19 Kepingan masa lalu (2)

Di kota ini, Rivay dan mamanya mulai membangun kehidupan mereka yang baru. Meskipun pada awalnya Rivay sering melihat mamanya diam-diam menangis di kamarnya, tapi lama kelamaan Tante Aya yang ceria mulai kembali seperti dulu. Ia seperti menghapus semua ingatannya tentang suaminya, ehm mantan.

Meskipun Rivay tidak tahu mengapa papanya bisa selingkuh dan bagaimana hubungan kedua orang tuanya saat ini, yang jelas Rivay tahu satu hal. Papanya sudah sangat menyakiti mamanya, sangat. Rivay benci papanya.

Mereka menjalani hidup dengan tenang dan damai di kota ini. Sampai hari itu tiba. Rivay yang baru pulang dari sekolahnya mendapati bendera kuning tergantung di pagar rumahnya. Banyak para tetangga yang berkerumun di rumahnya. Rivay yang merasa seperti ada hal buruk dengan cepat masuk ke dalam rumahnya.

Saat memasuki rumahnya, rasanya aliran darah Rivay berhenti. Oksigen pun sepertinya sangat susah tuk ia dapatkan. Di sana, terguling kaku tubuh mamanya yang tertutupi kain putih. Air mata menetes dari pelupuk mata Rivay. Ia segera menghampiri tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Ia memeluk erat mamanya, berteriak-teriak memanggil Tante Aya, berharap sang mama mau membuka matanya, tersenyum lagi kepadanya dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja sama seperti saat mereka baru menginjakkan kaki di kota ini.

Tapi semua harapan itu sia-sia. Tante Aya sama sekali tak membuka matanya. Para pelayat di sekitar itu menatap nanar kejadian tersebut. Mereka tentu mengerti dengan apa yang di rasakan Rivay.

Dunia Rivay rasanya runtuh, hancur berkeping-keping tak berbentuk. Rasanya untuk bernapas saja susah. Ia menangis tanpa suara sambil memeluk mayat mamanya. Orang yang disayanginya dan menyayanginya pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan hidup? Rivay rasanya seperti masuk ke dalam lubang hitam besar yang tak berdasar.

Saat ia pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya, sebuah tepukan pelan di bahunya segera menyadarkannya. "Papa minta maaf, Riv."

Deg! Suara itu rasanya sangat asing terdengar di telinga Rivay. Sudah berapa lama Rivay tak mendengar suara maupun kabar tentangya? Dua tahun. Waktu yang cukup lama. Dan sekarang orang tersebut muncul kembali setelah menelantarkan ia dan mamanya.

Rivay menoleh pelan ke samping kirinya. Di sana terduduk Om Rizal dengan mata yang sembab habis menangis. Terdapat beberapa luka kecil dan memar di wajahnya. Pergelangan tangan kanan lelaki paruh abya itu di perban.

Rivay menatap tajam pada dirinya. "Kenapa Anda ada di sini?"

Darah Om Rizal rasanya membeku. Anaknya, tidak lagi memanggilnya dengan sebutan 'Papa'. Tatapan mata Rivay kepadanya sungguh membuat hatinya sakit. Tatapan penuh kebencian dan amarah terpancar jelas di mata anaknya sekarang.

Rivay melepas pelukan pada tubuh mendiang Mamanya. "Kenapa diam?"

Suara Om Rizal rasanya tercekat di tenggorokan.

"Kenapa Mama saya meninggal?"

Om Rizal masih diam tak mampu menjawab. Ia bingung bagaimana menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada anaknya yang sedang kalut ini.

"Kenapa Anda baru muncul sekarang? Ke mana saja Anda selama ini?" tanya Rivay lagi dengan nada sedingin es. Rahangnya mengeras, berusaha menontrol emosinya.

"Papa–"

"Papa Anda bilang? Wahai Tuan Rizal Kusuma yang terhormat, masih merasa pantaskah Anda juntuk saya panggil Papa?" tanya Rivay dengan nada mencemooh.

Hati Om Rizal rasanya seperti ditijam beribu-ribu pisau mendengar nada menantang nan menusuk yang keluar dari mulut anaknya itu.

"Papa minta maaf, Nak."

"Kenapa minta maaf? Apa Anda yang menyebabkan Mama saya meninggal?" Rivay menatap nanar ke orang di hadapannya ini. Ia benci sekali dengan orang ini.

"Ini semua di luar kendali Papa, Riv...."

"Apa?" Rivay rasanya tak mempercayai pendengarannya. Barusan ia mendengar pengakuan papanya kalau ialah penyebab kematian mamanya. Hebat! Sungguh menakjubkan! Bertahun-tahun tanpa kabar, dan sekarang, ia datang mengambil nyawa mamanya.

Baru saja Rivay ingin mengeluarkan segala umpatan di dalam mulutnya, bahunya diusap pelan oleh Tante Vanya, adik Mamanya satu-satunya. Tante Vanya mengusap bahu Rivay berusaha menenangkan. Selama ini, memang hanya Tante Vanya saja yang tahu kalau ia dan mamanya pindah ke kota ini. Kakek dan nenek Rivay telah lama meninggal dunia.

Kalau tidak ingat saat ini ia tengah berada di suasana berduka almarhumah mamanya, Rivay pasti akan mengamuk dengan kalap. Rivay menarik napas berkali-kali berusaha menenangkan diri. Sangat susah rasanya. Tapi ia terus berusaha untuk meredam emosinya. "Anda jahat," ucap Rivay pelan menusuk.

Selama proses pemakaman pun Rivay sama sekali tak menganggap kehadiran papanya. Karena Tante Aya sekarang sudah pergi, Om Rizal mengajak Rivay untuk kembali tinggal bersamanya. Tentu saja hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh Rivay. Segala macam bujukan telah Om Rizal keluarkan. Tapi tetap saja Rivay bersikeras tak mau tinggal bersamanya. Memandang wajah papanya pun ia tak mau. Saat Om Rizal berusaha menjelaskan mengapa ia baru datang sekarang, Rizal sama sekali tak mau mendengarnya.

Om Rizal hampir putus asa dibuatnya. Untung saja ada Tante Aya yang menenangkannya. Tante Aya menawarkan Rivay agar untuk sementara, selagi menenangkan diri, untuk tinggal dulu bersamanya. Akhirnya, Rivay pun menerima tawaran tersebut. Karena satu-satunya keluarga yang ia punya sekarang hanyalah Tante Rizal beserta keluarganya, selain Om Rizal yang sudah sangat dibenci Rivay sekarang. Setahu Rivay, mamanya meninggal karena kecelakaan mobil yang dikendarai papanya.

Drrt drrt. Getaran ponsel Rivay kembali membawanya ke masa kini. Ia melirik malas ke layar ponselnya. Tapi seketika wajahnya berubah cerah saat tahu ternyata ada pesan masuk. Dari Fayra.

Fayra: Belom.

Lalu selang beberapa detik, kembali masuk pesan dari pengirim yang sama.

Fayra: Eh tapi ngapain nanya2 sih? Kalo gw baca pesannya berarti gw belum tidur, yakali gw tidur bisa baca pesan yg masuk.

Rivay tersenyum setelah membaca balasan Line dari Fayra. Sejenak ia lupa akan semua rasa sakitnya. Meskipun pada awalnya ia bilang suka pada Fayra hanya spontanitas saja, tapi bukan berarti ia main-main akan ucapan tersebut.

***

Fayra mengibas-ngibaskan tangannya tepat di hadapan wajah, berusaha mendapatkan sedikit angin atas panasnya siang ini. Keringat mengalir deras dari pelipisnya. Saat ini, ia sedang duduk selonjoran di pinggiran lapangan basket bersama beberapa teman kelasnya yang lain. Ia capek karena dari tadi tidak berhasil terus memasukkan bola basket ke dalam ringnya.

Di lapangan, terdapat para murid laki-laki sedang sibuk memperebutkan bola besar berwarna orange tersebut untuk di masukkan ke dalam ring lawan. Lapangan didominasi oleh kaum adam, sementara para perempuannya sudah menepi di pinggir lapangan.

"Chesta, gue capek...," keluh Fayra kepada Chesta yang duduk di sampingnya.

"Sama," jawab Chesta sambil mengelap keringat yang mengalir di dahinya.

"Gue kesal."

"Kenapa?"

"Bolanya gak mau masuk-masuk pas gue lempar ke dalam ring."

"Itu mah de-el, derita lo," ucap Chesta sambil ketawa setan.

"Jahat!" Fayra mengerucutkan bibirnya sebal.

"Aduh, jangan ngambek dong. Jelek. Entar kalo ada Kak Regan lewat, terus ilfeel sama elo, gimana?" goda Chesta sambil mentoel-toel pipi Fayra.

"Mana Kak Regan?" Fayra segera membenarkan posisi duduknya menjadi duduk bersila. Punggungnya tegap dan matanya segera jelalatan melihat sekitarnya.

"Di kelasnya-lah."

"Tadi katanya ada Kak Regan?"

"Siapa yang bilang?" tanya balik Chesta.

"Elo."

"Haduh. Kan tadi gue bilang kalau Kak Regan lewat. Ka-lau," ucap Chesta sebal dengan penekanan di setiap suku kata terakhirnya.

"Ooohh," ucap Fayra kembali gak bersemangat. "Gue haus...," sambung Fayra.

"Nih."

Fayra menatap kaget ke sebuah botol air mineral dingin yang tepat berada di depan wajahnya. Ia memundurkan wajahnya sedikit untuk melihat siapa yang menjulurkan air mineral itu kepadanya.

Rivay. Ia berdiri dengan gantengnya di depan Fayra. Kaus olahraganya basah karena keringat. Sehingga kausnya menempel dengan sempurna di badannya yang bagus itu. Meskipun badannya Rivay belum berbentuk kayak roti sobek, tapi bisa dibilang badannya oke punya.

Rambutnya juga agak basah, mungkin juga karena keringat. Hal tersebut malah makin membuat penampilannya tambah keren. Rivay menampilkan senyum mautnya yang mampu membuat para cewek di sekitar Fayra terpekik tertahan. Rivay sih yakin pasti air mineralnyan bakal langsung diterima sama Fayra. Ya, siapa tahu bisa berlanjut dengan obrolan ringan, mengingat chat-nya semalam tidak dibalas lagi setelah Rivay kembali mengirim pesan.

"No, thanks." Fayra melengos dan malah menatap pura-pura tertarik ke arah lapangan yang sudah kosong, para cowok yang tadi bermain kini sudah mulai bubar.

Rivay memasang muka melasnya yang langsung membuat para cewek di sekitarnya pengen nyubit pipinya itu. Gemas! Rivay cute banget dengan tampang kayak gitu. Tapi tetap cute dengan gantengnya kok. Eh?

"Ya udah, kalau Fayra-nya gak mau, buat gue aja." Chesta dengan girang ingin menggapai botol air mineral itu. Tapi, kalah cepat dengan Fayra yang cepat-cepat meraihnya.

"Thanks," ucap Fayra singkat lalu segera menenggak air mineral itu.

"Tadi katanya gak mau," goda Rivay sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Kan tadi."

"Bagi dong Fay," pinta Chesta.

"Nih." Fayra menyodorkan botol tersebut dengan isi yang hanya tinggal beberapa tengguk.

"Haus ya, Non?" sindir Chesta.

"Emang."

Rivay ikut duduk selonjoran di samping Fayra. "Gak bisa main basket, ya?" ledek Rivay. Ia tadi memang melihat Fayra yang gagal terus memasukkan bola ke dalam ring. Di kasih tiga kali kesempatan, eh malah gak satu pun yang berhasil masuk.

"Emang situ bisa?" tantang Fayra yang jelas-jelas ia sudah tahu jawabannya. Ia tadi lihat kok kalau Rivay jago main basketnya. Ia juga bisa memasukkan semua bola ke dalam ring dengan tiga kesempatan yang diberikan. Dasar Fayra-nya aja yang gengsi, tuh!

"Bisa dong," bangga Rivay.

"Masukin sepuluh bola dalam sepuluh kali kesempatan, bisa?"

"Bisa," jawab Rivay pede. "Tapi kalau gue bisa, elo harus jalan sama gue entar malam, gimana?" kini balik Rivay yang menantang Fayra.

"Oke," jawab Fayra langsung. Fayra pikir, meskipun Rivay lumayan jago mainnya, tapi tetap kecil dong kemungkinannya bisa masukin semua bolanya tanpa bolong satu pun. Iya, kan?

avataravatar