webnovel

My wife is a boy

Algis dengan terpaksa menuruti kemauan ibunya. Ia dipaksa menggantikan Ajeng kakaknya untuk menikah. Dikarenakan Ajeng kabur meninggalkan rumah ketika hari pernikahan. Algis seorang pemuda yang manis harus pura pura menjadi pengantin wanita demi menyelamatkan nama baik keluarganya. lalu bagaimana cerita selanjutnya??? apa yang terjadi setelah itu?? apa yang terjadi ketika ajeng kembali dan meminta calon suaminya yang sempat ia tinggalkan

Solandra · LGBT+
Not enough ratings
102 Chs

Tubuh ingin tapi logika tidak

Tepuk tangan riuh penonton menyambut, setelah Algis dan sekelompok pemuda menyelesaikan penampilan mereka. Algis tersenyum malu-malu dia mendapat banyak teriakan kagum dari penonton, terutama para gadis-gadis remaja yang entah sejak kapan saat ini sudah mengeliling si manis. Mereka dengan sopan meminta izin pada Algis untuk minta foto bersama.

Sebenarnya Algis merasa tidak nyaman. Dia merasa bukan seorang artis, jadi buat apa minta foto bareng. Sepertinya Algis tidak tau, kalo jaman sekarang tidak perlu bermain dalam sebuah drama film atau menjadi penyanyi yang masuk dapur rekaman untuk menjadi seperti selebritis. Di era digital seperti sekarang ini, semua orang bisa terkenal. Bisa populer, jika dia menarik perhatian masyarakat dengan kreatifitasnya.

"Kak...minta foto bareng ya kak"

Kata salah satu gadis remaja. Gadis itu meminta temannya untuk membantu mengambil foto dirinya dan Algis. Gadis itu mendekatkan diri, merapat pada tubuh ramping Algis hingga tak ada jarak lagi antara mereka. Baju mereka bergesekkan, lengan mereka tanpa sengaja bersentuhan.

Tak jauh dari mereka berdiri, ada sorot mata elang menatap tajam kearah mereka. Bentuk tatapan tak suka.

Panji melonggarkan dasinya. Tiba-tiba dia merasa sesak dan gerah. Ia lalu berjalan cepat ke arah Algis. Kaki panjangnya melangakah, mendekati si manis yang masih sibuk berfoto dengan gadis-gadis remaja.

"Sreettttt"

Algis tersentak saat di rasakanya seseorang menarik lengannya menjauhkan dirinya dari kerumunan gadis.

"Mas..." Lirih Algis. Dia bingung. Kali ini Panji menarik lengannya agak kuat, membuat pergelangan tangannya lumayan sakit.

"Ayo..pulang!" Kata panji dingin.

Ia menarik lengan Algis meninggalkan tempat itu. Algis sedikit terseret karna menyesuaikan langkah pria dewasa di depannya. Dibandingkan dengan kakinya, jelas kaki Panji lebih panjang langkahnya pun lebih lebar. Tak heran jika Algis kepayahan mengimbangi langkah Panji.

Semua mata memandang heran ke arah mereka berdua. Begitupun dua pria dewasa lainnya, Radit dan Bastian. Mereka berdua juga heran, melihat Panji tiba-tiba mengajak Algis untuk pulang.

"Baby...ayoo waktunya untukmu pulang juga"

Kata Radit di sela kebingungan Bastian. Sejak di kampus, dia tidak mengerti ada hubungan apa antara pria dingin itu dengan sahabatnya.

"Baby...ayoo pulang" Ajak Radit lagi. Kali ini yang diajak bicara menoleh. Namun, menoleh dengan tatapan ingin membunuh.

"Jijik tau gak gue dengernya. Sialan!!!!"

Umpat Bastian. Lalu berjalan menjauh meninggalkan Radit. Dia mau pulang. Dan tidak sudi pulang diantar oleh orang menyebalkan.

"Baby...lo gak bisa pulang sendiri dompet lo sama gue" teriak Radit.

Bastian menghentikan langkah kakinya, meraba saku belakang celananya. Dan benar saja, dompetnya raib.

"Arrrrggghhhh" Bastian kesal setengah mati. Dan Radit hanya nyengir, memamerkan deretan gigi rapinya dengan ekpresi tak berdosa.

Panji menambah kecepatan laju mobilnya.Tatapan matanya lurus ke depan. Fokus pada jalan raya. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah samping. Di samping kursi kemudi, ada Algis duduk dengan raut wajah bingung. Dia tidak berani melihat ke arah pria di sampingnya. Terlalu horor. Menakutkan. Dia tidak pernah melihat wajah Panji datar dan dingin seperti itu.

Mobil melesat dengan cepat. Semakin Panji menambah laju kecepatan mobil, Si Manis semakin dalam menekuk kepalanya. Ia tertunduk takut. Menautkan jemarinya, meremas celana jeans yang ia kenakan. Dia tidak merasa nyaman. Kepalanya bekerja keras memikirkan kesalahan apa yang ia perbuat, sampai membuat Panji terlihat tidak suka. Namun, tetap saja dia tidak mengerti. Ingin bertanya, tapi dia terlalu takut. Untuk sekedar menggeser duduk saja dia tidak berani.

Suasana hening tidak ada yang bicara. Mereka tetap saling membisu hingga sampai di rumah. Sesampainya di pelataran rumah, mobil berhenti. Panji turun dari mobil, lalu Ia berjalan ke arah pintu penumpang. Panji membuka pintu mobil dan meraih tangan Algis. Masih membisu. Masih dengan ekspresi wajah dingin, Panji kembali menarik Algis masuk ke dalam rumah. Mereka berdua bahkan melewati Bu Rina, yang kebetulan juga baru sampai di rumah. Wanita itu baru saja mau menyapa putranya dan juga Algis, namun kalimatnya tak jadi keluar dari bibirnya. Panji dan Algis berlalu begitu saja melewati dirinya, seakan tidak terlihat di mata dua pemuda itu.

Panji membuka pintu kamarnya. Membawa Algis masuk ke kamarnya. Dan dengan kasar, dia menghempaskan tubuh ramping Algis ke atas tempat tidur. Si manis tersentak. Raut wajahnya takut bercampur bingung. Baju yang sedari tadi belum sempat ia kancingkan, semakin terbuka. Memerkan saparuh bahunya yang putih dan mulus.

Panji melangkah mendekati Algis. Ia melepas dasinya melemparkanya sembarangan. Pria bertubuh atletis itu naik ke atas tempat tidur dan menghampiri si manis. Mengungkung tubuh kecil itu di bawahnya, menghimpit si manis dalam rengkuh lengannya yang kekar.

Algis terkesiap matanya mengerjap. Apa yang terjadi dengan pria yang saat ini berada diatasnya.

Panji saat ini tidak sedang bermimpi. Dia juga tidak sedang mabuk berat. Saat ini, Panji sadar seratus persen. Dia sadar dengan apa yang akan ia lakukan. Dia sadar, siapa orang yang saat ini ada di bawahnya. Yang dihimpitnya saat ini adalah Algis. Pemuda manis yang terpaksa berpura-pura menjadi istrinya, demi nama baik keluarga. Algis itu pria!. Bukan seorang gadis!. Akal sehat Panji berteriak memberi peringatan. Namun, teriakan akal sehatnya tak cukup mampu membendung gelora yang sejak tadi menyiksanya.

Entah setan mana yang selalu merasuki raganya. Panji selalu terkesima. Liurnya seakan-akan menetes, tiap kali melihat Algis memamerkan leher jenjang dan bahu putihnya. Panji menelan ludah. Aroma tubuh si manis menyeruak masuk ke hidung, membuat Panji tak tahan lagi untuk menyapa leher putih di bawahnya itu.

Perlahan Panji menurunkan wajahnya ke arah perpotongan leher jenjang Algis. Hidung mancung dan bibir tipis itu mendarat lembut menyentuh kulit halus Algis. Si manis memejamkan mata saat merasakan sentuhan lembut mengecup kulit lehernya .Ia tak menolak. Tak mampu menolak, lebih tepatnya. Ada rasa aneh yang menjalar disekujur tubuhnya, tiap kali Panji menyentuhnya.

Algis memiringkan wajahnya, memberi akses bibir Panji untuk mengecupi lehernya berulang kali. Deru nafas keduanya beradu. Jantung mereka berdetak dengan cepat. Perlahan, Panji mengangkat wajahnya. Menatap wajah manis pemuda di bawahnya sebentar. Kedua mata mereka bertemu saling tatap Hembusan nafas hangat Panji menerpa wajah Algis, pemuda manis itu menatap panji dengan sayu. Wajahnya terasa panas. Pipinya memerah seperti tomat.

"Lain kali tidak boleh memamerkan ini ke orang lain" kata Panji dengan suara pelan, sambil menunjuk bahu Algis dengan telunjuknya.

Nafas Panji mulai berat. Matanya memandangi bibir mungil Algis. Dengan perlahan, Panji meraih bibir mungil itu menggunakan bibirnya. Ia mencium bibir ranum itu dengan lembut. Mengulumnya, memanggut bibir bawah si manis. Jika sebelumnya Algis hanya diam pasif menerima, sekarang tidak lagi. Nalurinya menuntunnya untuk membalas ciuman Panji yang memabukkan.

Bibir mungil Algis memanggut bibir atas Panji. Ia menggit lembut dan mengisapnya. Bibir mereka saling bertaut, bertukar saliva. Si manis mulai terengah. Nafasnya tersenggal. Ia membuka mulut untuk bernafas, meraup oksigen dengan rakus. Namun hal itu justru digunakan Panji untuk memasukkan lidahnya kedalam mulut Algis. Ciuman mereka semakin panas. Yang awalnya hanya lumatan lembut, kini berubah menuntut.

"Ugh...."

Lenguhan kecil lolos dari bibir mungil Algis, saat tangan Panji menelusup masuk ke kemeja besar miliknya. Jemari Panji mengelus lembut perut datar Algis.

Bibir mereka masih saling bertaut. Tangan Panji meraba menelusuri pinggang ramping si manis. Algis membusungkan dada ada rasa yang tak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.

Mereka berdua semakin larut dalam ciuman panas. Algis tidak mengerti apa yang dia rasakan saat in.Yang dia tau,setiap sentuhan Panji mampu membuat tubuhnya memberi respon yang aneh. Ada rasa gugup, rasa suka cita, ada rasa panas, dan ada rasa ingin lebih. Tubuhnya menginginkan sentuhan lebih dari Panji.

Dia tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Belum pernah juga dia menyukai siapapun. Tapi sejak bertemu dan hidup bersama satu rumah dengan Panji, hatinya berdebar jika berdekatan dengan Panji. Dia suka jika disapa pria itu. Dia bahagia jika diperhatikan Panji. Hari-harinya lebih mendebarkan belakangan ini sejak mengenal Panji.

Sambil memanggut panas bibir Algis, tangan Panji dengan cepat membuka kancing yang tersisa di kemeja si ramping.Bibir Panji perlahan beralih menelusuri leher jenjang algis, mengecupi membasahi kulit halus itu dengan salivanya.Aroma tubuh Algis begitu manis membuat panji mabuk ingin sekali memakan orang yang ada di bawah nya sekarang ini.

Puas meraba perut dan pinggang si manis, jemari Panji perlahan naik menyusuri dada Algis. Ia meraba dada Algis dengan lembut. Namun tiba-tiba Panji mengerutkan kening, bibirnya masih sibuk mengecupi leher pemuda manis di bawahnya. Tangannya masih mengelus meraba, seperti mencari sesuatu di sana. Panji semakin mengerutkan kening, hingga membuat alisnya menyatu. Yang dicari Panji tidak ada. Ia menghentikan gerakan tangannya. Seakan dia tersadar dari sesuatu hal, dan mengejutkannya.

Panji mendogak melihat ke arah Algis. Buru-buru ia menjauhkan tubuhnya dari tubuh si ramping.

Gairah yang baru saja memuncak, tiba-tiba menguar begitu saja ke udara. Milik Panji yang tadi sudah mengeras, mendadak terkulai lemas.

"Ma-maaf..." kata Panji dengan suara pelan dan terbata. Ia tidak berani menatap Algis. Dia membuang pandangan ke mana saja, agar tak beradu mata dengan pemuda yang kebingungan di depannya.

Algis bangkit dari posisinya yang terlentang, dan duduk diatas kasur. Ia menunduk melihat bagian dadanya yang sudah terbuka. Perlahan Algis mengancingkan kancing bajunya satu persatu. Melihat dirinya sendiri si manis mengerti. Sekarang dia paham, mengapa Panji tiba-tiba berhenti menyentuhnya.

Dia tau Panji mencari sesuatu yang tidak ia miliki, sesuatu yang hanya dimiliki oleh wanita. Dia bisa mengerti. Algis bisa memaklumi. Walau begitu ada rasa sakit menjalari hatinya, ada rasa kecewa di hatinya. Tapi ia tidak menyalahkan Panji yang salah adalah dirinya sendiri. Kenapa dia mau. Kenapa dia terbawa perasaan. Harusnya dia ingat, disini dia hanya menggantikan kakaknya sementara waktu .Harusnya dia juga ingat dia seorang laki-laki, dan Panji juga seoang laki-laki. Apa yang bisa dilakukan dua orang laki-Laki diatas tempat tidur????!!!!. Algis menyesali kebodohannya.

Algis beranjak dari tempat tidur. Ia berdiri berhadapan dengan Panji. Pria itu masih tak mau memandangnya. Panji mengalihkan pandangannya ke segala arah.

"Algis keluar ya Mas. Mas Panji sebaiknya mandi, sebentar lagi kan makan malam" Kata Algis sebelum ia melangkah keuar dari kamar Panji.

"Gis....." Panggil Panji pelan. Suaranya tercekat, ada rasa khawatir dari sorot matanya.

"Gak apa-apa Mas, lupain aja. Anggap gak terjadi apa-apa" kata Algis sambil mengulas senyum, lalu ia keluar dari kamar.

Panji terduduk lemas dilantai kamarnya, punggung kokohnya bersandar pada pinggir ranjang. Ia merundukkan kepala sambil menjambak rambutnya, frustasi. Ia merutuki dirinya sendiri, menyesali apa yang telah dia lakukan. Bagaimana bisa dia mencumbu Algis seperti itu, dimana akal sehatnya.

Namun tak bisa ia pungkiri, dia memang merasa kesal saat si manis menjadi pusat perhatian orang. Dia tidak suka melihat para gadis menempeli Algis seperti lintah. Dia tidak suka ketika melihat Bastian, bocah itu menatap Algis dengan tatapan mendamba. Dia tak suka!. Dia kesal dan marah. Tapi dia jauh lebih kesal saat menyadari dirinya ingin menyentuh pemuda manis itu. Gak boleh! mulai hari ini tidak akan ia biarkan lagi. Dia akan selalu sadar dan selalu ingat Algis laki-laki. Dan Panji tidak akan menyukai laki-laki. Tidak akan! begitulah pria bertubuh atletis itu berjanji pada dirinya sendiri.

"Tok..tok..tok" suara pintu mengejutkan lamunan Panji.

Ia bangkit berdiri dan membuka pintu.

"Den Panji...waktunya makan malam sudah di tunggu Tuan dan Nyonya"kata Bi Inah.

Panji menganggukkan kepala sebagai jawaban. Sebelum ia menutup pintu kamarnya di pandanginya sebentar pintu kamar Algis.

Di ruang makan sudah ada Pak Suryadi, Bu Rina dan Algis, mereka sedang membicarakan sesuatu.

Panji menarik satu kursi lalu mendaratkan bokongnya di kursi meja makan. Dia berusaha tenang, namun masih enggan memandang ke arah si manis.

Bu Rina yang melihat kejadian sore tadi jadi ikut merasa tak nyaman, Ia merasakan aura canggung dingin tidak seperti biasanya. Bu Rina tau Panji bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi makan malam kali ini kenapa terasa berbeda.

"Apa kalian sedang bertengkar?"tanya Bu Rani ahirnya.

"Ada apa Panji..." kali ini Pak Suryadi yang bicara.

"Gak ada apa-apa Ma, Pa.." Jawab Algis sambil tersenyum manis.

"Kalian tidak boleh bertengkar lusa adalah resepsi pernikahan kalian, ehmm maksud Mama resepsi pernikahan Panji yang seharusnya dengan Ajeng"

Mendengar itu Algis tercekat, makanan yang baru saja ia suapkan ke mulutnya seakan berhenti di tenggorokan. Satu fakta yang harus ia ingat dan ia sadari. Dirinya bukan siapa-siapa di rumah ini, dia hanya pemeran pengganti. Pemeran pengganti adalah seseorang yang akan melakukan adegan berbahaya, yang tidak bisa di lakukan aktris seseguhnya. Mau sehebat apa pun pemeran pengganti tetaplah pemeran pengganti, ia tidak akan dikenal. Penonton akan tetap mengelukan si artis.

"Oh ya Algis..sodara Papa dari Melbourne besok datang ke indonesia. Tolong ya untuk sementara kamu tidur di kamar Panji mulai besok, karna kamar kamu akan di pakai untuk mereka" kata Bu Rina.

Mendengar itu Panji tersedak makanannya hingga terbatuk-batuk.

Semua mata memandang ke arahnya heran.

"Ma...kita punya hotel bintang lima, kenapa mereka gak nginep aja di hotel" Protes Panji.

"Ji..mereka sodara Papa dari jauh lama gak ketemu. Kalo menginap di hotel mereka gak mau, karna waktu berkumpul dengan kita berkurang"

"Ya kan ada kamar lain Ma..rumah kita kan besar"

"Emangnya sepupu kamu kalo di sini,mau tidur di kamar lain selain kamar yang di tempati Algis?. lagi pula setau mereka gak ada masalah sama pernikahan kamu. Jadi sementara kalian harus tidur bersama. Gak ada pengantin baru yang tidurnya terpisah ji. Jangan buat mereka curiga" Jelas Bu Rina panjang lebar.

Panji membuang nafas kasar. Algis menundukkan kepala, tiba-tiba nafsu makannya hilang perutnya terasa penuh.

"Ma Pa..Algis udah kenyang..Algis mau ke kamar duluan ya mau istirahat"

Pamit si manis dengan suara pelan dan masih merundukkan kepala. Ia tak berani menatap siapa pun. Dengan langkah tergesa Algis meninggalkan meja makan yang mendadak jadi hening.

Pak Suryadi dan Bu Rina saling pandang tak mengerti. Panji menatap khawatir ke punggung kecil yang mulai menjauh dari pandangan matanya.

Dalam gelap malam Algis duduk mematung di sudut jendela kamarnya, ia melamun menatap lekat-lekat langit malam. Tak ada bintang tidak ada sinar bulan, langit tampak gelap gulita seakan tau kegundahan yang Algis rasakan.

Mengapa sekarang tak sama lagi rasanya. Mengapa ada rasa sakit di dadanya. Bukankah sebelumnya baik-baik saja, bukankah sebelumnya dia bisa memerankan perannya tanpa ada rasa beban. Tiba-tiba Algis merindukan bapak dan ibunya, dia ingin pulang ingin memeluk ibunya untuk mencari ketenangan. Peluk kasih ibunya pasti bisa membuat hatinya tak merasakan seperti ini.

Dua minggu dia melewati waktu di dalam rumah besar ini. Bukan waktu yang lama, namun walau hanya dua minggu mampu membuat ia merasakan banyak hal. Merasakan jantungnya berdebar, merasakan nyaman ada di dekat seseorang.

Esok dia akan kembali menjadi pemeran pengganti, menggantikan kakaknya. Menjadi istri seseorang. Dia akan kembali menjadi seorang gadis yang manis. Menyembunyikan jati dirinya, menyembunyikan siapa dirinya di depan semua orang. Kenapa kali ini begitu sesak, meski hanya membayangkan saja.

Tanpa Algis sadari buliran bening mengalir di pipinya yang halus. Dengan pungung tangannya Algis menyeka air mata di pipi. Ia mendesah pasrah, mungkin sudah jalan yang harus dia lalui melewati getir yang harus ia kecap.

Begitulah hidup ada kalanya harus merasakan pahit dulu untuk merasakan manis, namun mungkinkah ada manis untuknya?? tak ada yang tau. Siapa yang tau masa depan karna manusia sejatinya hanya bisa berencana, sang penguasa langit dan bumi lah yang menentukan.

Bersambung.....