17 Chp3: Hari Senin

"Hari Senin, mohon bantuannya ya."

***

Senin, pukul 07:11. Saat perjalanan ke sekolah dari asrama.

"Jadi begitulah, Tio." Aku mengakhiri ceritaku.

"Begitu ya, kalau begitu apa boleh buat. Saat istirahat nanti, katakan saja pada Keysha atau Ayunda untuk menunggu kita di kantin."

"Ja-jadi, kamu setuju?"

"Begitulah... lagi pula apa salahnya menambah teman." Tio membuang tatapannya ke langit biru tanpa awan yang ada di atas kami. Bibirnya mungkin bisa berbohong, tapi tidak dengan tubuhnya yang lain.

"Ka-kalau begitu syukurlah. A-aku akan menemui Ayunda saat dikelas nanti." Kata-kataku terbata-bata. Meski sudah cukup dekat dengan Tio seminggu terakhir, tetap saja ketika mengetahui ada jarak di antara kami, membuatku merasa seperti orang asing.

Setelah sampai di sekolah, aku berpisah dengan Tio, yang mana Tio pergi ke gedung olahraga untuk bertemu dengan beberapa kakak kelas dalam ekstra kurikuler yang akan dimasukinya, sedangkan aku langsung menuju ruang kelas.

Namun sebelum itu, aku menuju ke ruang kelas IPA 2 terlebih dahulu untuk menemui Ayunda atau Keysha. Ruang kelas IPA 2 sendiri tercakup jarak 2 ruangan dari ruang kelasku—IPA3.

"Selamat pagi, 'nyari siapa ya?"

"Hiii!" Mendadak diajak bicara oleh seorang gadis dari arah belakang, membuatku terkejut. Tidak aneh jika ada orang yang menyadari kehadiranku, karena aku sendiri berdiri mengintip dari pintu dua daun ruang kelas IPA2.

"A-ah, itu... bisa minta tolong panggilkan gadis yang namanya Ayunda? Kalau ada Keysha juga tidak apa-apa."

"Ayunda? Oke!" Gadis tadi melewatiku dan masuk ke ruang kelas IPA2. Dia melihat-lihat ke sekeliling ruang kelas sebentar kemudian menyrukan, "Ayunda! Ada cowok berkacamata yang mencarimu 'tuh!"

"He?" Seketika ruang kelas IPA2 yang ramai diisi oleh sekitar 20 siswa-siswi itu hening tak bersuara. Kemudian terdengar suara bangku dan meja bergeser, tak selang lama aku pun mendapati Ayunda yang sudah berdiri di depan pintu.

Ayunda berjalan mendekatiku dan langsung menarik lenganku ke tempat lain, meninggalkan keheningan yang bagaikan abadi dalam kelas tadi. "Kenapa kamu mencariku?" tanya Ayunda masih berjalan dengan sedikit tergesa-gesa.

"A-ada yang ingin kukatakan padamu dan Keysha. Ta-tapi... apakah aku mengganggumu?"

Ayunda melepaskan lenganku, menghentikan langkah kakinya dan berbalik menatapku. "Tidak, tidak sama sekali. Hanya saja jika bisa jangan mendadak memanggilku di saat aku sedang berada di kelas."

Ayunda tidak berbohong, aku tidak mengganggunya sama sekali, tapi apa maksudnya dengan jangan memanggil dia saat sedang di kelas? Di hari pertama sekolah kemarin dia sempat mengatakan kalau dia tidak ingin terlihat dekat dengan laki-laki oleh teman sekelasnya, apa itu benar? Ini sedikit membingungkan, aku sangat yakin kalau gadis kucir kuda ini mengatakan kebohongan saat itu.

Yah... mau bagaimanapun Ayunda memiliki kehidupannya sendiri yang mungkin kehadiran orang sepertiku bisa mengganggu. Aku harus menghormati dan menghargai hal itu, mau apa pun alasannya.

"Jadi, apa yang ingin kamu katakan?" lanjut Ayunda.

"U-untuk yang Sabtu kemarin, sepertinya Tio setuju untuk dikenalkan dengan temannya Keysha yang bernama Veronika itu."

"Oh, begitu ya. Kapan bisa bertemu?"

"Kata Tio, mungkin istirahat pertama nanti."

"Baiklah, Keysha dan Gadis itu belum datang juga sih. Jadi nanti akan kukatakan pada mereka." Ayunda menganggukkan kepalanya, mengerti apa yang kukatakan. "Apa cuma itu?" lanjutnya.

"Iya, cuma itu...."

"Kalau begitu sebaiknya kamu segera masuk ke kelasmu, bel akan berbunyi sebentar lagi. Lagi pula kita akan upacara lagi hari ini."

Aku mengangguk. "Baik."

Mendapat respons dariku, Ayunda langsung mengangkat kakinya dan mulai berjalan.

Aku melupakan sesuatu, ada hal lain yang ingin kukatakan pada Ayunda. Untuk itu aku memanggil namanya dan membuat langkahnya terhenti. "Ayunda, ada satu hal lagi...."

Aku merogoh saku seragamku yang berada di balik almamater. Mengeluarkan sebuah benda berwarna merah hati yang disebut penjepit rambut.

"Ini, penjepit rambut ini sepertinya milikmu. Aku menemukannya di dalam kantung yang sama dengan kantung belanjaan bajuku kemarin." Aku menunjukkan penjepit rambut yang masih dalam kemasan yang cukup mewah.

Melihat itu Ayunda langsung membuka matanya lebar. "Ah itu ya...." Ayunda meraihnya dari tanganku, kemudian dia membuka kemasannya dan mengeluarkan penjepit rambutnya.

Ayunda lebih mendekat padaku lagi, hingga hanya tersisa jarak sekitar 20 sentimeter antara kami. Lalu dia menggerakkan kedua lengannya mendekati wajahku. Pergerakannya sedikit mengejutkanku, membuat langkahku mundur.

Tangannya yang putih kecil, rambut hitam dengan sedikit merah muda yang halus, itu terlihat jelas dari jarak sedekat ini. Hal seperti ini membuatku gugup setengah mati, walaupun kejadian serupa seperti ini sudah pernah terjadi minggu lalu, tapi aku tak akan semudah itu terbiasa.

Ini sedikit menggangguku....

Tanpa terduga lagi, dia malah mengenakan penjepit rambut tadi ke rambut acak milikku, tepat di atas mata sebelah kiri. "Aku membelikan ini untukmu, karena rambut berantakan milikmu itu sedikit menggangguku."

Setelah memasangkan penjepit itu pada rambutku, dia membenarkan cara berdirinya lagi. "Aku pikir rambutmu itu menutup pandangan matamu, apa lagi kamu memakai kacamata. Dari apa yang kudengar, tidak baik jika membiarkan rambutmu menutupi bagian mata di saat ketika kamu memakai kacamata."

Apa benar begitu, seperti yang dikatakan Ayunda? Aku tidak pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya di tempat itu... lagi pula aku sudah terbiasa dengan rambut yang menutupi pandanganku. Itu membuat sorot mataku sulit diterka orang lain.

"E-eh? Benarkah? A-apa aku boleh memiliki penjepit ini?"

Bukan berarti aku tidak mau menggunakan penjepit rambut untuk alasan itu, aku juga sudah lama memikirkan untuk memakainya sejak di tempat itu. Hanya saja memakai penjepit rambut seperti ini membuatku terkesan seperti seorang wanita.

Yah, tapi mau bagaimanapun, aku tidak dapat menolaknya untuk alasan yang tak terlalu jelas.

"Silakan, 'kan sudah kukatakan tadi kalau itu memang kubelikan untukmu, Faresta."

"Ka-kalau begitu terima kasih...."

***

Bel istirahat berbunyi, siswa dari kelas IPA3 satu persatu keluar dari ruang kelas. Aku juga mengemasi buku-buku mata pelajaran dan mulai berangkat dari kursi yang sudah kududuki lebih dari 1 jam itu.

"Ayo, Faresta," ajak Tio yang sudah menunggu di dekat pintu kelas. Aku pun bergegas mendekatinya, kemudian kami berdua berjalan keluar dari kelas menuju kanti bersama-sama.

Kanti sendiri memiliki bangunan tersendiri yang terpisah dari gedung kelas dan gedung utama, jadi kami harus menuruni tangga dan berjala keluar gedung untuk sebentar.

Gedung kelas IPA 2, IPA3, dan IPA4 sendiri berada di gedung kelas 10 lantai 2, sedangkan kelas yang lain berada di lantai lainnya.

Aku dan Tio berjalan menyusuri ruangan demi ruangan, baru kusadari betapa populernya Tio... hampir setiap bertemu siswa lain, orang itu pasti mengenal Tio. Aku penasaran kenapa orang sepertinya mau berbicara denganku.

Tepat setelah kami turun ke lantai satu, tiba-tiba seseorang tak sengaja menabrak aku.

"Ah, m-maaf!" Karena membuat sejumlah buku yang dibawa orang tadi terjatuh, aku langsung panik meminta maaf dan segera membantu memungut buku-buku yang tergeletak.

Ada yang aneh....

Tio juga ikut membantu memunguti buku-buku yang tergeletak di lantai. Dan ketika Tio mengarahkan pandangannya pada arah lain, tiba-tiba orang yang menabrakku tadi mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Perpustakaan, sepulang sekolah," bisiknya pelan.

"He?"

Aku cukup terkejut dengan hal itu, tapi karena adanya keberadaan Tio di sini aku tidak dapat bergerak bebas. Apa lagi dengan keberadaan CCTV di sudut lorong.

"Apa sudah semuanya, Faresta?" tanya Tio dengan sejumlah buku di tangannya.

"Ah, mungkin...." Aku melirik ke arah orang tadi.

Orang tadi mengambil buku-buku yang aku dan Tio pungut tadi.

"Terima kasih banyak, maaf karena sudah menabrak kalian!" Hanya sepatah kalimat itu, orang tadi langsung berlari menjauh meninggalkan kami.

Aku sedikit panik karena tiba-tiba ditabrak seperti itu, tapi karena bisikkan tadi entah kenapa jantungku langsung tenang dan pikiranku mendadak jernih.

"Apa kamu tidak apa-apa, Faresta?"

"Ah, iya... aku baik-baik saja." Aku dan Tio kembali berdiri dan kemudian melanjutkan perjalanan kami ke kantin, melupakan hal yang barusan terjadi. Menganggap itu hanya angin lewat....

avataravatar