webnovel

Hospital

SETELAH Lily bergelut lama dengan pikiran bawah sadarnya. Melihat keluarganya yang bahkan tidak nyata. Dia mulai menyadari hal itu. Hingga satu tetes air matanya berguling di pipinya yang cantik walaupun penuh luka. Sakit sekali. Lily merasa akan mati saat itu juga. Hingga detik-detik dia tidak sadarkan diri, dia seperti mendengar seseorang memanggilnya. Kemudian, tubuhnya merasa ada yang menggerakan. Perasaan itu menghilang, saat Lily benar tidak sadarkan diri.

"Lily! Maafkan aku, aku telat menolongmu. A-aku sudah membunuh orang jahat yang menyakitimu, pasti sulit untukmu tinggal sendirian, bukan? Tenang Lily, aku ada di sini. Aku akan membawamu berobat," kata Daniel yang sedang memangku gadis itu. 

Suara benda tajam yang menancap sesuatu. Itu adalah suara kapak yang menancap kepala laki-laki bertubuh besar. Fisik Daniel yang lemah, jelas tidak mampu menolong Lily dengan cara itu. Dia pun dengan memiliki cara lain untuk membalas orang jahat tersebut. Yaitu, menuliskan pembalasan apa yang akan orang itu dapatkan, dengan menuliskan semuanya di buku Nemesis.

"Ternyata buku itu berguna," gumamnya.

"Apa yang berguna?" tanya Lily sambil mengangkat tubuhnya pelan. Lalu, melihat infusan dengan pandangan kesal.

"Ka-kamu sudah bangun? Tidurlah kembali, Lily," perintahnya sambil membantu menidurkan gadis itu dengan selimut.

"Tidak apa-apa. Aku ingin duduk saja. Daniel, kamu membawaku kesini? Akh, kepalaku sangat sakit," tanya Lily sambil memegangi kepalanya. "Bagaimana dengan orang yang menculikku tadi?" sambungnya.

"Aku sudah menghabisinya. Aku melemparkan batu terlebih dahulu, ke-kemudian aku habisi dia dengan tanganku," jelasnya dengan percaya diri. Sambil memperagakan aksi dia kepada penjahat tadi.

Lily sedikit menyeringai. "Cih, aku tidak tahu kamu sangat kuat," candanya yang disusuli sudut bibir yang terangkat sedikit.

"Ah, ka-kamu hanya tidak tahu saja," jawabnya bohong. 

"Sebelum aku tidak sadarkan diri, aku mendengar benda tajam menancap sesuatu. Lalu, aku merasa ada cairan yang membanjiri kakiku. Jangan-jangan itu ulahmu juga?" tanya Lily dengan menopang dagunya. Hal itu membuat Daniel terkejut. 

"Itu hanya ilusi. Dia bahkan tidak banyak mengeluarkan darah," belanya. 

Daniel tidak bisa memberitahu aksi kejinya itu. Walaupun, niatnya untuk menolong Lily, tapi dia takut jika Lily membencinya dan takut karena hal ini. 

"Ah, benar sekali. Wajahmu tidak menunjukan orang yang seperti itu," balasnya sambil memegangi jarum infus yang akan dicabut.

"Hey, apa yang kamu lakukan?" Daniel menanyakan itu sambil memegang erat tangan   Lily yang akan mencabutnya tadi.

"Ck, sekarang kamu berani memegangku," cecar Lily sambil memutar bola matanya.

"A-aku minta maaf. Aku hanya khawatir kamu akan kabur dari sini," jawabnya gugup.

Lily mendekati wajah Daniel sekarang. Mengedipkan mata sepelan mungkin. "Benar. Aku memang mau kabur," jawabnya.

"Jangan!" Daniel menghalangi Lily dengan tubuh dan tangan yang terlentang. Seperti anak kecil. 

"Cih, kamu seperti anak kecil, Daniel," candanya. 

Wajah Daniel memerah malu. Dia tetap berdiri  dengan posisi seperti itu. Lalu, menyembunyikan wajahnya sedikit. 

"Daniel, ayo! Bantu aku," ajak Lily sembari mengambil kursi roda di sampingnya.

"Bi-biarkan aku saja," kata Daniel. Lalu, mengambil kursi roda yang akan Lily tumpangi. 

"Terima kasih," ucap Lily yang menatap Daniel di belakang.

Lagi-lagi Daniel tersipu. "Hm. Mau kemana kita?" tanya Daniel dengan pipi dan telinga yang menempel setia.

"Aku ingin melihat sekeliling saja. Bosan sekali  berbaring di kasur. Aku tidak terbiasa seperti itu, Daniel. Aku selalu melakukan sesuatu," katanya sambil melihat sekeliling. 

Daniel mengangguk pelan. "Lily, kamu belum menghubungi orang tuamu, 'kan?" tanya Daniel yang berhenti mendorong kursi roda itu.

"Aku tidak akan memberitahu mereka. Mereka akan khawatir," balasnya. 

Kelly tidak bisa memberitahu Daniel, jika orang tuanya sudah tidak ada. Setelah Daniel menanyakan hal tersebut, Lily teringat malam itu, bisa-bisanya halusinasi itu terlihat nyata. Apalagi, saat mereka memasuki cahaya putih dengan melambaikan tangan. Lalu, meninggalkan Lily seorang diri.

"Huhuhu, Daniel, ini sakit sekali," ucapnya sembari menutupi matanya yang tiba-tiba berderai air mata. 

Rasa sakit yang dialami Lily. Kini, semakin menusuk dalam. Mengingatnya membuat dia tidak berhenti membanjiri ruangan yang hanya mereka berdua di sana. 

"Lily, yang mana yang sakit? Haruskah kita kembali ke kamar?" tanya Daniel yang panik dengan Lily sekarang.

Namun, Lily masih berlanjut dengan tangisnya. Sesekali dia memukul dadanya yang terasa sesak. 

"Hey, Lily! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu seperti ini? Tenangkanlah dirimu," kata Daniel yang semakin bingung atas apa yang terjadi terhadap Lily.

Sungguh lucu, Lily yang terus meraung, dan Daniel yang membantu menenangkan Lily dengan seribu pikirannya. Daniel menahan Lily agar tidak menyakiti dirinya. 

Hingga, Lily pun mulai berhenti menangis. Dan mulai menatap kosong pohon besar di depannya. Selain itu, Daniel tampak kelelahan dan menidurkan diri di rumput hijau tersebut. 

Mereka menghabiskan waktu di belakang Rumah sakit tersebut. Ditemani pohon besar yang sedari tadi ditatap Lily. Hanya mereka berdua saat ini. Hingga waktu sudah menunjukan pukul enam sore. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. 

"Lily, ayo kita pulang," ajak Daniel sembari mengusap bajunya pelan. Menghempaskan debu yang menempel di bajunya.

Perawat yang tampak lari menghampiri mereka. "Hey, kalian saya cari kemana-mana. Saatnya makan, nona Lily," ajak perawat tersebut. Lalu, menggantikan Daniel mendorong kursi rodanya.

Setibanya di kamar rawat Lily, Daniel masih menatap Lily dengan bingung.

"Suster, dia tadi kesakitan. Sampai menjerit dan menangis di belakang Rumah sakit," kata Daniel dengan wajah yang melas.

Mendengar hal itu, Lily melototkan matanya. Dia tidak bisa memberitahu apa yang terjadi. Sungguh memalukan baginya. 

Lily menatap Daniel tajam. Dia juga mengepalkan tangannya dengan erat. 

"Aish, aku akan membunuhmu," batinnya

"Benarkah? Kalau begitu, saya akan panggilkan Dokter, ya," ucapnya.

"Ti-tidak perlu. A-aku," ucap Lily yang terbata-bata.

Kelly yang ingin berbicara lagi, di dahului oleh Daniel. "Terima kasih, Suster. Kami akan menunggu di sini," ucapnya dengan percaya diri.

Plak!

Suara pukulan Lily yang nyaring, membuat Daniel meringis sakit. 

"Ugh, kenapa kamu selalu memukulku? Apalagi tenagamu. Apa kamu ini lelaki?" Daniel merasa kesal terhadap Lily. 

Bagaimana tidak kesal. Jelas sekali Daniel ingin membantunya. Namun, malah mendapat pukulan dari gadis tersebut. 

"Hey, salahmu! Kenapa kamu melaporkan hal tadi? Kamu mau aku malu? Hah?!" teriak Lily lalu mengerutkan bibirnya. 

"Apa? Malu? Apakah kamu gila? Jelas aku ingin membantumu. Bukankah kamu tadi merasa sakit sampai menjerit seperti orang gila?" balas Daniel dengan memegang pinggangnya. 

"Cih, sekarang kamu jadi seorang pahlawan? Aku sudah bilang, jangan memberitahu mereka?" sentaknya dengan rasa amarah yang berkobar.

"Kapan kamu bilang? Hah?!" balas Daniel yang tidak mau kalah.

"Apa kamu tuli?" kata Lily.

Tiba-tiba, suara pintu menghentikan pertengkaran mereka.

"Siapa yang tuli?" tanya seorang Dokter tampan. 

Dokter tersebut menyurutkan amarah Lily. Seakan-akan Lily yang terbakar, di hentikan oleh air yang menyejukan. Lily tidak berhenti menatap. 

"Cih, tadi kamu marah-marah. Usap ilermu, Lily," kata Daniel yang meledek Lily.

"Kamu masih ingat aku, 'kan?" tanya Dokter tampan tersebut.