnya yang menyandar tembok. Semut yang berguling di telapak tangannya pun tak dihiraukan. Dia hanya menangis di tengah angin yang meributkan arahnya malam ini. 

"Jake," panggilnya. Namun, temannya itu malah membalikkan badan dengan tangis yang dia ingin keluar lagi di sudut matanya. 

"Ariel," panggilnya kepada satu temannya lagi. 

"Jangan bicara! Aku tidak mau mendengarmu!" balasnya dengan amarah yang dia tahan di lubuk hatinya. 

Angel membalikkan badannya kembali. Dia merasa semuanya sudah tidak peduli dengannya. Angel juga sudah lelah. Tidak ada yang percaya dengan penjelasannya sekarang. 

Sementara itu, Daniel yang menyaksikan hal tersebut merasa iba dan merasa bersalah. 

"Mona meninggal? Tapi aku tidak menulisnya seperti itu. Aku hanya ingin mereka menerima  hukuman seperti kemarin saja. Seharusnya buku itu harus ku buang saja. Aku semakin gila dengan buku itu," bisiknya dengan mata terpejam dan duduk tanpa alas sambil memegangi lututnya dengan penuh. 

Di tengah bisingnya Rumah Sakit, yang terdengar jelas di telinganya yaitu, raungan Tom. Laki-laki yang tidak pernah terlihat menangis ataupun sedih, dia ternyata akan lemah juga saat seseorang yang dia sayang meninggalkannya. 

"Kenapa aku merasakan sakit yang sama? Haruskah aku menemui mereka?" Pikirnya. "Tidak! Aku tidak boleh terlihat di sini," sambungnya. 

Klek

Suara pintu terbuka, membuyarkan pikirannya tentang mereka. Dokter tersebut keluar dengan menghela nafas. 

"Daniel, kamu boleh masuk sekarang," perintahnya.

"Bagaimana dengannya?" tanya Daniel yang sedari tadi sudah menyiapkan hati dengan lapang karena mendengar helaan nafas Dokter itu.

"Lily tidak apa-apa. Rasa sakit kepalanya mungkin akibat benturan kemarin. Tidak cukup serius. Namun, Lily harus rutin meminum obatnya. Tolong dibantu, ya. Lily tinggal sendirian dan dia sering melewatkan jam makan obatnya," pinta Dokter itu. 

"Kenapa Dokter tahu segalanya? Apakah Dokter dengan Lily?" tanya Daniel.

Dokter itu hanya membalas dengan senyuman yang membingungkan. 

"Dok! Maaf, siapa namamu? Kenapa tidak ada yang terpasang apapun di badanmu selain jas putih? Apakah Dokter ini palsu, ya?" Daniel menuduh Dokter itu sembarangan.

"Ah, benar. Tertinggal di kamar Lily," kata Dokter itu yang kemudian masuk kembali untuk membawa tanda pengenalnya. "Namaku, Reza. Salam kenal, ya, Daniel. Oh ya, jangan lupa merawatnya dengan baik, ya," pintanya sekali lagi dengan mengedip satu mata dan mengacungkan satu jempol untuk Daniel. 

Lily yang melihat Reza seperti itu, membuatnya menatap sinis. Seperti ada penyesalan di hatinya.