webnovel

Sia-Sia

Aku memegang keningku sambil mengscroll chat BBM tanpa tahu apa yang ku lihat. Rio pasti marah dan gue gak bisa paksa dia buat yakinin Mama agar gue bisa ikut touring sama anak-anak Photografi. Akh!

 

"Kenapa?" kata Alvin tiba-tiba.

 

"Enggak."

 

"Kamu pikir itu dari Rio?"

 

"Bukan."

 

"Tapi, apa yang kamu pikirkan ada Rio-nya kan?"

 

Aku memutar bola mata, lalu menatapnya tajam, "gak usah sok bisa baca pikiran orang deh!"

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mama, Aku kan udah besar. Aku bisa kok jaga diri sendiri. Boleh ya, ikut tour ke puncak. Sekali iniii aja! Janji deh.

 

 

Nagita.

 

"Apa maksud kamu tempel surat ini di kaca rias Mama" aku menatap Mama dan kertas di tangannya sebentar kemudian menunduk kembali.

 

"Nagita, Mama kan sudah bilang-"

 

"Pokoknya kalau gak boleh ikut, aku akan mogok makan!" potongku membuat Mama terbelalak.

 

"Berani yah kamu ancam Mama?!" bentak mama.

 

"Ng—nggak, Ma," ucapku menciut.

 

"Pokoknya, Mama gak akan ijinin kamu pergi sendiri!" tegas Mama. "Oh, ya. Uang yang Papa kirim ke kamu juga Mama sita sampai Tour itu berlangsung."—Aku tetbelalak—"takutnya kamu menggunakan itu untuk nekat."

 

"Mamaaa...." rengekku.

 

"Gak ada negosiasi." Mama beranjak dari sofa dan melangkah ke kamar. Aku duduk bersila dan melipat tangan di depan dada, juga memanyunkan bibirku.

 

Sia-sia usaha gue ngedeketin Alvin!!! Kesalku dalam hati.

 

Besoknya, aku berangkat sekolah sendiri. Rio tidak datang ke rumah untuk menjemput, Alvin ku tolak ajakannya dengan alasan takut dia telat. Jujur saja, aku tak mau di bilang orang yang berprinsip 'Tak ada rotan, akar pun jadi'. Gak ada Rio, masih ada Alvin. Gila, kaya cabe gue kalo di pikir-pikir.

 

"Ta, gimana?" tanya Marry memasuki kelasku. Dia kelas dua belas IPA.

 

"Gak tau," ucapku malas.

 

"Kok gak tau?" kaget Marry duduk di kursi depanku secara terbalik, agar berhadapan denganku. "Nasib anak-anak ada pada keikut sertaan lo!"

 

"Iya, gue tau."

 

"Gimana dong?!" pasrah Marry.

 

"Guru, weh, Guru!!!" seorang siswa lari menuju kursinya. Merry segera keluar kelas dan aku menyiapkan buku yang di perlukan di jam pertama.

 

"Selamat pagi, Anak-anak."

 

"Pagi, Buuu."

 

"Rio gak masuk yah, hari ini?!" tanya Bu Mira. Guru IPA yang satu kompleks denganku.

 

Aku tersentak ketika tatapan Bu Mira ke arahku. "Ah, ng-nggak tau, Bu. Telat mungkin."

 

"Loh, kamu kan tetangga dengan Rio. Dia gak kasih tahu kamu kenapa dia gak masuk?" -Aku menggeleng- "semalam dia telpon ibu, dia bilang ada di rumah sakit dan ijin tiga hari gak masuk.

"Suaranya lemas." lanjut Bu Mira berhasil membuat mataku terbuka lebar.

 

Pikiranku kacau! Aku sudah tak bisa mendengar apa-apa lagi, hanya hentakan sepatuku yang terlintas di telinga. Padahal, banyak orang-orang berlalu-lalang di sini. Langkahku tertuju pada satu tempat. Resepsionist. Sesampainya di sana. Aku menanyakan pasien bernamakan Mario Aditya, namun sang reseptionist bilang gak ada pasien bernama Rio. Takut salah atau kelewat, aku menyuruh Mbak-Mbak itu mengecek nya kembali. Tapi, nihil.

 

Padahal, apa yang diucapkan Bu Mira adalah rumah sakit ini

 

Alhasil, aku berpikir untuk mencarinya sendiri. Berlari di koridor rumah sakit. Melihat isi kamar melalui jendela. Berlari. Bermodalkan percaya bahwa aku akan menemukannya. Rio, gue minta maaf!

 

Sampai ketika aku menemukan orang yang kuncari duduk di kursi tunggu.

 

Dia tertidur.

 

"Rio!" aku menghampirinya.

 

"Rio lo kenapa disini?"-aku mengguncang tubuhnya-"Yo, Rio!"

 

"Engh...." Rio mengucak matanya. Ia membenarkan posisi duduknya.

 

"Yo, lo kenapa di sini? Seharusnya lo istirahat di dalam." tanyaku panik. Lantas aku menarik tangannya melingkari tengkukku. "Ayo, gue bantu lo ke dalam."

 

Rio melepaskan rangkulannya, "enggak, Ta. Yang sakit bokap gue."—Rio menghembuskan nafas berat—"pulang dari Ausie, Papa ambruk dan gue bawa ke sini."

 

 

"Jadi, lo…."

 

"Gue sehat. Alhamdulilah," kata Rio.

 

"Tapi, lo kelihatan capek banget, Yo."-Aku memegang pundaknya-"mending lo istirahat. Om Rudi biar gue yang jaga."

 

"Gak apa-apa, Ta. Dia bokap gue, dan gue yang harus ada di depannya saat beliau membuka mata," lirih Rio. "Karena gue gak bisa lagi berdiri di hadapan nyokap gue."

 

Aku tertegun.

 

"Mending, lo balik. Lo belum pulang kan dari sekolah? Bokap nyokap lo pasti nyariin," ucap Rio. "Atau gue telpon Alvin biar lo di jemput."

 

"Enggak, Yo."

 

"Tapi, Ta-"

 

"Enggak." Rio menatap manik mataku yang meyakinkan, lalu membuang nafas pelas.

 

"Yaudah. Terserah lo."

 

*****

 

Beberapa menit kami membungkam. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 4 sore. Aku melirik Rio yang memegang kepalanya pasrah. Raut wajahnya yang seperti ini baru ku lihat sekarang. Aku tidak pernah melihat dia sekhawatir ini akan sesuatu.

 

Apa kalau aku yang berbaring lemah di sana, Dia akan se-khawatir ini?

 

Kadang, aku berpikir. Bagaimana rasanya di khawatirkan seperti Rio mengkhawatirkan Papa-nya. Ketika aku ingin bertukar tubuh dengan orang sakit, aku ingin sakit, lalu memaksa sehat kembali. Karena kesehatan adalah kebutuhan yang paling mahal.

 

Aku menatap Rio iba, "kita makan du-"

 

"Anda keluarga dari Pak Rudi?" tanya seorang suster yang keluar dari kamar nomor 506, tempat Om Rudi di rawat. Lantas Rio berdiri, aku pun ikut berdiri.

 

"Sa—saya, Saya anaknya, Sus."

 

"Kalau begitu, Anda sudah bisa menjenguk beliau."

 

"Papa saya sudah siuman?"

 

"Belum. Dia hanya bergumam dengan mata yang masih tertutup."

 

Sekilas Rio memasuki kamar rawat itu, sang suster pun pergi entah kemana. Aku, mungkin akan tetap di sini membiarkan Ayah dan anak itu berada dalam atmosfernya. Teringat sesuatu, segera aku merogoh Rancelku dan mengeluarkan ponsel. Membuka kunci lalu mencoba mencari kontak sesorang yang ingin ku hubungi. Setelah tersambung aku mendekatkan alat komunikasi itu ke telingaku.

 

"Halo," sapaku.

 

*****

 

 

 

 

"Aku bisa saja melakukannya. Tapi, kamu harus bisa memenuhi sesuatu yang aku minta," kata Alvin seraya mengunyah kentang goreng yang ia pesan sepuluh menit yang lalu.

 

"Apa?"

 

"Kamu kamu harus dapat nilai 9 pada Matematika dan kita jalani rencana." Aku mendelik syarat macam apa itu?

 

"Lo bercanda?"

 

"Keliatannya?"

 

Dasar! Mentang-mentang aku lemah pelajaran Matematika.

 

"Bagaimana?" tanyanya memakan kentang gorengnya kembali.

 

Aku menyeruput lemon tea yang tinggal setengah gelas, "tapi kalo gue gak berhasil?"

 

"Pasti akan berhasil, karena aku yang mengajarimu."

 

"Apa?"

 

"Apa ada yang kurang?"

 

Aku membuang nafas berat, "lo itu aneh atau idiot, Sih? Lo yang kasih syarat tapi lo yang bantu gue memenuhi syarat itu. Semua rencana yang lo buat itu 95% menguntungkan gue."

 

"Kalau gitu aku bisa merubah syaratnya, jika kamu mau di rugikan." tawar Alvin mengangkat sebelah alisnya.