Sementara itu, perpustakaan berada di gedung sebelah kiri. Tempatnya berada di pojok gedung, berjajar dengan ruang bimbingan konseling di lantai dua. Di lantai utama adalah ruang guru. Ya, disana adalah gedung paling tenang. Baik di perpustakaan, ruang BK maupun ruang guru, tidak akan ada suara riuh seperti di kelas. Para murid tidak akan berani berisik disana, apalagi bergerombol dan bersorak seperti yang mereka lakukan saat mendekat pada Damai tadi.
Senja mendesah pelan. Matanya melihat rak-rak buku yang berjajar dan tertata rapi di depannya. Beberapa siswa duduk secara terpisah dan sibuk dengan buku di tangan masing-masing. Ada yang sedang mengerjakan sesuatu, ada juga yang hanya membaca buku mata pelajaran.
"Oke. buat nahan laper, kayaknya aku cari novel atau komik aja deh." Senja tidak punya pilihan lain. Belajar memang menyenangkan, tapi disaat seperti ini mungkin hanya akan membuatnya semakin lapar. Yang jelas dia sudah berhasil menghindari keramaian, dan tidak mungkin juga dia ke kantin. Pasti disana tak jauh beda dengan di kelas tadi.
Senja melangkah masuk lebih dalam ke ruang yang penuh dengan buku-buku itu. Berjalan menuju rak dimana novel dan komik berada. Tempatnya berada di rak paling ujung. Setidaknya Senja sudah tahu beberapa tempat buku yang dicarinya, karena seringnya dia berkunjung ke dalam sana.
"Ada novel baru gak ya?" gumam Senja. Telunjuknya menyusuri jajaran novel yang ada di rak, sembari membaca satu persatu judulnya. Bibirnya tersenyum begitu melihat judul novel baru yang ada disana. Terlebih lagi dari penulis favoritnya. Senja mengeluarkan novel tersebut dari tengah novel lainnya. "Kayaknya pinjem bawa pulang deh," serunya riang.
Senja berjalan menuju ke meja dan kursi yang disediakan di tengah ruangan. Matanya menyusuri tempat tersebut, mencari dimana dia bisa duduk dengan posisi yang paling tenang. Kakinya melangkah menuju ke kursi paling pojok dekat jendela. Disana dia juga bisa melihat ke gedung tengah. Tempat kelas para siswa. Pada jam istirahat seperti ini banyak sekali siswa yang berseliweran di sana. Ada yang mengobrol depan kelas, ada juga yang sedang berjalan, berlari-lari kecil sambil bercanda. Ada juga yang hanya berdiam diri duduk di kursi taman yang ada di depan kelas mereka masing-masing. Dari tempat Senja sekarang, dia bisa melihat semuanya.
Sebelum Senja membuka lembar pertama novelnya, matanya mengamati jauh ke bawah sana. "Rame banget," gumamnya. Entahlah, Senja merasa tidak pernah bisa tenang berada di dalam sebuah keramaian. Mungkin karena dia tidak terbiasa, sejak kecil dia tidak pernah memiliki teman yang banyak. Hanya satu, atau dua orang. Senja memang cenderung pendiam, tidak seperti Raya yang mudah akrab dengan siapa saja.
"Ya rame lah. Kan lagi jam istirahat." Senja terpaku mendengar suara yang baru saja menyahuti. Suara yang selalu membuatnya merasa bergetar, dan gugup meskipun sudah berkali-kali didengar. Suara seorang kakak kelas yang tiba-tiba duduk di kursi depannya.
Senja memaksakan senyumnya pada kakak kelasnya tersebut. "Kak Shandy," sapanya.
"Boleh kan duduk sini?" tanya anak laki-laki bernama Shandy tersebut. Dia adalah siswa kelas dua belas. Dulu dia adalah ketua Osis, sekarang sudah vakum, karena dia sudah berada di tingkat akhir, dan harus fokus pada ujian akhirnya nanti.
Waktu pertama kali Senja masih menjalani masa orientasi, Shandy banyak membantunya. Dia baik, dan sering membantu Senja saat itu. Shandy juga kakak kelas yang aktif dalam berbagai aktifitas sekolah. Juara kelas, lebih banyak belajar, dan jarang nongkrong-nongkrong gak jelas seperti temannya yang lain. Dan satu lagi, salah satu hobinya sama dengan Senja. Membaca buku. Mereka sering sekali bertemu di perpustakaan. Seperti sekarang. Memang dasarnya Senja adalah siswa pemalu, setiap kali bertemu Shandy dia masih saja gugup. Raya pernah bilang kalau itu adalah tanda-tanda suka sama lawan jenis, tapi Senja belum bisa memastikannya.
Senja menangguk. "Boleh kak," jawabnya. Segera setelah itu dia mengalihkan pandangan dari wajah Shandy pada novel di tangannya. Membuka lembar pertama novel tersebut. Shandy juga tak banyak bicara setelah itu. Matanya fokus menyusuri kata demi kata di dalam buku yang sedang dibacanya. Senja melirik sekilas judul buku yang dibawa Shandy. Disana tertulis Ensiklopedia Pengetahuan Populer. Bacaanya sedikit berbobot, mencerminkan dirinya yang sangat berprestasi, pikir Senja.
Sudah tiga puluh menit mereka duduk saling berhadapan disana, tanpa sepatah katapun. Sibuk dengan buku di tangan masing-masing. Sesekali matanya melirik pada Shandy yang fokus pada buku mata pelajaran di depannya. Entahlah, kenapa dia tidak bisa fokus sedikitpun pada novel yang dibaca. Berkali-kali selama tiga puluh menit tersebut dia sudah mengulang dua paragraf pertama, tapi matanya kembali melirik kakak kelas di depannya itu.
"Kamu udah makan siang Nja?"
Pertanyaan itu membuat Senja melotot. Pasalnya Shandy terlihat begitu fokus pada bukunya, tapi bagaimana bisa tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti itu? Apa jangan-jangan dia sadar kalau Senja sedari tadi memperhatikannya?
"Nggak kak. Aku gak laper," jawab Senja, Gadis itu menggigit bibir bawahnya, dia sedikit khawatir. Semoga saja Shandy tidak menyadari bahwa dia sedang memperhatikannya, memalukan sekali.
"Yakin? Padahal aku mau ajak makan bareng. Mumpung masih ada setengah jam." Shandy menutup buku yang ada di tangannya. Lalu melirik sekilas jam tangannya. Menatap ke arah Senja. "Mau ikut?"
Senja tercekat. Tubuhnya membeku seketika. Shandy membuat gemuruh di dalam dadanya yang sejak tadi berisik menjadi semakin riuh, memenuhi gendang telinganya sendiri. "Sadar Nja!" perintahnya dalam hati pada dirinya sendiri.
Senja kemudian menggeleng. "Aku gak laper kak. Kakak duluan aja!" Sekuat tenaga Senja mencoba untuk membuka mulutnya menjawab Shandy. Rasanya bukan hal yang tepat jika sekarang dia menerima ajakan Shandy. Dia tidak akan bisa bertahan lama makan bersama kakak kelasnya itu. Bisa-bisa jantungnya meledak seketika, jika harus berlama-lama dengan Shandy. Apalagi di kantin pasti masih ada Damai yang tadi dihindari olehnya dengan susah payah. Waktu yang sangat tidak tepat.
"Oke. Kalau gitu, aku duluan ya," kata Shandy santai. Dia kemudian melangkah pergi dari sana. Setelah memastikan Senja mengangguk dan tersenyum mengiyakan.
Senja menatap punggung Shandy yang menjauh sembari memegangi dadanya. "Kayaknya jantungku mulai gak aman," gumamnya. Dia mulai menarik nafas panjang, mencoba menetralkan kembali jantungnya yang sudah hampir meletup keluar itu.
"Apa bener kata Raya, kalau aku suka sama dia?" pertanyaan itu mulai menjalari kepala Senja. Senja segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak. Jangan mikir itu!" ralatnya.
Senja menarik bolpoin yang ada di saku bajunya. Kemudian mengambil selembar kertas yang tersedia di meja perpustakaan. Mulai menulis nama Shandy di secara vertikal di atas kertas tersebut. Kemudian menulis sebuah puisi berdasarkan huruf awal namanya. Menyalurkan hobinya yang lain. Menulis sebuah kalimat indah yang dirangkai menjadi sebuah puisi.
Saat tangan tak bisa meraih
Hanya untaian kata yang dapat aku tulis
Aku mungkin tak berhak berharap apapun
Namun maaf, namamu selalu aku sebut
Di dalam kalimat yang sering aku tanyakan padaNya
Ya Tuhan, rasa apa sebenarnya ini?
Sebait puisi otodidak baru saja ditulis Senja menggunakan nama Shandy sebagai inspirasi, menghiasi sebuah kertas kosong yang sekarang sudah dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam sakunya. Untuk dicampur dengan kumpulan puisi yang telah dibuat olehnya, di dalam sebuah buku harian Senja.