webnovel

Tak Berdaya

Malam harinya Vincent duduk di taman sambil membaca email di smartphonenya. Email tersebut berisi informasi yang diinginkannya.

Catherine West, lahir tanggal tiga puluh Agustus 1994 menjadi yatim piatu disaat usia sepuluh tahun. Sejak itu Catherine beserta ketiga adiknya dirawat oleh keluarga ayah mereka dan tinggal di salah satu perumahan elit.

Melihat data ini, sebelah alisnya terangkat. Berarti gadis itu sama sekali tidak miskin? duganya dalam hati.

Vincent terus membacanya ingin mengetahui identitas keluarganya.

Tidak ada. Tidak ada informasi apapun mengenai keluarganya. Bahkan nama yang digunakan untuk rumah yang mereka pakai bukanlah nama yang dia kenal. Daniel West... Siapa Daniel West?

Menurut data biografi yang dibacanya, keluarga yang menjadi wali Catherine sangat jarang merawat mereka menyebabkan Catherine sendiri yang mengurus dan merawat adik-adiknya.

Vincent teringat kejadian tadi siang dimana adik kembar mencium pipi Catherine. Terlihat sangat jelas mereka berempat saling menyayangi dan tidak ada siapapun yang bisa merusak persaudaraan mereka.

Keluarga yang hangat. Pikirnya. Kini pandangannya mengenai Cathy sedikit demi sedikit berubah ke arah yang baik.

Vincent bangkit berdiri saat ponselnya berdiri dan melihat nama Frank di layar ponselnya.

"Aw... kau sudah merindukanku? Aku akan pulang tiga hari lagi."

"Berhati-hatilah. Clarissa ada disana." tanpa memperdulikan gurauan Vincent, Frank mengucapkannya dengan nada serius.

"Untuk apa dia kesini?"

"Kau ingat pernah menyuruh kami untuk mengawasi gerak gerik Paxton jika ada yang menyerang Regnz? Kami masih mengawasi mereka. Hanya saja target mereka kali ini adalah sepupumu."

"Biar kutebak. Kecelakaan seorang penyanyi dan batalnya kehadiran grup band adalah ulahnya."

"Kau sudah tahu?"

Vincent mengeluh dalam hati.

"Bagaimana kecelakaannya? Apakah parah?"

"Tidak. Tidak ada korban yang meninggal, hanya saja penyanyi tersebut mengalami trauma dan tidak mau keluar dari rumahnya."

Vincent mengambil napas terpanjangnya hari itu.

"Baiklah aku mengerti."

Vincent segera berjalan menuju ke ruang kepala manajer dan bertanya mengenai perkembangan masalah yang Star Risen hadapi.

Dia agak terkejut mengetahui dua dari tiga masalah telah terselesaikan dengan sempurna.

Rupanya, Catherine telah mengundang seorang penyanyi dan sebuah grup band sebagai tamu undangan. Disaat bersamaan, Cathy meminta mereka untuk tampil jika seandainya ada masalah yang akan terjadi.

Vincent bertanya-tanya kenapa mereka semua mau saja dijadikan sebagai alat cadangan?

Setelah bertanya lebih lanjut barulah dia mengetahui. Sang penyanyi adalah sahabat karib Catherine sementara grup band yang diundang ternyata berada di agensi tempat sahabat Cathy bekerja.

Semakin lama dia mendengar mengenai tindakan Cathy, semakin besar kekagumannya.

Sangat langka gadis muda seumuran Cathy bisa memiliki kenalan yang tidak biasa dan sanggup menyiapkan beberapa rencana cadangan dalam mengerjakan sesuatu.

Apakah mungkin karena Catherine mempelajarinya dari Benjamin? Kalau memang benar, maka Vincent sangat memuji kepintaran Catherine yang cepat dalam menangkap sesuatu yang diajarkan.

"Lalu bagaimana dengan bahan masakan untuk besok?"

"Itu dia masalahnya. Sampai saat ini Catherine terus berusaha menelepon tiap-tiap pemasok persediaan bahan makanan. Anehnya, tidak ada satupun yang mau membantu."

Pasti ulah Clarissa. Pikir Vincent. Kemudian mengambil ponselnya untuk mengirim pesan pada timnya.

-

Di dalam kamar hotel, Cathy duduk di meja rias sambil menggenggam ponselnya dengan erat. Jika seandainya dia memiliki kekuatan super, sudah pastilah ponsel yang digenggamnya hancur berkeping-keping.

Tanpa sadar Cathy menggigit bibirnya dengan keras. Dia merasa jengkel dengan para pemasok yang sudah lama bekerja sama dengan Star Risen.

Mengapa sulit sekali membuat mereka mengirim bahan makanan yang mereka butuhkan? Dia bahkan tidak meminta yang sulit ataupun dalam jumlah besar. Dia hanya menginginkan beberapa jenis sayur dan rempah-rempah untuk segera dikirim ke Pulau Pina.

Tapi mereka semua menolaknya dengan alasan yang sama.. yaitu bahan-bahan yang mereka miliki telah habis. Seseorang telah membelinya dalam jumlah yang besar sehingga sangat sulit untuk mengirimkannya dalam waktu satu hari.

Dia harus menunggu tiga hari baru bisa mendapat bahan yang diinginkannya.

Bibir Cathy mengeluarkan darah dan dia sama sekali tidak mengurangi tekanan gigi yang menancap bagian bawah bibirnya.

Alasan mereka semua sama sekali tidak bisa diterimanya. Mana mungkin di waktu bersamaan semua persediaan yang mereka miliki dibeli oleh seseorang tanpa sisa.

Terlebih lagi dia menghubungi lebih dari sepuluh pemasok bahan makanan dan mendapatkan jawaban yang sama.

Cathy bisa merasakan suatu cairan masuk kedalam mulutnya namun dia tidak melepaskan gigitannya. Tanpa disadarinya air mata lolos dari tempatnya dan menetes ke bawah.

"KAKAK!!"

Saat itu juga Cathy tersentak dan melepaskan gigitannya. Dia melihat Anna berlari kearahnya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian tangan Anna menyentuh bibirnya yang terluka dengan sentuhan ringan.

Jantung Cathy terasa berhenti saat melihat adiknya menangis dengan keras.

"An..na.. Ada apa?"

"Ada apa?! Seharusnya aku yang bertanya! Kenapa kakak menyiksa diri sendiri? Lihat darah kakak terus mengalir." Anna segera mengambil tisu di ujung meja, duduk berhadapan dengannya dan mengelap darah yang masih keluar dari bibir kakaknya.

Cathy tidak pernah melihat Anna semarah ini membuat perasaan bersalahnya semakin membesar.

"Kenapa melukai diri sendiri? Apa kakak tidak tahu kalau kakak terluka aku akan merasa sedih?"

Cathy tidak sanggup berkata apa-apa melihat air mata yang mengalir di pipi Anna dengan tangan gemetar saat menyeka bibirnya.

Cathy menghapus air mata adiknya dengan ibu jarinya sebelum mengucapkan kata maaf.

Setelah yakin darah sudah berhenti keluar, Anna berdiri mengambil salep milik kakaknya kemudian mengoleskannya di bagian luka dengan lembut.

Biasanya Anna hanya melihat luka kecil atau ringan yang cepat mengering. Tapi kali ini dia bahkan bisa melihat bekas gigitan kakaknya. Kenapa kakak sulungnya suka sekali melukai dirinya sendiri tiap kali dia tertekan?

Merasa tak berdaya karena tidak tahu harus bagaimana untuk mengurangi tekanan kakaknya, sekali lagi Anna meneteskan air mata. Kali ini disertai dengan isakan.

Cathy mengusap kembali pipi adiknya yang basah dengan perasaan bersalah.

"Sudah, tidak perlu menangis kembali. Aku baik-baik saja. Sungguh."

Anna meletakkan kembali salep di atas meja kemudian menatap mata kakaknya. Dia yakin dia melihat kakaknya juga meneteskan air mata sebelum dia datang. Tapi sekarang dia tidak menemukan tanda-tanda kakaknya telah menangis.

Baik Anna maupun kedua adik kembarnya tidak pernah melihat kakaknya menangis. Bukan. Bagi mereka semua, kakak sulung mereka adalah orang yang kuat dan tabah. Cathy bukanlah orang yang mudah menangis ataupun cengeng seperti mereka.

Tapi sekarang... dia bertanya-tanya.. apakah mungkin kakaknya memang tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya pada mereka?

Lamunannya buyar seketika saat melihat senyuman lebar pada wajah kakaknya.

"Kau tahu, bagaimana kalau malam ini kita berempat tidur bersama?"

"Ini kan bukan hari Sabtu."

"Memangnya kita tidak boleh tidur bersama kalau bukan hari Sabtu?"

"Tidak juga... Baiklah. Aku akan memanggil Lina dan Lizzy kemari."

Anna bangkit berdiri meninggalkannya sendiri. Cathy merasa lega melihat adiknya pergi untuk sementara waktu. Dengan begitu dia bisa menenangkan dirinya.

Cathy berjalan kearah jendelanya yang terbuka. Langit tampak gelap dan hanya terdengar suara serangga di bawahnya. Dia beserta adik-adiknya tidur di kamar yang bersebelahan di lantai tiga. Kedua kamar mereka ada pintu penghubung yang bisa dengan mudah masuk ke kamar lain tanpa harus keluar kamar.

Saat ini si kembar pasti bermain di daerah permainan. Anna juga seharusnya bersenang-senang bersama mereka; dia juga.. seharusnya menyusul mereka untuk menghabiskan waktu bersama-sama.

Tapi kenapa... kenapa hari ini dia tidak bisa melakukannya? Kenapa hatinya terasa berat saat ini?

Sekali lagi Cathy mengarahkan pandangannya ke arah langit yang bewarna hitam di matanya.

"Aku tidak tahu kau siapa. Aku tidak tahu apakah kau ada disana. Tapi, jika kau memang ada... kumohon.. sekali ini saja.. Bantu aku." ucapnya ke arah langit dengan lirih.

Tidak lama kemudian pintu kamarnya terbuka dan ketiga adiknya masuk ke kamar dengan senyuman ceria.

Cathy berusaha melupakan masalahnya untuk beberapa jam kedepan. Dia tidak ingin membuat ketiga adiknya khawatir dan ingin segera membuat mereka tertidur.

Setelah banyak bercerita, si kembar mulai terasa ngantuk dan terlelap. Begitu juga dengan Anna sudah terlihat tidak kuat lagi untuk tetap terjaga.

Melihat ketiga adiknya telah tertidur pulas, Cathy bergerak bangun dan hendak beranjak dari ranjangnya. Tiba-tiba tangannya ditahan oleh sesuatu.

Cathy menoleh ke arah tangan Anna yang kini menggenggam sebelah tangannya.

"Kakak.. jangan terlalu memaksakan diri. Tidak bagus kalau dipendam terus." gumam Anna masih dengan mata terpejam.

Cathy tersenyum merasa hangat mendengar suara adiknya. Secara perlahan Cathy melepaskan genggaman adiknya dan mengecup kening adik-adiknya satu per satu sebelum berjalan keluar kamar dengan membawa ponselnya.

Cathy berjalan melintasi koridor lantai tiga menuju ke lift dan turun ke lobi utama. Kemudian dia berjalan masuk ke belakang menuju ke halaman yang dipenuhi dengan tanaman bunga.

Cathy memutuskan untuk duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu jati yang berada di tengah-tengah taman.

"Tidak bisa tidur?" sahut seseorang

"Begitulah. Kau?"

"Aku jarang tidur awal."

Tanpa minta izin, Vincent langsung duduk disampingnya membuatnya harus bergeser sedikit agar bahu mereka tidak bersentuhan.

Vincent juga menyadari gerakannya tapi dia membiarkannya dan tidak merasa tersinggung terhadapnya.

"Bagaimana hasilnya? Apakah acara pembukaan besok bisa berjalan dengan lancar? Aku dengar beberapa tamu undangan telah tiba di hotel ini tadi siang."

"..." Awalnya Cathy sangat yakin bahwa acara besok akan berjalan dengan lancar dan sempurna.

Sekarang.. dia sudah tidak yakin. Dia merasa ada beberapa keganjalan dari peristiwa ini. Dia merasa seperti ada seseorang yang sengaja ingin merusak acara besok.

Jika memang begitu... Cathy sama sekali belum siap menghadapinya. Ini pertama kalinya dia dihadapkan situasi seperti ini. Ini pertama kalinya diberikan tanggung jawab yang sangat besar. Ini pertama kalinya dia merasa tak berdaya dan ingin berteriak sekencang-kencangnya dari dalam lubuk hatinya.

Apa sebaiknya dia melaporkan situasi ini pada pamannya? Apakah pamannya akan memarahinya? Membencinya? Atau... apakah dia dan adik-adiknya akan diusir dari rumahnya?

Entah kenapa dia merasa takut memikirkan kemungkinan yang ia pikirkan.

Sebelumnya dia tidak peduli kalau pamannya membenci mereka. Dia juga tidak peduli jika pamannya akan mengusir mereka sewaktu-waktu. Dia bahkan sempat berpikir untuk pergi dan melepaskan diri dari perlindungan pamannya.

Lalu sekarang... kenapa dia merasa takut? Bukan. Dia tidak takut kalau dia akan diusir. Dia tidak takut kalau dia akan dimarahi ataupun diberi hukuman.

Tapi dia takut... kalau Benjamin akan membencinya beserta adik-adiknya. Dia takut kehilangan sosok seorang ayah untuk kedua kalinya.

Tanpa sadar Cathy menggigit bibirnya sekali lagi hingga luka sebelumnya yang belum mengering, terbuka kembali.

"Hei, kau akan terluka jika kau menggigit bibirmu seperti itu."

Cathy baru saja ingat bahwa dia tidak sedang sendiri. Dia menoleh ke arah pemuda itu dan langsung memalingkan wajahnya. Dia memejamkan kedua matanya mencegah air mata keluar dari tempatnya.

Sementara itu Vincent merasa kehabisan kata-kata melihat mata yang berkaca-kaca pada gadis itu. Apakah gadis itu menangis? Apakah dia merasa kesakitan?

Tentu saja dia akan merasa kesakitan jika menggigit bibir bawahnya dengan keras. Vincent hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti isi pikiran orang yang duduk di sampingnya.

Tidak begitu banyak bintang, tapi masih ada beberapa bintang yang terlihat. Suasana juga sangat sunyi seperti tidak berpenghuni. Baik Vincent dan Cathy memutuskan untuk diam tak bersuara menikmati angin malam yang tak terlalu dingin.

Tidak. Sebenarnya sangat dingin bagi mereka, tapi karena mereka berdua sudah memakai jaket tebal maka mereka masih bisa bertahan.

Anehnya, mereka berdua sama sekali tidak merasa canggung atau merasa tidak nyaman. Justru sebaliknya.. mereka merasa sangat nyaman dengan keberadaan satu sama lain.

Mereka mungkin belum saling mengenal dan hanya bertemu beberapa kali saja. Tapi saat itu.. mereka sedang tidak ingin sendirian dan tidak keberatan dengan kehadiran seseorang disisi mereka.

Next chapter