Pagi ini Zahra begitu rewel tidak mau ditinggal Naira, melihat penampilan Naira yang sudah sangat rapi membuat Zahra ingin ikut dengannya. Nisa sudah membujuk bocah kecil itu dan memberinya pengertian, tapi mungkin namanya bocah kecil sehingga tidak bisa benar-benar paham.
"Sudah, kamu pergi saja sekarang! Jangan sampai terlambat."
"Jangan!" Jerit Zahra.
"Tidak masalah, sana pergi."
Naira lantas berlalu dengan berat hati meninggalkan adiknya itu, Naira berusaha tak perduli dengan tangisan Zahra. Bukankah Naira sudah berjanji tidak akan telat datang, apa lagi ini hari pertamanya bekerja dan sangat tidak mungkin jika Naira terlambat.
"Aku sudah rapi kan." Gumam Naira yang bercermin dikaca mobil seperti sebelumnya. Naira tersenyum karena sekarang tidak ada lagi yang terlewatkan, bibirnya sudah cantik dengan warna pink itu, Naira hanya perlu merapikan sedikit rambutnya saja.
"Sepertinya aku harus memakai sedikit poni, kening ku terlalu luas jika bebas seperti ini." Naira terkiki sendiri karena ucapannya, itu benar sekali sepertinya Naira akan memotong sedikit rambut untuk hari esok. Naira mengangguk dan kemudian berjalan lagi, tapi seseorang memanggilnya dari belakang.
"Kenapa singkat sekali?"
Naira berbalik, masih sampai saat ini Naira dikejutkan oleh sosok lelaki yang sama. Naira menunduk sejenak, apa lagi sekarang, Naira bercermin di kaca mobil atasannya lagi.
"Kamu benar-benar datang tepat waktu?"
"Bapak? Ini mobil Bapak? Kemarin...."
"Mobil yang kemarin masuk Bengkel, jadi saya harus pakai ini dulu."
Naira mengangguk seraya berpaling, apa itu artinya mobil bosnya itu banyak. Waahh memang orang kaya, sepertinya hartanya tidak akan habis sampai 22 turunan.
"Mau berangkat bareng saya?"
"Hah?!"
"Selama bekerja, kamu akan selalu bersama saya. Tidak ada salahnya sekarang kamu bareng saya."
Niara sedikit mengangguk, mungkin benar karena Naira belum tahu seperti apa sistem kerjanya. Mobil melaju setelah Naira duduk di samping bosnya, Naira memainkan jemarinya tak tahu harus bicara apa untuk mengisi perjalanan mereka.
"Kamu akan lelah dan pusing bekerja."
"Emmm, Pak. Maaf ya, tapi nama Bapak siapa?"
Lelaki disamping Naira justru terkikik mendengar pertanyaan Naira, bagaimana bisa seperti itu padahal kemarin mereka sudah bertemu. Naira jadi semakin bingung dengan dirinya sendiri, tapi biarlah lagi pula Naira memang tidak tahu nama lelaki di sampingnya itu.
"Jadi, siapa?"
"Saya Zian, Zian Narendra."
"Emmm," sahut Naira seraya mengangguk berulang kali, ah akhirnya Naira tahu siapa bosnya itu. Naira menoleh ketika Zian meraih ponselnya yang berdering, ekspresi Zian berubah seketika setelah tahu siapa yang menghubunginya itu.
"Ada apa?" tanya Zian.
Naira merapatkan bibirnya, apa ada masalah, dan apa Naira akan dilibatkan dalam masalah tersebut. Zian mengatakan jika Naira akan selalu bersama Zian mulai hari ini, mungkin saja Naira akan terlihat dalam segala hal tentang Zian.
"Benarkah?" gumam Naira.
"Jangan sakiti, saya akan ke sana sekarang!"
Naira kembali menoleh ketika ponsel itu kembali disimpan, Naira ingin bertanya jika mungkin ada masalah yang terjadi pada Zian.
"Kamu tidak keberatan jika ikut saya dulu?"
"Ikut kemana?"
"Nanti kamu tahu."
Naira hanya mengangguk saja, terserah saja lagi pula Naira pergi bersama bosnya sendiri sehingga tidak akan ada yang marah jika terlambat ke kantor. Lama berselang mobil Zian berhenti di parkiran Rumah Sakit Jiwa, jelas saja itu membuat Naira bingung, untuk apa Zian datang ke tempat seperti itu.
"Naira, kamu bisa ikut saya kalau kamu mau."
"Tapi, Bapak mau apa ke sini?"
"Kalau tidak mau, sebaiknya kamu diam di mobil jangan kemana-mana!"
Naira kembali hanya bisa mengangguk saja, melihat Zian yang pergi meninggalkannya itu membuat Naira takut sendiri. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang gila yang mengganggunya, Naira bergidik dan segera keluar lantas berlari mengejar Zian, bukankah tadi Zian sudah mengajaknya, pasti tidak akan masalah jika Naira mengikutinya.
"Dimana?" Tanya Zian pada salah satu perawat yang ditemuinya. Zian diarahkan ke belakang Rumah Sakit, dan Naira membuntut saja tanpa berani berbicara.
"Di sana, Pak." Ucap perawat seraya menunjuk. Zian dan Naira melirik bersamaan, mereka melihat seorang wanita yang tak lain pasien Rumah Sakit tersebut. Tiga perawat disana tampak kerepotan mengurus satu pasien tersebut, Naira semakin tak mengerti karena Zian yang berlari dan meraih wanita gila itu dalam dekapannya.
"Permisi, Bu." Ucap perawat yang hendak meninggalkan Naira, tak mau mati penasaran Naira menahannya dan bertanya siapa wanita yang dipeluk Zian disana.
"Beliau Ibu dari Pak Zian."
"Ibu?"
"Sudah satu tahun Bu Jihan jadi pasien di sini, dan sampai sekarang belum ada perubahan sama sekali."
Naira mengernyit, kenyataan apa yang diketahui Naira kali ini. Naira kembali menatap Zian disana setelah perawat itu meninggalkan Naira, Zian terlihat begitu sedih dengan keadaan Jihan.
"Permisi, Bu. Tolong berikan jalan." Ucap perawat yang hendak lewat. Naira melipir untuk memberikan jalan, sesaat Naira menatap Zian yang jalan seraya merangkul Jihan. Tapi satu detik kemudian Niara merinding karena Jihan justru menatapnya, meski berjalan semakin jauh tapi Jihan terus saja menatap Naira di belakang sana.
Hingga akhirnya Jihan menghentikan langkahnya dan langkah mereka semua, Naira seketika berpaling ketika mereka semua menatapnya sama seperti Jihan.
"Ayo, Mama." Ucap Zian.
"Kaira," gumam Jihan yang seketika itu berkaca-kaca. Zian memicingkan matanya menatap Jihan Naira bergantian, Jihan mengangkat kedua tangannya perlahan menyambut Naira untuk mendekat, tapi Naira tidak menyadari itu karena masih memalingkan pandangannya.
"Kaira."
"Mama, sudah. Ayo ke kamar."
"Siapa wanita itu? Kenapa dia bisa menarik perhatian Bu Jihan?"
Pertanyaan perawat itu dijawab Zian dengan mudah, Zian menjelaskan siapa Naira sebenarnya dan itu bukanlah keluarga Zian. Jihan berjalan perlahan kembali pada Naira, sontak saja itu membuat Naira terperanjat dari tempatnya berdiri.
Naira takut jika Jihan akan menyakitinya, bukankah orang gila itu lebih menyeramkan. Naira menelan ludahnya seret, apa Naira sudah menyinggung perasaan Zian karena memilih menjauhi Jihan.
"Pak, saya...."
"Kaira," ucap Jihan bergetar.
Naira kembali diam menatap heran pada Jihan, siapa Kaira, Naira tidak mengerti itu. Jihan mengayunkan tangannya perlahan meminta Naira untuk mendekat, tapi Naira enggan menurutinya hingga perawat itu meyakinkan Naira jika Jihan tidak akan menyakitinya sama sekali.
"Kaira," ucap Jihan.
Masih dengan ragu Naira melangkahkan kakinya mendekati Jihan, satu detik saja pergerakan Jihan telah berhasil mengunci Naira dalam pelukannya. Naira sempat menjerit kecil dan berusaha melepaskan pelukan yang begitu erat ditubuhnya, namun dengan sengaja Zian menahannya, Zian memintanya diam saja sampai Jihan sendiri yang melepaskan pelukannya nanti.
"Jangan.... Jangan tinggalkan Zian lagi, jangan tinggalkan Mama." Ucap Jihan yang akhirnya menangis dengan memeluk Naira.