98 Bab 98

"Jaga bicaramu dan jangan pernah berfikir untuk pergi!" geram Yafizan menahan emosinya.

Soully berbalik, "Eh, hai, Paman." sengaja menekan kata paman di akhir kalimatnya. Membuat rahang Yafizan semakin mengeras. "Ada perlu apa Paman ke mari? Bukankah Paman orang yang sangat sibuk?" tanyanya kemudian.

Yafizan menghembuskan nafasnya. Sedikit melunak namun masih terdengar dari hembusan kasar nafasnya. "Biarkan Rona dan aku saja yang membereskannya." menahan tangan Soully dan merebut baju yang ada di tangannya.

"Tidak usah, Paman. Biar aku saja. Lagipula aku tak mau merepotkanmu," tolak Soully.

"Duduklah di sana dan jangan bergerak." menunjukkan arah sofa dengan lirikan matanya. Namun, Soully masih bergeming di tempatnya.

"Cepat duduk dan tolong, menurutlah!" Perintah yang tak ingin dibantah. Akhirnya Soully hanya bisa menuruti perintah suami yang menurutnya sangat menyebalkan.

"Ron, tolong kau belikan camilan yang ada di cafe seberang rumah sakit ini."

"Tapi, Bos..."

"Ini biar aku saja yang bereskan. Kau pergilah cepat!" tanpa menunggu diperintah kedua kali, Rona segera keluar menuruti perintah Yafizan.

***

Soully memperhatikan Yafizan yang berjalan hilir mudik ke sana ke mari hanya untuk memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam lemari. Wajah Soully pasti akan sangat merona ketika ia memandangi suaminya dengan intens. Sudah 20 menit berlalu. Dan Rona masih belum datang. Dan...tunggu!

Yafizan memasukkan kembali pakaiannya ke dalam lemari? Bukan masukkannya ke dalam koper?

Soully segera beranjak. Lalu berlari ke arah lemari. Gerakan yang refleks dan tiba-tiba itu membuat kakinya tersandung. Dengan sigap Yafizan segera menahan tubuhnya.

"Hati-hati!!" sedikit bentakan ia lontarkan kepada Soully yang ceroboh.

"Maaf." hanya itu yang bisa Soully ucapkan. "I-itu, kenapa kau memasukkannya lagi ke dalam lemari? Kau tau, aku susah payah membereskan semuanya tadi," cebik Soully kesal hendak mengeluarkan kembali pakaian yang Yafizan masukkan kembali.

"Jangan seperti ini, Soully!" Yafizan menahan lalu memaksa memasukkan kembali pakaian Soully ke dalam lemari.

Soully menghela lalu menghembuskan nafasnya. "Kenapa, Paman?"

Panggilan 'Paman' itu membuat Yafizan mematung. Benarkah istrinya itu belum mengingatnya? Hatinya terasa sakit, sesakit inikah saat ia tak mengingatnya dulu?

Menjadi salah tingkah, Yafizan memalingkan tubuhnya berpura-pura membereskan pakaian Soully. "Tinggallah di sini lebih lama lagi. Apa kau sudah memutuskan ke mana kau akan tinggal?"

Pertanyaan Yafizan membuat Soully terkesiap. Suaminya sengaja menahannya lebih lama lagi di rumah sakit. Mengapa Yafizan tidak bersikap jujur akan perasaannya. Terlalu naif memang, bahkan Soully tak ingin Yafizan tahu jika ia sudah mengingat semuanya.

"Untuk apa? Terlalu lama di sini membuatku jenuh saja. Kamar ini memang begitu bagus an nyaman. Tapi aku juga perlu menghirup udara bebas, bukan? Lagipula, siapa yang akan menanggung biaya semuanya jika aku lebih lama di sini?"

"Kau tak usah memikirkan biaya. Karena kau sudah menolongku, maka aku yang akan bertanggung jawab atas dirimu."

"Terima kasih, Paman. Tapi aku benar-benar tak ingin tinggal lebih lama di sini." Soully mengambil kembali pakaian yang Yafizan susun dalam lemari lalu melipat dan memasukkannya kembali ke dalam koper.

Tangan Yafizan terkepal. Ia sungguh tak bisa menahan kekeraskepalaan istrinya itu. Apa karena Soully sedang mengandung, maka hormon yang terjadi pada wanita hamil menjadi lebih labil dan begitu sensitif? Bahkan, keras kepala?

Mengingat Soully sedang mengandung anaknya, Yafizan ingin sekali merengkuh lalu mengusap sayang perut istrinya itu.

"Kenapa kau ini keras kepala sekali? Seharusnya kau menuruti kata-kataku!" sedikit bentakan membuat Soully menjadi lebih sensitif. Matanya mulai berkaca-kaca, bahkan ia melemparkan pakaiannya dengan kesal sambil berjalan hilir mudik untuk mengambil pakaian dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper.

Melihat tingkah Soully yang berubah membuat Yafizan sadar jika nada suaranya yang sedikit keras bisa menyakiti hati Soully. "Maaf, aku sungguh tak bermaksud untuk membentakmu. Tapi, sungguh. Bisakah kau tidak keras kepala dan menybalkan seperti ini? Kau bisa tidur enak di sini dengan nyaman."

Menyebalkan? Dia bilang aku menyebalkan? Justru suaminya ini yang sungguh menyebalkan!

Ingin rasanya Soully memaki suaminya itu dalam hati. Namun ia tahu, jika suaminya mempunyai kemampuan khusus mendengarkan suara hati seseorang. Memikirkan itu semua rasanya sungguh frustasi. Soully perlu melampiaskan semua ungkapan dalam hatinya yang selama ini ia pendam.

"Soully, apa kau mendengarku? Oh, ayolah, jangan seperti ini."

Soully membanting bajunya ke lantai dengan kesal. "Menyebalkan? Kau meminta maaf tapi ujung-ujungnya aku yang menyebalkan? Hah, lihat dirimu! Siapa sesungguhnya yang menyebalkan di sini?"

"Sa-, Ss-Soully, tenang, oke." Yafizan berusaha menenangkan Soully yang sepertinya akan mengamuk padanya hingga membuat dirinya tergeragap karena hampir saja memanggilnya dengan panggilan sayang. Yafizan lupa, jika Soully sedang hamil. Dia seharusnya tidak menyebabkan Soully emosi.

"Tenang apa? Kau jangan sok menenangkanku! Sudah cukup, aku menahannya selama ini." tangan Soully berisyarat supaya Yafizan jangan menyanggah ucapannya. "Memangnya siapa kau sehingga memerintahku seenaknya? Kau mengaturku dan aku harus menurutimu, begitu? Selama ini, setelah aku sadar, apa pernah kau datang secara langsung menemuiku? Setiap hari, kau hanya datang dan bersembunyi di balik pintu itu tanpa mau menyapa atau hanya sekedar menanyakan bagaimana keadaanku. Apa kau tau, jika selama ini aku tersiksa sendirian? Saat malam hari, ketika aku tiba-tiba terbangun dan menginginkan sesuatu yang sangat ingin aku makan bahkan terkadang aku tersiksa akan rasa mual yang tiba-tiba menyerang. Padahal kau ada, tapi kau tak pernah datang membantu atau menemuiku. Kau ada, tapi ketika aku terlelap tidur. Tapi ketika aku bangun, kau malah kabur dan hanya berdiam diri seakan aku hidup di balik layar."

Yafizan terdiam mendengar semua yang Soully ungkapkan. Ia benar-benar tak bisa membantah apa yang Soully katakan. "Cukup, jangan menangis lagi." Yafizan berusaha mengusap air mata yang mengalir deras di pipi istrinya. Namun, tangan Soully menepisnya.

"Beristirahatlah. Kau baru sembuh. Aku akan pergi agar dirimu menjadi lebih tenang. Maafkan aku jika sikapku terlalu berlebihan dan menyakitimu. Tinggallah di sini untuk sementara waktu," pamit Yafizan yang hatinya sudah terasa begitu sesak.

Yafizan membalikkan badannya. Penolakan dari Soully membuat hatinya begitu hancur. Semua ini memang salahnya. Gara-gara dirinya, semuanya menjadi kacau. Ia tak ingin pernikahannya hancur seperti pertungannya dengan Mayra dulu. Jika dulu ia begitu egois menginginkan Mayra dan malah menyebabkan kekacauan di negerinya, maka saat ini ia pun ingin egois karena istrinya adalah miliknya. Belahan jiwanya. Bahkan darah dagingnya bersemayam dalam rahim perempuan yang sangat ia cintai itu.

Tak bisakah ia egois untuk kali ini saja? Tak bisakah ia bahagia bersama dengan apa yang sudah ia miliki? Bersama istri dan calon anaknya?

"Bahkan kau sungguh tak ingin membawaku pulang dan malah menyuruhku tinggal di sini selamanya?" Soully menepis kasar air matanya yang tak mau berhenti menetes. Ia melanjutkan kembali mem-packing baju-bajunya. "Dasar Banteng!" Soully menggerutu dan mendesis kesal dengan pelan.

Ucapan Soully membuat langkah Yafizan yang hampir saja menekan handle pintu terhenti. Dia berbalik dan memastikan apa yang ia dengar tidak salah. "Apa yang baru saja kau gumamkan?"

"Aku bergumam apa memangnya? Pergilah! Bukankah kau ingin pergi? Pergi saja sekalian dan jangan pernah datang lagi menemuiku...dan juga anakmu!" tanpa mau menatap, Soully masih berpura-pura menyibukkan diri walaupun air matanya kini sudah penuh kembali dan tak mau berhenti mengalir. Hanya suara isak tangis yang terus terdengar.

Yafizan seketika berlari lalu menarik Soully ke dalam pelukannya. Soully yang tersentak seketika terdiam. Soully menjauhkan diri sejangkauan tangannya. Tatapan penuh haru itu bertemu. Rasa rindu dan cinta jadi satu.

"Apa kau sudah mengingatku?" mata Yafizan berkilat.

"Siapa yang takkan mengingat banteng menyebalkan seperti dirimu!"

"Aku serius. Sejak kapan kau mengingatku?"

"Sejak kau selalu datang dan bersembunyi diam-diam dariku."

"Dasar kerbau bodoh!" membuat Soully berdecak sebal. Senyuman terukir di bibir mereka.

Tak pernah sedikitpun Yafizan mengalihkan pandangannya. Ia terus menatap wajah Soully begitu dalam seakan tak ingin terlepas melihat hal yang begitu indah di hadapannya.

"Aku...sangat merindukanmu..." tak bisa menahan dirinya untuk tidak membenamkan bibirnya pada bibir Soully yang masih terlihat pucat. Rasanya begitu manis.

Mereka terpejam, air mata bahagia mengalir di kedua sudut mata mereka. Pertautan bibir yang begitu lembut itu cukup lama dan semakin dalam. Perasaan yang tak bisa mereka ungkapan hanya dengan sekedar kata-kata. Satu kata yang mereka ungkapkan dari dalam hati. Kerinduan.

***

Suara pintu yang terkunci dari dalam membuat orang-orang yang sedari tadi berdiam diri di balik pintu dan dinding kamar itu hanya bisa saling pandang.

"Dasar bos mesum. Istrinya baru sembuh apa ia tak bisa menahan diri?" Rona mendengus sebal.

"Sebaiknya aku memeriksa pasien yang baru selesai aku operasi tadi," ucap Erick sambil lalu menghela nafasnya meninggalkan Rona dan Elly yang sama-sama berdiri bersamanya.

"Ehem, apa sebaiknya kita makan siang bersama saja? Sayang sekali, bukan? Makanan sebanyak itu jika tidak dihabiskan?" Elly mencairkan suasana canggung karena suara-suara aneh mulai terdengar di balik pintu kamar VIP tempat mereka berdiri tadi. "Ayo, biarkan yang ada di dalam kamar itu melepas kerinduan mereka." sambil menarik bungkusan makanan yang ada di tangan Rona.

"Hei, gadis tengil. Kau ini sungguh tak sopan sekali!" teriak Rona sambil mengikuti langkah Elly.

Mereka cukup senang ketika pada akhirnya Yafizan dan Soully sudah kembali bersatu. Walau masih ada sedikit rasa pedih di hati Erick dan Miller, tapi mereka bercukup lega karena orang-orang yang mereka kasihi berbahagia.

***

Hari sudah menjelang hampir sore ketika 30 menit yang lalu Yafizan dan Soully mengakhiri pergumulan mereka tadi siang. Yafizan menatap wajah Soully lekat-lekat yang masih tertidur karena kelelahan dalam pelukannya seakan ia benar-benar tak ingin kehilangan Soully dari pandangannya. Diciuminya berkali-kali wajah serta kening Soully. Merasa gemas dengan rasa cinta yang membuncah dalam dirinya.

"Sayang, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu." mencium gemas istrinya. "Cinta kamu juga, malaikay kecilku." mengusap lembut perut Soully seakan ingin calon anaknya tahu bahwa ia mencintai mereka. Yafizan membenamkan wajah Soully pada dada bidangnya yang lengket akan keringat. Semakin mendekap Erat tubuh Soully ke dalam pelukannya.

"Kami juga mencintaimu. Aku...dan anak kita..." lirih Soully dengan mata yang masih terpejam. Tangannya semakin melingkar erat. Seolah tak ingin Yafizan menghilang kembali.

Semburat senyum terpancar di sudut-sudut bibirnya. Setelah mencium pucuk kepala istrinya, Yafizan ikut terlelap dalam dekapan buaian hangat itu.

avataravatar
Next chapter