Kami didalam mobil Christ yang entah mengapa aku hanya mengenakan kaos dan celana jeans sementara dia tampak sangat rapi dengan setelan formalnya.
"Turunkan aku di sini." Ujarku saat kami tiba di pusat kota.
"Apa yang akan kau lakukan?" Tanyanya.
"Aku bisa naik taksi ke kampus, atau membuat janji bertemu Zevanya, yang jelas aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu. Lagipula aku hanya harus pergi dari rumah itu, bukannya harus membuntutimu bekerja."
"Ok, tapi aku butuh bantuanmu." Ujarnya, sudah jelas dia tidak akan meloloskanku begitu saja, dan itu justru membuatku bertanya-tanya, apa yang sedang dia pikirkan saat ini.
"Bantuan apa?"
"Sedikit duduk diam dan tenang, itu bantuan paling sederhana yang bisa kau berikan."
Oh sial, tidakkah dia mengingat kejadian semalam? Betapa lembutnya dia memperlakukanku?
"Ok." Aku mengalah dan memilih untuk tetap diam. Mobil berbelok menuju satu blok dari kedai kopi paman Bento yang kini sepi, tak lagi terlihat sebagai kedai kopi, dan itu membuatku sedih, meski aku bukan pemiliknya.
Mobil Christ menepi di deretan toko-toko.
"Kita baru saja sarapan." Kataku sambil melongkok keluar jendela mobil, ini deretan toko dan juga beberapa toko menawarkan makanan cepat saji.
"Kau ingin minum kopi?" Tanyaku.
"Come." Dia keluar dari mobil, memutar kemudian membukakan pintu untukku. Aku keluar dari mobil dan mengikuti langkahnya, karena tangannya menggandeng pergelangan tanganku.
Aku baru melihat kedai kopi ini, mungkin baru buka, atau aku terlalu lama tinggal di rumahsakit hingga tak tahu bahwa di blok ini ada kedai kopi baru.
"Ini kedai kopi baru?" Aku menatap Christ dan dia tersenyum sekilas.
"Mr. Alfonso." Christ menyalami seorang pria yang keluar dari balik meja bar.
"Mr. Hudson." Pria itu tersenyum ramah pada Christ, dia memang memiliki nama yang sangat di kenal dipenjuru manapun dia berada, dan semua orang menghormatinya, tentu saja karena uang yang dia miliki.
"Isabella Stuart, ini Mr. Mark Alfonso." Christ memperkenalkan kami dan aku tersenyum memberikan salam pada pria itu.
"Mss. Stuart, senang akhrinya bisa bertemu dengan anda langsung." Ujar pria itu, dan jelas aku langsung melempar pandangan pada Christ.
"Apakah kita pernah saling mengenal?" Tanyaku ragu, dan pria berkumis itu tertawa.
"Belum nona, Mr. Hudson yang membuat saya mengenal anda." Katanya.
"Oh." Aku tersenyum untuk diriku sendiri, rasanya begitu bodoh tidak tahu apapun sementara pria yang berdiri di sisiku tahu segalanya.
"Mari, ikut saya, anda bisa melihat-lihat semuanya." Ujar pria itu dan aku menatap Christ sekali lagi, kali ini untuk meminta persetujuannya. Christ mengangguk, dia mengarahkan tangannya ke Mr. Alfonso seperti memberiku ijin, atau lebih tepatnya mempersilahkanku mengikuti pria berkumis itu.
"Aku akan menunggu di sana." Ujar Christ sambil menunjuk salah satu meja di sudut kedai.
"Ok." Aku mengangguk, sambil mengikuti pria berkumis itu aku mengagumi seluruh sudut ruangan yang dibuat sangat elegan dengan kayu parkit dan juga nuansa coklat yang hangat.
"Anda menyukainya?" Tanya Mr. Alfonso diakhir tour kami mengelilingi kedai kopi ini, bahkan aku bisa menyebutnya Café karena dia terlihat lebih modern, classy dan elegan.
"Sangat." Aku bergidik gembira, meski aku bukan siapa-siapa tapi diajak tour secara pribadi sepeti ini membuatku rindu akan duniaku yang dulu, wangi aroma kopi yang baru saja disiram air panas yang merasuk di hidungku membuat hatiku berdesir.
Mr. Alfonso mengantarku ke meja Christ, dia tampak sedang menikmati secangkir espresso.
"Kau menyukainya?" Tanya Christ begitu Mr. Alfonso meninggalkan kami.
"Ini gila." Aku bahkan hampir melonjak senang seperti anak-anak saat melihat balon atau ice cream.
Christ menyodorkan sebuah kunci yang sedari tadi ada di atas meja.
"Milikmu." Katanya sambil menatapku, alisku bertaut dalam. "Kunci?"
"Kunci kedai kopi ini, mulai besok kau tidak perlu bingung melakukan apa untuk menghindari mulut pedas Granny." Senyumnya dan aku masih tertegun menatapnya.
"Ini . . ." Tangan ku gemetaran meraih kunci dari atas meja yang disodorkan Christ padaku.
"Kau mahasiswi bisnis, walaupun kuliahmu bermasalah, setidaknya sebagai dosenmu, aku bisa mengampunimu jika kau bisa menjalankan bisnis di dunia nyata." Katanya dan aku berkaca-kaca dibuatnya. Tanganku menutup mulutku dan separuh wajahku. Aku menangis dibuatnya karena tiba-tiba semua crew kedai kopi paman Bento berdiri di hadapanku dan berteriak "BELLA" dengan mengangkat balon bertuliskan namaku dan sebuah balon berbentuk love dengan tulisan "Wellcome"
Aku mengejanya dengan air mata berderai-derai di pipiku "Welcome Isabella"
Aku segera bangkit dari kursiku dan menghambur memeluk Christ, hingga kami menjadi pusat perhatian semua pengunjung yang kemudian bertepuk tangan.
"Thank you uncle Christ." Bisikku di telinganya dan dia berdesis sangat lirih. "Jika kau memanggilku didalam kamar dengan sebutan itu, akan ku gigit bibirmu."
"Psstt, Granny tidak suka keributan di malam hari." Balasku berbisik padanya dan dia terkekeh.
"Ok, sudah cukup acara selebrasinya, kau harus bekerja keras dan membuktikan padaku bahwa kau mampu, baru akan kuberikan nilai A+ untuk mata kuliah bisnismu."Ujarnya sambil menarik daguku. Setelah itu dia meninggalkan aku di kedai yang katanya adalah milikku sekarang. Christ melambai pada semua orang dan mereka bersorak meneriaki pria tampan itu, oh sial, mengapa aku yang salah tingkah sekarang.
Satu hal yang kupelajari dari pria itu, dia tidak pendendam. Buktinya dia tetap mempekerjakan Justin dan membiarkan pria itu berada didekatku meski Christ dengan tangannya sendiri pernah hampir membuat tulang hidung Justin patah karena rasa cemburunya.
What a sweet man, Uncle Christ, my lecturer.