webnovel

MY SWEET LECTURER

Beberapa mahasiswi sangat mungkin jatuh hati pada sang dosen, apalagi kalau si dosen tersebut udah akademisi juga praktisi di bidang bisnis. Udah gitu ganteng, single, kaya raya pula. Nah apa yang akan terjadi pada Isabella Stuart nih, kalau ternyata di kampusnya ada dosen yang ganteng, kaya, single dan jatuh hati padanya??? Romance dewasa ini dikemas dengan alur yg berdinamika dan pasti bikin pengen baca terus teris dan terus lhoooo . . . Dan karena peminat romace ini banyakk maka author mutusin untuk revisi gede2an, biar lebih komplit, lebih greget, dan lebih bikin nagih.

Queenerri · Urban
Not enough ratings
239 Chs

MSL - BAB 26

"Hai." Justin menyapaku saat aku sedang sibuk membantu kru ku melayani pelanggan, meskipun secara teknis aku adalah bos, tapi Christ mengajarkanku bahwa pemimpin tidak harus arogan. Aku bahkan melihat beberapa kali dia bersikap cukup manis pada pekerja atau pelayan di rumahnya, meski saat mereka membuat kesalahan.

"Hai." Jawabku santai.

"Kau tampak bahagia dengan pria kaya itu." Katanya, dan entah mengapa aku masih berusaha bersikap biasa saja.

"Apa aku terlihat seperti itu?" Tanyaku.

"Bagaimana tidak? Dia memberkanmu segalanya." Ujarnya sinis.

"Ada masalah denganmu Just?" Tanyaku sambil meletakkan cangkir di tanganku.

"Tidak." Dia menggeleng, dan tiba-tiba Ze datang menengahi kami. Aku mungkin juga akan mematahkan hidung pria pecundang itu jika dia berani berasumsi macam-macam tentangku.

"Sudahlah, Justin memang sedang kacau akhir-akhir ini." Ujar Ze.

"Oh . . ." Aku berusaha menenangkan diriku.

"Orang tuanya bercerai, adik perempuannya tertangkap polisi karena kasus narkotika dan dia terobsesi padamu, sementara kau jatuh cinta pada pria lain."

Aku mengrenyitkan alisku. "Apa yang dia katakana padamu?" Tanyaku.

"Dia tidak mengatakan apapun, aku hanya tidak sengaja melihat fotomu memenuhi dinding kamarnya saat aku dan Evan pergi ke apartmentnya. Dia mabuk berat dan kami mengantarnya pulang."

"Oh sial." Umpatku. "Aku merasa terancam."

"Justin pria baik, percayalah. Itu hanya obsesinya, dia tidak akan beranti menyakitimu. Lagipula siapa yang bisa melawan Christopher Hudson." Goda Ze, dan entah mengapa aku tersenyum karenanya.

"Kau benar-benar terlahir menjadi Cinderela." Ujar Ze.

"Aku bahkan tak yakin ini nyata Ze."

"Aku melihat cinta dimata pria itu yang begitu besar padamu, jangan membuatnya kecewa."

"Aku harap begitu." Anggukku.

"Aku juga pergi kerumah sakit bersama yang lain saat kau belum siuman, tapi Christ meyakinkan bahwa dia akan memberikan kami kabar setiap saat tentang perkembanganmu. Dia hanya tidak ingin orang lain tahu kondisimu saat itu." Ujar Ze.

"Ya, dia tidak pernah meninggalkanku saat aku sekarat." Entah mengapa rasanya menjadi sedih mengenang hal itu.

"Tadinya aku ragu pada pria bernama Christopher Hudson, tapi saat bicara dengannya di rumahsakit, aku melihat kekhawatiran di matanya. Dia bahkan tampak sangat kacau saat itu."

"Aku tahu."

"Semoga kau bahagia." Ze memberiku pelukan dan aku menjadi emosional hingga hampir menangis.

"Kau selalu bisa ku andalkan Ze."

Ze juga berkaca "Dia memintaku merhasiakan semuanya darimu, saat dia membeli tempat ini dan dengan tenaga professional mengejakan semuanya dalam sehari hingga bisa langsung beroperasi, jadi kami tetap bisa berpenghasilan. Aku bahkan mengagumi kekasihmu itu Bell."

Aku yakin wajahku memerah saat Ze mengatakannya, aku bahkan mengagumi pria itu meski sekarang aku sudah begitu dekat dengannya. Aku tidak menemukan sedikitpun cacat dalam diri pria bernama Christoper Hudson.

Ze meninggalkanku dan aku meraih ponsel dari dalam saku celemekku, kemudian mengirim pesan pada Christ.

*Bagaimana aku harus membalas semua kebaikan hatimu Uncle Christ* Godaku melalui pesan singkat. Dibaca tapi tidak segera dibalas olehnya. Oh, pria itu benar-benar membuatku frustasi. Dengan wajah cemberut kumasukkan lagi ponselku kedalam saku celemek yang ku kenakan.

Brrrttt brrrtttt

Aku menerima pesan singkat dari ponselku saat sedang berjalan menuju meja dengan dua cangkir kopi diatas nampan yang kubawa. Aku tersenyum pada pelanggan dan mengatakan pada mereka untuk menikmati waktu dan kopi yang mereka pesan. Setelah berbasa-basi aku kembali ke belakang meja bar dan membuka ponselku.

*Siapkan gaun tidur terbaikmu malam ini dan jangan berisik* Itu balasan yang sangat nakal menurutku, tapi dia benar-benar membuatku gila. Christopher Hudson.

*Aku akan menggunakan uang hasil ringkasan buku yang kau berikan padaku untuk membeli gaun tidur, dan bersiaplah untuk kekalahanmu mala mini* Balasku, sekali lagi di baca dan tak langsung dibalas. Mungkin dia sedang sangat sibuk dikantornya.

*Transaction success send USD 100.000 to Mss. Isabella Stuart* Balasan darinya datang sepuluh menit kemudian, dan sebelum aku sempat membalas, satu pesan singkat lainnya masuk.

*Kau bisa membeli gaun tidur sesukamu. Aku tidak akan membiarkan kau memakai uangmu, karena mulai sekarang kau menjadi tanggungjawabku* Itu pesan kedua darinya.

*Aku bukan isterimu* Tulisku dan kukirim.

*Aku sedang sangat sibuk sekarang, kita bicara nanti* Itu balasan terakhir darinya. Oh, pria ini benar-benar membuatku gila. Aku ingin sesering mungkin bicara padanya atau berada didekatnya bahkan menggodanya atau jika mungkin aku ingin bercinta dengannya, tapi dia, terkadang dia sangat manja, atau sangat kekanakan, kadang sangat cemburuan dan kadang sangat sibuk. Christ, oh.

***

Setelah jam makan siang aku mengobrol dengan Ze, meski dengan kru lain aku juga akrab tapi Ze adalah orang yang paling dekat denganku.

"Hari ini aku ingin membeli sesuatu."

"Apa?" Tanya Ze cuek.

"Em . . . " Aku mengulum bibirku. "Lingerie." Aku mengigit bibirku sekilas.

"Oh shit!" Ze menatapku dengan mata menyipit.

"You slept with him?" Tanyanya.

"Aku jatuh cinta padanya." Aku mengakuinya dengan malu.

"Kau benar-benar sudah tumbuh dewasa sekarang." Zevanya menatapku dari atas ke bawah.

"Jangan menatapku seperti itu." Wajahku memerah.

"Aku ingin bertanya banyak hal tentang bagaimana dia melakukannya, tapi kau pasti tidak akan menceritakannya padaku." Ucapnya frustasi.

"Kau bahkan tidak bertanya sedikitpun."

"Sial, kau ingin aku bertanya?"

"Mungkin aku bisa menceritakan garis besarnya."

"Oh SHIT!!! Dia memutar matanya. "Akan kutemani kau beli lingerie terbaik di kota ini."

"Kita bertemu di tokonya saja, aku harus menemui Bernard sepulang kerja."

"Kau berkencan dengannya?"

"Aku akan bercinta dengannya, kau pikir hanya kau yang bisa melakukannya?" Seloroh Ze, dia membuatku menggeleng tak percaya.

***

Aku mengunci kedai, dan hari ini sengaja meminta Christ langsung pulang ke rumah neneknya, meski sejujurnya aku sudah sangat malu jika sampai neneknya memergoki kami bercinta lagi atau setidaknya mendengar suara kami berdua tapi saat ini tidak ada tempat lain yang lebih aman.

"Hei."

Aku terkesiap mendengar suara itu dari arah belakangku.

"Justin?" Alisku bertaut, bukankah siftnya sudah berakhir siang tadi, mengapa dia muncul di hadapanku selarut ini? Firasatku tak terlalu baik.

"Apa yang kau lakukan di sini selarut ini?" Tanyaku ketus.

"Aku ingin mengantarmu pulang." Katanya menjaga jarak.

"Aku akan pulang sendiri, lagipula aku berjanji dengan Ze."

"Aku akan mengantarmu menemui Ze."

"Maaf Justin, tapi aku ingin pergi sendiri." Aku meninggalkan pria itu setelah mengunci pintu kedai dan bergegas berjalan cepat mencari tempat yang ramai orang agar pria ini tidak bisa macam-macam denganku.

Saat langkahku semakin cepat, dua orang pria berjalan ke arahku.

"Shit!" Gumamku dalam hati, ini jelas teman-teman Justin. Aku berbalik dan Justin berjalan ke arahku, sial, aku terkepung. Hingga mereka semakin dekat aku tidak bisa lari kemana-mana, aku juga tidak bisa berteriak lagi karena salah satu dari mereka langsung membekap mulutku. Dan dua diantaranya memegangi tanganku.

Aku meronta sebisaku, memohon belas kasihan tapi mereka benar-benar keji. Salah satunya langsung mengikat tanganku dibelakang dan mengikat mulutku.

Oh Tuhan apa lagi ini, aku baru saja selamat dari kegilaan Lindsey Mc. Kurney yang hampir menghabisiku dan sekarang aku diikat dalam keadaan seperti ini oleh tiga pemuda dan salah satunya Justin, karyawanku sendiri, orang yang bahkan sempat kuanggap teman.

Apakah aku harus mati dengan cara sepeti ini? Apakah dunia setidak adil ini padaku, saat pagi hari aku baru merasakan kebahagiaan yang membuncah, bahkan belum genap duapuluh jam aku menikmatinya dan kini aku sudah jatuh ketangan orang-orang tak punya hati seperti mereka.

Air mataku meleleh saat berusaha meronta dan mereka tetap menyeretku dengan kuat. Apalah dayaku, aku hanya seorang perempuan di malam yang gelap seperti ini. Harusnya aku menurut pada Christ untuk dijemput, tapi aku menolaknya dengan alasan akan pergi dengan Ze untuk membeli lingerie.

Saat aku sudah sangat putus asa dan lelah meronta tiba-tiba sorot lampu yang sangat terang menyilaukan mataku. Itu sorot lampu sebuah mobil. Seseorang turun dari mobil itu dan berlari kea rah kami, disusul satu orang lagi dibelakangnya.

Justin melepaskanku dan maju untuk melawan dua orang yang berlari ke arah kami dibantu dua orang temannya. Aku tidak bisa melihat dengan jelas selain baku hantam yang terjadi di hadapnku seperti pertunjukan drama dengan siluet.

Hanya beberapa menit dan semua itu berakhir, Justin dan teman-temannya terhuyung dan lari terbirit-birit sementara seorang dari dua orang yang tersisa menghampiriku, dengan cepat melepaskan ikatan tangan dan ikatan mulutku. Aku menyadari pria itu adalah Christ saat sorot lampu mobil itu berpindah seiring dengan pergerakan mobil yang mendekat ke arah kami.

Aku memeluk Christ dan menangis di pelukannya. Tapi Christ tidak membiarkanku terlalu lama diluar, dia segera membawaku masuk kedalam mobil.

Meski aku masih ketakutan tapi kulihat sudut bibirnya berdarah.

"Kau terluka." Bisikku dan Christ tidak mengijinkanku menyentuh bibirnya.

"Hanya luka kecil." Katanya. "Langsung pulang." Ujar Christ, dan sang supir memutar kemudi dan mobil melesat meninggalkan taman yang tak terlalu banyak lampu itu, melewati kedaiku yang sudah tutup dan menuju rumah Christ.