webnovel

Lamaran?

Seperti sedang menghadiri sebuah kasus kejahatan besar internasional, Bimo dan Tara duduk seperti seorang pesakitan di tenga pengadilan.

Keduanya sedang menundukkaan kepala, menjawab segala pertanyaan Jaksa yang terkadang melebar jauh demi membangun suasana pengadilan yang riuh.

Tara dan Bimo tak bisa membela diri karena bukti tidak bisa diperlihatkan dengan jelas, bahkan tak ada satu pun yang bisa mereka bawa ke dalam pengadilan keluarga ini.

Layaknya sebuah gula yang tercecer di lantai, satu semut mengetahuinya, maka kawanannya akan ikut datang mengerubungi hingga habis.

Berita ini, kejadian memalukan yang suudah direncanakan secara dadakan oleh musuh lama Bimo tersebut, kini malah booming. Jadi konsumsi pblik, sampai terdengar ke sebrang, kepada telinga-teliinga para sanak saudara.

Kakek Tara sudah berdiri penuh emosi yang membara. Tubunya yang kekar karena beliau adalah mantan atlet tinju, masih sangat menyeramkan saat dipandang. Laki-laki berusia 62 tahun tersebut, tidak pernah terlihat kehabisan tenaga.

"Dasar anak perempuan kurang ajar! Cucuk gak tahu diuntung! Kurang apa kamu sudah kami manjakan, memberi apa yang kamu mau, menjagamu juga, kurang apa?!" bentak Kakek Arman dengan urat-urat lehernya yang ikut menonjol bersama kemarahannya yang tak lagi terbendung.

Semua hanya bisa diam saat pria yang mereka tuakan hadir setelah mendapat kabar burung ini dari sahabatnya yang mendengar ini dari cucuknya. Cucuk itu kebetulan memang bersekolah di SMA yang sama.

Akan banyak yang sakit hati jika Tara dan Bimo membela diri, tetapi mereka memang tak salah.

Bimo yang sedang duduk dengan kepala menghadap lantai, mulai menunjukkan kalau dia mau mengatakan hal yang sebenarnya. Terlepas dengan respons buruk yang akan dia terima. Intinya pria itu hanya mau menjelaskan duduk permasalahannya yang sejelas-jelasnya demi menyelamatkan nama baik keluarga, setidaknya Wita dan Adi harus diselamatkan, dibanding Bimo yang sudah jelek di mata siapa pun.

"Maaf, kalau saya menyela." Bimo berdiri, padahal Tara sudah berusaha mengalanginya. "Saya minta maaf terlebih dahulu kepada semua keluarga besar Tara dan keluarga inti saya. Kami berdua sebenarnya tak bersalah. Kejadian tadi malam, murni karena sebuah jebakkan dari Beni Wijaya. Saya harap semua orang bisa menunggu penyelidikan berlangsung, atau mau sekalian mencari tahu Beni kenapa dia bisa berbuat sekeji ini kepada saya dan Tara."

Bimo berusaha bersikap setenang mungkin, karena dia begitu menghargai semua orang. Walaupun hanya cemoohan, omelan bahkan cibiran yang terdengar dari semua tamu, setidaknya mereka masih perduli dengan keduanya, itu saja yang menjadi ikatan kepercayaan dia dengan keluarga.

"Berani-beraninya kamu memotong omongan yang berguna bagi semua orang agar terhindar dari masalah yang sama seperti Tara dan juga Kamu," ucap pria itu.

"Bukan maksud saya begitu, Kek, tapi menjelaskan semuanya bukan untuk membela diri. Saya hanya mau semua orang tahu, apa yang terjadi sebenarnya agar tidak rancu. Ini juga bisa jadi bahan pembelajaran agar tidak mudah percaya dengan orang lain hanya karena dia baik di awal."

Beni mengatakan kalimat terakhir sambil menengok ke Tara. Dia menyindir agar Tara tak bisa mengelak lagi perihal kejadian ini adalah murni karena dia terlalu percaya Beni yang jelas-jelas telah berbuat tak baik dengannya saat masa SMA.

Tara mengerti dan dia hanya bisa menatap Bimo dengan wajah yang ditekuk.

Ada Pak Danu dan perwakilan warga komplek ikut di sana. Mereka hanya menunggu bukti yang ada.

Pak Danu buka suara, pria yang mengenakan kemeja putih tersebut terlihat sangat menahan emosinya yang sudah ada di ubun-ubun, siapa meledak memuntahkan lahar yang panas.

"Sekarang, masuk ke intinya saja. Di mana bukti yang bisa dijadikan landasan kalau kalian tidak bersalah sesuai apa yang telah dikatakan tadi perihal kejadian yang sebenarnya, karena dijebak, kan?" Pak Danu bertanya kepada Bimo.

Bimo yang dicecar pertanyaan sekaligus pandangan penuh curiga semua orang, mencoba menyenggol Tara yang sedang kebingungan juga.

"Sebenarnya saya ada bukti telepon dan juga pesan singkat dari Beni, tapi ponsel saya yang ada di hotel itu tiba-tiba hilang. Kami berusaha mencari di segala sudut, tapi tak bisa menemukannya," ucap wanita itu, mengakui kalau dia sudah tidak punya apa-apa.

Tara tubunya bergetar ketakutan, saat banyak orang kembali mencemoohnya. Dari balik badannya tentu saja Nina bisa menangkap kegelisahan yang sangat jelas di matanya tersebut. Dia adalah seorang ibu yang kasihnya sepanjang waktu, melihat putrinya menderita, merasakan malu karena dihakimi padahal menurut cerita yang dia dengar tadi, Tara termasuk sebagai korban pelecehan Beni.

Tanpa memikirkan suasana yang sedang panas, Nina segera meraih tubuh putrinya dan mendekapnya erat. Wajah Tara tenggelam di dada ibunya. Air matanya merembes, semakin banyak ketika dia meluapkan rasa sakit hati yang begitu dalam ke Beni.

Bimo menatap ke samping, dia tak tahu bagaimana bersikap. Tiba-tiba rasa penyesalan datang menyeruak ke hatinya yang paling dalam. dia tahu ini semua telah usai, tapi sikapnya ke Tara waktu di hotel atau saat tadi dia menyindirnya sangatlah kekanak-kanakan, dia melupakan kalau Tara bisa saja dicap jelek karena berani bermalam dengan seorang pria bahkan menurut cerita ada dua orang pria, dia dan Beni.

Bimo mengusap wajahnya dengan kedua tangan, tanpa sengaja dia juga mendengar celetukan dari seorang ibu yang merupakan tetangga mereka sendiri.

Wanita itu berkata, "Kalau punya anak cewek kayak gitu mending diasingkan aja, kirim ke kampung sama neneknya, karena kita sebagai orang tua malu. Perempuan kalau udah nakal pasti berbekas, beda sama laki, gak akan ada yang tahu."

Bimo ingin marah, tapi di belakangnya Wita mengelus punggung anak itu. Kemudian dia berbisik, "Kamu pasti tahu apa yang mesti kamu lakukan untuk menyelamatkan nama baik dua keluarga, kan, Bimo?"

Bimo mengangguk, berat buat dia memutuskan, tetapi entah sampai kapan dia mau mencoba merelakan semua cemoohan tak benar yang meluncur bebas dari mulut-mulut orang kurang ajar seperti itu.

Dia menengok ke arah Tara sebentar yang masih tenggelam dalam tangisan pilunya. Baru kali ini dan detik ini, hasratnya untuk memaki Tara ikut larut dalam suara tangisan wanita itu.

Satu helaan napas penuh rasa yakin itu lepas dari mulutnya, kemudian dengan satu tarikan napas lagi, dia mengucapkan hal yang telah mengubah hidupnya serta Tara berubah seratus persen.

"Saya, Bimo Adiwirya, akan melamar dan menikahi Tara. Kami akan menghelat pernikahan sebulan kemudian. Saya harap semua orang di sini tidak ada yang berkata macam-macam lagi, karena kami akan meresmikan hubungan ini ke jenjang pernikahan. Masalah ini saya rasa sudah usai, silakan pulang ke rumah masing-masing."