webnovel

Unknow

Wanita cantik yang rambut panjangnya dibiarkan tergerai berwarna pirang itu, berjalan ke arah sofa. "Kau tidak ingin bertemu dengan istri dan anakmu?"

Laki-laki berambut cokelat yang tengah duduk di atas nakas itu tersenyum sinis. "Nanti mereka akan kembali."

Wanita itu terlihat terkejut. "Aku kira mereka akan menetap di sana." Dia mendudukkan dirinya di atas sofa.

Laki-laki itu tertawa. "Sudah waktunya untuk mereka kembali."

Wanita itu melihat dua makhluk yang tewas bersimbah darah dengan wajah yang menghitam. "Apa kesalahan mereka?"

"Tidak dapat membunuh jenderal Nehan." Laki-laki itu turun dari nakas, berjalan mendekati kedua mayat yang mati di tangannya, lalu menginjak salah satu kepala. "Carlen memang tidak mudah dikalahkan."

Wanita itu mengedikkan bahu, tidak begitu peduli. Pemandangan seperti ini sudah biasa. Laki-laki vampir itu suka sekali membunuh. Satu saja kesalahan, nyawa melayang.

"Sekarang semua mata tertuju padamu. Pack werewolf semakin memperkuat penjagaan. Bahkan Kerajaan Appalachia melatih semua warga vampir pria dengan ilmu keprajuritan. Pergerakanmu sekarang sangat terbatas."

Laki-laki itu tertawa mendengar penuturan wanita berambut pirang itu. "Kau benar. Tandanya mereka siap untuk berperang. Selama ini mereka terlalu santai. Sampai menangani masalah kecil seperti ini lama sekali. Untuk mencari keberadaanku saja tidak bisa." Dia berkata dengan nada mencemooh.

"Segera katakan, apa yang ingin kau sampaikan. Jika tidak penting, aku akan membunuhmu. Aku tidak main-main," ucap laki-laki berambut pirang yang berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka itu. Tidak berniat masuk ke dalam ruangan.

Keduanya menoleh, tampak terkejut dengan kehadiran laki-laki yang mengenakan kaos berwarna biru dongker itu yang tiba-tiba berkata dengan penuh ancaman.

"Oh, Darren, makhluk menyedihkan yang ada di dunia ini," ucap laki-laki berambut cokelat itu mengejek. Wanita di sampingnya menahan tawa.

Darren menghela napas kasar. "Sungguh, aku ingin sekali membunuhmu, tapi tidak sekarang, bersyukurlah." Dia hendak melangkah pergi, tetapi Ferin menahan lengannya. "Apa?"

"Ini tentang putri Lucia." Ferin tersenyum miring.

Darren mengerutkan kening. "Dia sudah tiada!"

"Jika tidak, bagaimana?"

Darren menatap datar. "Jangan bicara omong kosong."

"Masuklah, jangan di sini. Nanti ada yang dengar. Kau bisa membunuhku sekarang, jika apa yang kusampaikan ini tidak penting menurutmu," ujar Ferin meyakinkan.

Darren menghela napas panjang. "Oke, baiklah." Dia memelesat duduk di depan wanita cantik itu.

"Apa kabar, Pangeran?"

"Aku sangat benci panggilan itu." Darren mendengkus kesal. Ferin dan wanita itu tertawa. "Cepat katakan! Membuang waktuku saja." Darren tidak sabar.

Ferin memberikan selembar kertas pada Darren.

"Ramalan? Oh, aku muak sekali. Kenapa akhir-akhir ini semua makhluk immortal membicarakan ramalan ini." Darren menatap malas kertas pemberian laki-laki berambut cokelat itu.

"Itu menyangkut putri Lucia."

"Putri Lucia telah tiada!" seru Darren malas. Sungguh, sepertinya Ferin sangat terobsesi dengan putri Lucia.

"Dia masih hidup," tutur Ferin serius. "Coba kau cari tahu. Percayalah padaku. Bukankah kau juga berharap dia masih hidup?" Pertanyaan itu sangat menusuk relung hati Darren.

"Oh, apa kau belum bisa melupakan putri Lucia?" tanya wanita itu. Dia harus melakukan apa pun supaya Darren mau bergabung dengan mereka.

Darren memegang erat kertas di tangannya seraya tersenyum miring. "Kalian sangat tahu kelemahanku."

"Kasihan. Percayalah dia masih hidup." Ferin terus menggempur pertahanan Darren.

"Apa buktinya? Jelas-jelas ada kuburannya. Lalu putri Noura yang sekarang?" Seketika Darren berharap ini kenyataan, putri Lucia masih hidup, tapi dia tidak mau terlalu berharap.

"Dia memalsukan identitasnya."

"Tidak mungkin. Untuk apa?"

"Karena aku."

"Kau memang menakutkan."

Ferin tertawa jemawa.

Wanita berambut pirang mengamati wajah Darren yang terlihat muram. "Kau masih mencintainya? Jangan-jangan kau kabur dari istana karena marah pada takdir?"

Darren menatap wanita itu tajam. "Jangan bicarakan itu!" ucap Darren dingin. Wajah muramnya berubah menjadi sangat dingin.

Wanita itu menelan ludahnya. Dia tidak mau mati di tangan Darren.

"Tenang. Percayalah. Ini bukan hanya sekadar harapan palsu. Kenapa kau tidak memastikannya sendiri?" Ferin menatap Darren lekat.

"Aku? Kau menyuruhku ke Kerajaan Appalachia?" Darren menatap Ferin tidak percaya.

Ferin mengangguk. "Sebentar lagi peringatan kematian raja Alison, ratu Cassie, dan putri Lucia. Kenapa kau tidak datang ke sana?"

Darren terdiam, berpikir sejenak. "Kenapa aku harus ke sana?"

"Kau tidak merasa aneh dengan putri Noura yang sekarang? Dia sangat mirip dengan putri Lucia." Wanita itu memberanikan diri untuk berbicara, setelah beberapa menit dia diam.

"Mereka kembar, wajar wajahnya mirip," jawab Darren malas. Sungguh, dia sangat malas ke Kerajaan Appalachia.

"Bukan wajah, tapi kepribadiannya."

Darren bungkam.

"Datanglah ke sana. Temui putri Noura yang sekarang. Pasti kau akan mengerti apa maksud dari ucapan kami," ucap Ferin dingin. Terdengar seperti perintah yang tidak ingin dibantah.

***

Menindaklanjuti kerja sama dengan Redwood Pack. Dari kemarin Carlen terus mengadakan rapat dengan para pejabat istana. Semuanya sudah siap, apabila penyebab dari semua kekacauan ini merupakan perbuatan vampir atau bahkan ada pengkhianat di dalam istana.

Belum selesai syok mendengar fakta bila di Hutan Tongass terjadi pemburuan hewan langka secara besar-besaran. Sekarang, istana dikejutkan dengan jenderal Nehan yang ditemukan sekarat di pinggir hutan. Jenderal Nehan ditugaskan oleh Carlen untuk memantau terus pergerakan Ferin dan anak buahnya.

"Keadaan jenderal Nehan telah membaik, Yang Mulia," ucap Aaron.

"Ini hanya peringatan darinya. Seolah dia menunjukkan, kalau dia terus memantau kita." Carlen mengembuskan napas. "Apa Anda sudah dapat menghubungi Darren?"

"Belum, Yang Mulia. Saya hilang kontak dengannya selama satu bulan ini." Vander memandangi ponselnya yang tidak kunjung mendapatkan balasan dari Darren.

Noura terdiam, dia berkutat membaca buku yang ada di tangannya. Pantang menyerah dalam mempraktikkan ilmu yang tertulis di buku.

"Sudah dua minggu lebih, Tuan Putri." Aaron berkata dengan nada heran.

Semua mata tertuju pada Noura yang duduk di sofa bagian paling pojok di samping Letizia. Noura mendongak, menatap Aaron datar.

"Jangan terlalu dipaksakan," kata Carlen seraya meminum gelas berisi darah manusia. Semenjak menikah, Carlen memilih minum darah melalui gelas atau botol. Darah tersebut didapatkan dari budak manusianya dengan cara transfusi darah. Sekarang pun banyak vampir melalukan hal yang sama dengannya. Walau tidak dimungkiri, masih ada beberapa vampir yang lebih suka meminum langsung dari budak manusianya, karena jauh lebih segar.

Vander mengerutkan keningnya. Dulu saat Noura menyelamatkannya, gadis itu kehilangan banyak tenaga. Hanya butuh waktu dua hari tenaganya pulih kembali. Kenapa sekarang tidak? Padahal hampir tujuh hari.

Noura menghela napas. Dia juga tidak tahu, kenapa tenaganya tidak kunjung membaik. Biasanya dia sangat cepat dalam mempelajari ilmu baru. Ini sudah hampir dua minggu lebih, dia sama sekali belum menguasai ilmu yang sedang dia pelajari.

"Kita akan ke Redwood Pack, jika kamu sudah menguasai ilmu tersebut." Noura mengangguk mendengar ucapan Carlen. "Juga setelah Nancy datang dan Vander ke Kerajaan Hamakua."

Letizia menepuk pundak Noura memberikan semangat. Noura tersenyum.

Carlen memejamkan mata, samar-samar dia mendengar suara. Dia mempertajam indra pendengarannya, berusaha menjangkau suara yang sangat dia kenali itu.

Noura, Letizia, Vander, dan Aaron menatap Carlen dalam diam. Mereka tidak mau mengganggu konsentrasi sang raja yang sepertinya sedang mendengar sesuatu.

Carlen membuka mata, iris mata merahnya berkilat tajam. Semua yang ada di ruangan bergidik ngeri.

"Ada apa?" tanya Noura pelan. Dia selalu takut bila kakaknya itu dalam pengaruh kekuatan vampir.

Carlen mengembuskan napas. "Sepertinya saya mendengar suara dia." Semuanya melebarkan mata syok. "Dan juga Darren." Semuanya kompak menganga. "Kita harus siap. Kemungkinan Darren akan datang ke sini, sebagai mata-mata?"

"A-apa?" Vander tergagap. Adiknya itu menjadi budak Ferin? Astaga, memalukan!

"Dia menyuruh Darren ke sini untuk mencari tahu kebenaran identitas aslimu." Carlen bertelepati dengan adiknya. Tubuh Noura menegang.

"Anda dapat mendengar percakapannya, Yang Mulia?" tanya Aaron.

Carlen mengangguk. "Mungkin dia sudah dekat dengan kita."

Vander memijit dahinya. Rasanya dia ingin sekali mengomeli Darren.

"Aku ingin ke kamar." Noura berjalan keluar. Lebih baik dia istirahat. Kepalanya mendadak terasa pusing.

Carlen menatap punggung Noura yang sudah tidak terlihat. Setelah yakin Noura telah berada di kamar dan tidak akan mungkin mendengar ucapannya. Carlen mengajukan pertanyaan yang selama ini menggerayangi pikirannya. "Apa Alpha Orlan telah menemukan mate-nya?"

Pertanyaan Carlen membuat Letizia, Vander, dan Aaron terkejut bukan main. Baru kali ini sang raja bertanya mengenai kehidupan bangsa werewolf.

"Saya tidak tahu, Yang Mulia." Vander menggeleng.

Carlen menatap Aaron yang berdiri di sampingnya. Pengawalnya itu biasanya mengetahui berita mengenai bangsa lain.

"Sepertinya belum, Yang Mulia. Jika sudah, pasti Redwood Pack mengumumkan kehadiran Luna mereka," jawab Aaron.

"Setahuku juga belum." Ratu Letizia mengiyakan jawaban Aaron.

Carlen mengembuskan napas panjang. "Benar dugaanku," gumam Carlen pelan, tetapi masih dapat didengar oleh yang lain.

"Dugaan apa, Yang Mulia?" tanya Vander dan Aaron kompak.

Carlen tidak menjawab, hanya menutup wajahnya frustrasi.