96 Bab 96

Air matanya semakin mengalir dengan deras. Ingatan demi ingatan yang kembali dalam memorinya membuat Yafizan tak bisa membendungnya lagi. Penyesalan terbesar yang ia sesali saat ini adalah ketika ia tak yakin akan perasaannya sendiri. Bahkan ia gagal mengingat ataupun mengenali istrinya. Cinta sejati apanya? Ia bahkan menodai ikrar pernikahan yang dulu ia ucapkan ketika menikahi Soully.

Soully kecilnya, penyelematnya...

"Sa-sayang..." bibirnya gemetaran tak kuasa ketika istri yang sangat ia cintai ada dalam pelukannya dalam keadaan kritis.

Rasanya ia sangat merindukan Soully, karena baginya terakhir kali ia tiba-tiba menghilang dan meninggalkannya. Tangisannya semakin pecah karena ketika ia kembali, ia justru mengabaikannya dan malah mengusirnya karena dianggap orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam apartementnya.

Itu yang justru ia sesali. Yafizan yang terkenal pengusaha pintar dan paling kompeten serta pandai menilai sesuatu itu mendadak bodoh karena ia tak menyelidiki terlebih dahulu mengapa Soully ada dalam apartementnya. Harusnya ia tahu karena tak bisa sembarang orang bisa masuk dan tinggal di apartementnya. Seharusnya ia curiga akan kode akses pintu apartement-nya yang berubah. Tanpa curiga ia menduga Rona hanya mengganti saja. Padahal kode pin itu adalah tanggal pernikahannya.

Tangan Soully mengulur, mengelus lembut pipi Yafizan dan mengusap air matanya. Dia begitu senang karena akhirnya suaminya kembali.

"Jangan menangis..." Soully terbatuk dan seketika mencipratkan darah segar yang keluar dari mulutnya. "Maaf..." merasa tak enak karena darah itu menodai sebagian tubuh Yafizan.

"Tidak." Yafizan menggeleng. "Jangan bicara lagi. Kita ke rumah sakit sekarang, ya..." Mencengkram erat semakin mendekap tubuh Soully dalam pelukannya.

Soully menggeleng, "Aku tak apa-apa." ucapan semakin lemah. Darah segar kembali keluar seakan tak ingin berhenti. Membuat Yafizan semakin frustasi dan tak bisa menahan jeritannya.

Yafizan ingat, dulu hal serupa pernah terjadi dalam hidupnya. Kejadian seribu tahun lalu yang membuatnya dirinya terusir ke bumi. Perempuan dengan hal sama pernah menodai seluruh dirinya dengan merah darah.

Bukan karena itu, hal yang paling membuat ia begitu terkesiap ketika ia dibukakan ingatannya tentang siapa seseorang yang pernah ia sakiti sebenarnya. Seseorang yang salah sasaran terkena serangannya. Dan ia malah menangisi perempuan yang ternyata memang mengkhianatinya. Tangisnya semakin dan semakin pecah. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir.

Tangan Soully menangkup sebelah pipi Yafizan. Ia tersenyum sendu dengan manik mata yang sudah berkabut. "Maafkan aku. Suamiku..." telapak tangan mungil nan pucat itu terjatuh tak bertenaga. Mata Soully terpejam. Gelap...

Hanya suara tangisan serta jeritan orang-orang memanggil dirinya yang masih terdengar samar ditengah ketidaksadarannya.

***

Tiga hari kemudian...

"Kenapa Soully masih belum sadar, Rick?" tanya Yafizan dengan tidak sabar ketika Erick telah selesai memeriksa Soully.

Masa kritis Soully tengah lewat. Beruntung tim dokter berhasil menyelematkannya. Walaupun sebenarnya Yafizan tak yakin akankah serangan dirinya bisa disembuhkan oleh campur tangan manusia biasa yang berpredikat dokter itu. Ia sungguh kalut.

Beruntung, Erick tiba tepat waktu sehingga ia paham apa yang terjadi pada Soully. Sedikitnya ada campur kekuatan magic-nya yang harus ia salurkan untuk menyelematkan perempuan yang ia sayangi itu.

"Bersabarlah, kita doakan semoga tidak terjadi apa-apa padanya sehingga ia cepat sadar kembali," jawab Erick. Kini ia membungkukkan badannya, mengusap lembut rambut kepala Soully.

Keposessifan Yafizan membuat rasa cemburu, itu menguat ketika ia melihat tindakan Erick. Namun, ia harus menahan diri. Seharusnya ia beesikap dengan penuh rasa syukur karena tanpa bantuan Erick, Soully takkan melewati masa kritisnya.

"Kau sangat beruntung, Angel. Anakmu melindungimu," bisiknya tepat di telinga Soully yang masih memejamkan matanya dengan rapat.

Yafizan seketika terkesiap akan ucapan Erick yang ia bisikkan ke telinga Soully namun masih terdengar jelas seolah Erick memang sengaja agar Yafizan mendengarnya.

"Apa yang kau ucapkan itu? Anak? Soully hamil?" tanyanya dengan desakan ketidaksabaran.

Erick menegakkan badannya, lalu menghembuskan nafasnya pelan. "Ya, istrimu sedang mengandung."

Kakinya seakan tak bertulang. Bahagia sekaligus rasa haru menyelimuti kalbunya. Bahagia karena apa yang ia dambakan akan segera terwujud, yaitu menjadi seorang ayah. Rasa haru, ia sungguh merasa sangat bersalah karena dirinya hampir saja kehilangan istri sekaligus calon anaknya. Bola matanya memanas tatkala ia membayangkan hal buruk bisa saja terjadi.

Yafizan mendekati Soully yang masih terbaring seakan tidurnya terlalu lelap. Diraihnya telapak tangan Soully yang tidak terpasang jarum infus, lalu ia menenggelamkan wajahnya pada telapak tangan lembut istrinya. Tubuhnya bergetar.

Rona dan Erick yang berada di sampingnya turut merasakan apa yang Yafizan rasakan.

"Pa-man..." suara lirih itu membuat Yafizan terhenti. "Ke-napa kau menangis?" seketika mendongakkan kepalanya saat dirasa yakin suara lemah itu memanglah istrinya.

"S-sayang...kau siuman? Kau...benar-benar telah sadar?" digenggamnya erat-erat telapak tangan nan dingin itu.

Soully menarik tangannya. Merasa risih akan yang Yafizan lakukan. "Paman, kau kenapa? Kau baik-baik saja?"

Sesaat Yafizan terhenti. Panggilan paman itu memanglah Soully katakan padanya. Awalnya ia mengira hanyalah salah dengar saja. "Paman?" bingungnya.

"Iya, kau baik-baik saja kan, Paman? Syukurlah...kita selamat," ucap Soully merasa lega.

"Sayang, kau..."

"Sayang?" potong Soully. "Kenapa Anda memanggilku sayang?"

Yafizan memandang Rona dan Erick bergantian karena masih berada di dalam ruang perawatan Soully. Seakan bertanya dan meminta pertolongan akan segala pertanyaan dalam benaknya.

Erick melangkah memeriksa keadaan Soully.

"Maaf, aku periksa dulu sebentar." Erick memeriksa keadaan Soully. "Boleh aku menanyakan beberapa hal padamu?" Soully mengangguk.

"Siapa namamu?"

"Soully. Soully Angel."

"Usia?"

"19 tahun." Meraka sejenak tercengang, terlebih Yafizan.

"Oke, Soully. Apa kejadian terakhir yang kau alami? Apa kau ingat?"

"Tentu saja, Dokter. Kejadian itu takkan mungkin lupa begitu saja."

"Bisa kau ceritakan?"

"Waktu itu..." Ada keraguan dalam ucapan Soully ketika ia melirik Yafizan. "Aku...aku tak sengaja mendengar paman itu dan kekasihnya bertengkar. Dan...kekasihnya, Tamara, meninggalkan paman. Lalu...." seketika Soully beranjak kemudian menundukkan pandangannya dengan tangan yang terkepal di depan wajahnya. Membuat jantung Erick serasa lepas dari tempatnya akan sikap Soully yang tiba-tiba bangun dan hampir membuat jarum infusnya terlepas.

"Paman, sungguh aku minta maaf. Aku tak sengaja mendengarkan percakapan kalian. Tolong maafkan aku. Aku janji takkan bicara kepada siapapun. Jadi tolong Paman jangan lakukan hal yang nekad lagi. Aku sangat bersyukur Paman yang baik-baik saja sudah cukup bagiku. Tolong maafkan aku." Soully masih meyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya yang sedang memohon itu. Tak dipedulikannya pergerakan yang ceroboh membuat darah dari punggung tangannya naik memasuki selang infusnya.

Berulang kali Yafizan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengalihkan pandangannya. Melihat istrinya memohon dengan ingatan kejadian tiga tahun lalu membuat hatinya sakit. Apa rasanya seperti ini ketika dulu ia tak mengingatnya?

"Aku, keluar dulu." Yafizan keluar tanpa melihat orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Disusul oleh Rona yang pamit kemudian.

"Soully, tolong perhatikan gerakanmu. Lihatlah, darahnya naik," tutur Erick dengan lembut. Ia pun tak bisa menyembunyikan titik sendu dalam manik matanya. Karena bagaimana pun Soully tak mengingat dirinya juga.

"Oh, maafkan aku, Dokter..."

"Erick. Namaku Erick." menyambut telapak mungil untuk membenarkan infusannya dengan membuang cairan yang sudah tercampur darah itu. Kemudian ia memanggil suster untuk dibawakan peralatan yang ia butuhkan.

***

"Apa sakit?" saat melihat Soully meringis ketika Erick mencabut serta menusuk jarumnya kembali.

"Sedikit." Soully tersenyum merasa ketahuan.

"Saya permisi, Dok." Suster yang membawa peralatan yang Erick perlukan pamit.

"Sekarang, istirahatlah. Kau terlalu banyak bicara tadi." Erick menyelimuti tubuh Soully hingga ke dadanya. Soully yang diperlakukan seperti itu, terasa canggung. Mengapa dokter ini perhatian penuh padanya?

"Apa yang kau fikirkan?"

"Dokter, apa...kau menyukaiku?" pertanyaan Soully membuat Erick merasa terhibur.

"Jika ya, kau mau apa?" menyenangkan bisa menggoda Soully.

"Tidak mungkin. Kau pasti bercanda. Mana mungkin kau menyukaiku. Dokter, kau kan...tampan," ucapanya nyaris pelan saat di ujung kalimatnya.

Kepolosan Soully tak bisa menyembunyikan rasa yang membuncah dari diri Erick. Soully tetaplah Soully. Perempuan polos yang ia sayangi.

"Ya, aku menyukaimu." mengusap pelan rambut kepalanya. "Isturahatlah, aku akan kembali lagi nanti." pamitnya kemudian.

.

.

.

Soully termenung sendirian di dalam ruang perawatannya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan itu. Ruangan yang cukup luas dan...indah. Ya, ruangan nyaman ini bukankah ruangan VIP?

Seketika Soully beranjak dan meyakinkan kembali apa yang ia lihat ini bukan halusinasinya. Hampir saja ia ceroboh akan infusannya. Beruntung tidak apa-apa.

Ditinggalkan di ruangan yang nyaman, apalagi jika bukan ia ditempatkan di ruang perawatan yang mewah. Mengingat hal itu membuat dirinya ingin menjerit. Siapa yang akan membayar biaya perawatannya. Ruangan VIP ini pastilah sangat mahal.

"Oh ya ampun..." menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Suara pintu terbuka menyita perhatiannya kemudian. Seseorang datang lalu seketika Soully cepat-cepat berbaring kembali dan berpura-pura terlelap. Suara derap langkah kaki memasuki ruangannya. Lalu mendekati tempatnya berbaring. Tangan besar nan hangat menyentuh keningnya, mengusapnya perlahan. Kemudian ia menyelimuti tubuh Soully hingga ke dada, kemudian sebuah kecupan hangat mendarat di kening dan di pipinya menggetarkan hati Soully yang hampir saja membuat Soully terbangun. Seseorang itu duduk di samping tempat pembaringannya dan menarik telapak tangan Soully hingga kecupan ringan mendarat di punggung tangannya juga.

"Sayang..." suara lirih itu terdengar tercekat seakan menahan tangis. "Aku merindukanmu..."

Tidak, mengapa aku begitu terhanyut dan ingin menangis?

avataravatar
Next chapter