webnovel

Kepingan Masa Lalu (1)

Rivay duduk manis di dekat jendela kamarnya. Sesekali ia memetik senar gitarnya tanpa berniat untuk bernyanyi. Ia memandangi langit malam di atas sana, tak banyak bintang yang menghiasinya malam ini. Ia lalu berhenti memiankan gitar dan mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan untuk Fayra.

Udah tidur, Fay?

Hanya sebuah pesan singkat. Tadi tiba-tiba saja ia teringat Fayra dan tangannya tergoda untuk menanyai keadaan cewek itu. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Di atas kasur, Dani sudah tidur sekitar beberapa saat yang lalu.

Fayra. Perempuan itu sudah menarik perhatiannya sekitar dua tahun yang lalu. Rivay ingat pertemuan pertama mereka. Mengingat hal itu membuat Rivay tersenyum-senyum sendiri.

Pagi itu, Rivay yang baru menginjak kelas sembilan, sedang membawa buku-buku yang baru ia ambil dari kantor guru. Saat berjalan melewati gerbang sekolah, ia melihat seorang perempuan yang sepertinya juga murid sekolahnya sedang berusaha mengambil kunci yang tergeletak di atas meja pos satpam. Cewek itu menggunakan sebatang bambu yang cukup panjang. Entah di dapatnya dari mana bambu tersebut.

"Ayo dong. Sedikit lagi dapat ini," gumam Fayra sambil terus memanjangkan tangan berusaha mengambil kunci tersebut. Pak Satpam yang biasanya berjaga di pos entah ke mana. Di sekitar tersebut sudah sepi, tentu saja. Bel masuk telah berbunyi sekitar 20 menit yang lalu.

Fayra menggiggiti bibir bawahnya, gemas karena dari tadi kunci gerbang tersebut belum juga ia dapatkan. "Sedikit lagi," ucap Fayra geram.

"Yes, dapat," ucap Fayra girang kemudian setelah ujung bambunya berhasil meraih lingkaran gantungan kunci tersebut. Ia segera menarik batang bambunya pelan-pelan, takut kalau tiba-tiba kumpulan kunci itu terjatuh. Eh baru saja Fayra menjauhkan kunci tersebut dari meja, kunci tersebut jatuh.

"Arrgghh," geram Fayra frustasi. Bagaimana tidak? Sudah lebih dari lima menit ia berusaha menggapai kunci tersebut. Saat sudah dapat, eh malah terjatuh.

Rivay tertawa kecil melihat itu. Ia menaruh buku-buku yang sedang ia pegang, lalu mengambil kunci tersebut dan berjalan ke arah Fayra. "Mau ngambil ini?"

"Iya." Sontak mata Fayra berbinar-binar melihat kunci tersebut bergantung tepat di hadapannya.

"Buat apa?" tanya Rivay pura-pura bego.

Fayra berdecak, "Ya buat buka gerbanglah. Ayolah bukain gerbangnya dong. Pegel ini gue dari tadi berdiri di sini." Fayra menangkupkan kedua tangannya di depan mukanya sambil menatap memohon ke Rivay.

"Bentar, gue cari Pak Tono dulu," ucap Rivay menyebutkan nama satpam sekolah mereka.

"Eh, jangan!" seru Fayra cepat saat Rivay hendak membalikkan badan.

"Kenapa? Katanya tadi lo mau masuk?"

"Iya emang. Tapi gak usah pake acara manggil Pak Tono segala. Entar ketauan dong kalau gue telat. Bukain aja sekarang. Please...."

Rivay melihat keadann sekitar. Sepi. Gak ada satu orang pun yang terlihat. Jadi, aman-aman saja kalau ia membiarkan Fayra masuk. "Oke."

Mata Fayra berbinar. Setelah Rivay membuka gerbang, Fayra cepat-cepat masuk ke dalam dan menguncinya kembali serta menaruh kunci tersebut ke tempat semula seolah gak terjadi apa-apa. "Makasih banget ya." Fayra menepuk-nepuk bahu Rivay sambil menatapnya terharu.

"Sa–"

"Astaga! Udah jam setengah delapan," pekik Fayra menghentikan ucapan Rivay. "Semoga Pak Benu belum masuk kelas." Fayra segera pergi meninggalkan Rivay yang sedari tadi tak berkedip melihatnya.

Rivay menggeleng-gelengkan kepalanya geli. Ia menatap punggung Fayra sampai hilang di belokan. Setelah itu ia kembali berjalan ke kelasnya sambil membawa buku-buku tadi. "Fayra Nadhifa" gumam Rivay sambil terus tersenyum. Tadi ia sempat melihat tulisan nama di seragam putih-biru Fayra. Ia baru sadar kalau ada murid seperti Fayra di sekolahnya. Sudah dua tahun ia sekolah di sini, tapi baru kali ia berpapasan dengan Fayra. Hah, mungkin karena mereka tidak pernah sekelas.

Hari-hari seterusnya, diam-diam Rivay terus memperhatikan Fayra. Matanya selalu mengikuti arah jalan Fayra. Tentu saja hal tersebut tanpa sepengetahuan cewek itu. Semakin lama, Rivay semakin suka terhadap Fayra, gak tahu kenapa. Baginya, apa pun yang dilakukan Fayra selalu menarik perhatiannya. Tapi tak pernah sekalipun ia menghampiri Fayra. Baginya, melihat Fayra setiap hari saja sudah cukup.

Sampai hari itu tiba, ia pindah sekolah dan terpaksa meninggalkan Fayra. Tanpa pernah sekalipun Fayra mengetahui bahwa Rivay telah mulai menyukai dirinya. Rivay pikir mungkin ia hanya sekedar suka saja kepada Fayra, sejenis cinta monyet, mungkin? Dia masih kecil waktu itu.

Ia pikir, rasa itu akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Rivay pikir, mungkin di tempatnya yang baru ia juga akan menemukan perempuan lain yang akan menarik perhatiannya. Ia pikir, nanti juga akan perasaannya akan berubah.

Tapi ia salah. Selama dua tahun ini, gak ada satu pun perempuan yang menarik minatnya. Setiap ada cewek yang berusaha mendekatinya, ia selalu membanding-bandingkan cewek itu dengan Fayra. Cantik, tapi tetap lebih menarik Fayra. Manis, tapi kok senyumnya gak semanis Fayra. Putih tapi kok kayak orang albino? Tinggi, tapi kok kesannya kayak tiang listrik. Bawel, tapi kok kesannya cerewet dan menggurui.

Setelah dua tahun berlalu, Rivay tak menyangka ia kembali dipertemukan kepada Fayra dengan Fayra sendiri yang menghampiri dirinya. Ya meskipun waktu itu Fayra datang untuk memarah-marahi dirinya. Dan lebih tidak menyangka kalau ia bisa satu sekolah bahkan sekelas dengan Fayra. Kembali rasa itu hadir, rasa yang ia kira sudah berlalu. Dan tanpa pikir panjang lagi, Rivay langsung bilang suka ke Fayra saat itu. Tanpa rencana dan alasan yang begitu pasti, kalimat itu seolah keluar mulus dari mulutnya.

Drrt drrt. Getaran ponsel Rivay menyadarkannya dari lamunan mengingat masa lalu. Ia tertegun menatap ke layar ponselnya. Awan mendung segera menghampiri dirinya. Ia sih berharap balasan SMS Fayra yang masuk, eh ini malah telepon dari orang yang paling dibencinya sekarang. Papanya. Rivay mengabaikan getaran ponsel tersebut. Setelah beberapa kali bergetar, akhirnya benda persegi itu kembali diam.

Dua tahun lalu. Rivay ingat betul saat itu. Sore itu, ia yang mempunyai kebiasaan seminggu sekali memotong rumput halaman depan rumahnya, dikejutkan oleh suara debuman pintu mobil mamanya yang baru pulang.

Tante Aya –mamanya Rivay– keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Tante Aya yang biasanya selalu menyempatkan diri untuk bersendau gurau dengan Rivay, tiba-tiba langsung masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedikit pun ke anaknya.

Rivay yang bingung melihat hal tersebut lekas meninggalkan pekerjaannya dan berjalan cepat menyusul Tante Aya. Sesampainya di dalam rrumah, Rivay mendapati Tante Aya sedang duduk di atas kasur kamarnya masih sambil terus menangis terisak.

"Mama kenapa?" tanya Rivay lembut. Melihat mamanya yang pulang dengan menangis seperti ini membuat Rivay sungguh penasaran dan tentu saja membuat hatinya sakit. Tadi sebelum pergi, Tante Aya masih bersikap seperti biasanya.

"Pa-papa kamu, Riv...," ucap Tante Aya di sela-sela isak tangisnya.

Rivay merangkul erat bahu mamanya. Mengusap bahunya penuh perhatian. "Papa kenapa, Ma?"

"Pa-papa kamu se-selingkuh, Riv.,,," ucap Tante Sya sendu.

Rivay rasanya seperti tersambar petir mendengar kabar itu. Badannya mendadak kaku. Rahangnya mengatup rapat menahan amarah. Bagaimana mungkin papanya bisa selingkuh? Selama ini hubungan keluarga mereka harmonis-harmonis saja. Memang beberapa waktu yang lalu, papanya mulai bertingkah aneh. Suka pulang larut malam dan sulit di temui. Om Rizal –papanya Rivay– juga jarang lagi berkumpul bersamanya dan Tante Aya. Selama ini Rivay tak terlalu mempermasalahkannya, karena ia pikir papanya mungkin sedang banyak pekerjaan. Sulit rasanya bagi Rivay menerima kenyataan ini.

"Hah? Kok bisa, Ma? Mama tahu dari mana?" tanya Rivay setelah berhasil mengontrol emosinya.

Tante Aya hanya bergeming.

"Ma...?"

Tante Aya masih diam tak mau menjawab. Rasanya sulit sekali bagi Tante Aya untuk menjelaskan semuanya pada anak semata wayangnya ini.

"Mama jangan diam aja."

"Mama mau sendiri dulu, Riv," ucap Tante Aya akhirnya. Tante Aya menggeser pelan tangan Rivay yang sedari tadi merangkulnya. Hati Tante Aya juga sama seperti Rivay. Sakit.

"Tapi, Ma...."

"Mama mau berpikir dulu, Riv."

Rivay pandangi mamanya yang nampak kacau ini. Sempat ada ragu, tapi kemudian ia mengangguk maklum dan segera keluar dari kamar orang tuanya.

Semalaman Rivay menungu-nunggu kepulangan Om Rizal. Tapi yang ditunggu-tunggu tak juga pulang. Ponsel Om Rizal juga tak bisa-bisa dihubungi. Tante Aya juga tak mau membuka pintu kamarnya. Meskipun Rivay telah menggedor-gedor pintu kamarnya, tetap saja Tante Aya tak membukanya dengan alibi ingin memikirkan semuanya dulu dengan jernih.

Ia takut mamanya melakukan hal yang tidak-tidak. Ketika Rivay menyuarakan pikirannya, Tante Aya menjawab dari dalam kamarnya kalau ia tak mungkin melakukan hal-hal yang bodoh. Rivay pun akhirnya hanya bisa pasrah. Ia tidur dengan tidak tenang di sofa ruang tamu, menunggu kalau-kalau papanya akan pulang. Tapi sampai Rivay tertidur pun, Om Rizal tak pulang-pulang juga.

Keesokan harinya ketika akan berangkat sekolah, Rivay sempatkan melihat keadaan Tante Aya yang buruk. Matanya sembab, hampir menyerupai bengkak, yang sudah pasti akibat menangis semalaman. Ketika Rivay berpamitan pun, Tante Aya hanya menjawab dengan dehaman saja. Sungguh Rivay sangat stress memikirkan nasib keluarganya nanti.

Di sekolah, Rivay dikejutkan dengan kedatangan mamanya. Saat sedang proses belajar-mengajar, ia dipanggil salah satu pegawai TU (Tata Usaha) untuk ke ruangannya. Ia juga diminta untuk membereskan semua barang bawaanya. Rivay pun mau tak mau mengikuti itu semua. Ia berjalan dengan pikiran bertanya-tanya ada apa.

Di ruang TU, Rivay menemukan mamanya yang sedang mengurus surat pindahnya. Rivay tentu saja syok akan kabar itu. Pindah? Berarti ia akan meninggalkan sekolahnya. Meninggalkan teman-temannya, guru-guru di sini, dan tentu saja cewek itu....

Rivay sempat ingin menolak keinginan mamanya. Tapi karena tidak tega dengan tatapan memohon dari Tante Aya, mau tak mau akhirnya Rivay pindah juga. Saat ditanya tentang papanya, Tante Aya tak menjawab, hanya isak tangis lah yang mampu keluar dari mulutnya. Jadi, Rivay pun berusaha sebisa mungkin tak menanyakan kabar papanya itu, walaupun hatinya sangat ingin.

Tante Aya membawa Rivay ke tempat yang cukup jauh dari tempatnya sekarang, Kota Lampung. Dan setelah kepindahan tersebut, mereka seolah terputus dengan kediaman semula.

Next chapter