webnovel

Di Sisinya

"Jadi Putra Mahkota Vander akan datang ke sini?" Suara jeritan Leon memekik nyaring.

Orlan berdecak kesal. Leon kagetnya terlalu berlebihan. "Iya."

"Kapan?"

"Saya tidak tahu."

Leon mengembuskan napas. "Apa hasil dari rapatnya? Bisa jelaskan pada saya?"

Orlan menghela napas. Saat ini, dia dan Leon sedang melakukan panggilan video melalui laptop. Orlan memberi tahu Leon bila putra mahkota Vander akan datang ke Hutan Tongass untuk membantu menyelidiki kasus pemburuan hewan langka.

"Banyak Alpha. Kami sudah cerita pada Alpha Revazio, Anda tanya saja padanya." Mata Dafa berkilat jenaka. Orlan hanya melirik Dafa yang sedang duduk di sampingnya. Dafa itu selain menjadi Beta-nya, laki-laki itu juga bisa dianggap sebagai jubirnya. Karena terkadang Orlan malas bicara panjang. Apalagi menjelaskan dua kali, kemarin mulutnya sudah capek menceritakan semuanya kepada Revazio. Sekarang dia serahkan pada Dafa biar beta-nya saja yang cerita ke Leon.

Leon memelotot tajam. "Masa saya tanya pada Revaz! Saya sudah bilang, bukan? Saya itu pergi ke Kerajaan Hamakua selama tiga hari. Di sana tidak menerima keberadaan teknologi. Sangat susah untuk mendapatkan sinyal. Bahkan ponsel saya dan Winko disita. Coba saja kalian ke sana dan tadi pagi saya baru sampai di pack."

Dafa terkekeh. Rasanya senang sekali membuat Alpha yang satu itu marah. "Iya, akan saya ceritakan. Saya sangat mengerti Alpha Leon, tetapi kemarin malam saya melihat, Anda video call-an dengan Arva? Apa saya salah lihat?" Dafa menahan tawa melihat wajah Leon yang sempat terkejut.

Leon menatap Dafa datar. "Iya. Iya. Memang benar. Kau seperti tidak tahu saja aku dan Arva itu bagaimana!"

Dafa terkekeh.

Orlan menyenderkan badannya pada sandaran sofa, dia malas mendengar perdebatan tidak jelas kedua makhluk tersebut. Dafa yang jail dan Leon yang emosional. Untung Leon tidak pernah menyakiti atau membuat Arva menangis. Kalau dia mendengar Arva menangis gara-gara Alpha emosional itu, dia tidak akan segan-segan membunuh Leon dengan kedua tangannya.

Dafa menjelaskan semuanya. Leon mengangguk paham.

"Alpha-mu itu memang sangat malas bicara, ya." Nada suara Leon seperti menyindir. Matanya melirik Orlan yang sedang membaca berkas entah apa dengan sangat serius.

Orlan mendengar ucapan Leon yang membawa-bawa namanya, dia melirik ke arah laptop. Menatap Leon sangat tajam.

Leon menyengir. "Maaf, Kakak Ipar."

Dafa terkekeh melihat wajah Leon yang memelas memohon ampunan Orlan. Lagian kalau bicara suka seenaknya saja. Seperti tidak mengetahui saja bagaimana sifat Orlan.

"Orlan, aku merindukan mate-kita." Jay berbicara lirih.

Orlan langsung berdiri tegak. Dia meletakkan kertas tebal yang sedang dia baca ke atas meja. Hari ini dia belum menghubungi Noura. Sudah empat hari Noura tidak ke kafe karena masih istirahat untuk memulihkan tenaganya.

Orlan melirik Dafa yang masih berdebat dengan Leon. Dari dulu Dafa dan Leon memang tidak pernah akur. Bila bertemu dan mengobrol, seperti kucing dan anjing, berantem terus.

Orlan melangkah menuju halaman yang berada di belakang ruang kerjanya, terdapat hamparan taman yang sangat luas. Taman ini bukanlah taman yang Noura kunjungi saat itu. Orlan belum pernah mengajak Noura ke taman ini. Sama indahnya dengan taman yang sangat rahasia itu. Mungkin suatu hari nanti, setelah Noura menjadi Luna di pack ini. Orlan tersenyum membayangkan hal itu. Noura akan menjadi Luna-nya.

Orlan mengambil ponsel yang ada di saku kemeja. Mencari kontak nama Noura. Baru saja dia akan memencet nomor ponsel Noura. Dia baru ingat, Noura sedang istirahat. Tidak boleh menggunakan kekuatan dalam satu minggu ini. Orlan pun akhirnya mengirim pesan.

Beberapa menit kemudian, bukan pesan balasan yang dia terima, melainkan ponselnya berdering tanda ada telepon masuk. Saat dia melihat nama yang terpampang di layar. Dia mengerutkan kening, tak lantas senyum terbit di wajah tampannya. Dia segera menggeser tombol hijau.

"Halo?"

Orlan tersenyum mendengar suara mate-nya itu. "Bagaimana keadaanmu?"

"Membaik. Tidak perlu cemas. Aku merupakan vampir murni." Noura terkekeh pelan.

Orlan tersenyum. "Kenapa menelepon? Bukankah kamu dianjurkan untuk tidak menggunakan kekuatanmu?"

Noura mengembuskan napas, tangannya sibuk menggambar pola abstrak di permukaan kaca. "Aku malas mengetik. Lagi pula, ini hanya sebentar. Tidak akan menggunakan tenagaku terlalu banyak."

Orlan tersenyum kecut. Apa tadi alasannya? Malas mengetik? "Aku kira karena kamu merindukan suaraku."

Noura mendelik mendengar ucapan Orlan yang terdengar sangat percaya diri itu. "Tidak, aku memang malas mengetik."

Orlan tersenyum geli seraya membayangkan wajah Noura yang cemberut. "Ya, sudah, istirahatlah. Biar cepat pulih."

"Orlan." Noura berucap ragu. Dia bingung, apa dia harus memberi tahu pada Orlan tentang Ferin?

Orlan mengerutkan kening, mendengar Noura yang memanggilnya lirih. "Ya? Kenapa? Kamu membutuhkan pelukanku?” Iris biru Orlan berkilat jenaka.

Noura kembali mendelik. “Tidak, Terima kasih.” Orlan suka sekali menggoda. “ Itu, Ferin." Noura menggigit bibir bawahnya. "Dia sepertinya menuju ke sini."

"Hah?"

"Aku hanya ingin memberi tahu. Agar kalian mempersiapkan diri. Jangan beritahu pada siapa pun, jika kamu tahu dariku."

"Iya, aku mengerti." Orlan menggeram marah. Sial. Vampir licik itu kembali muncul. Orlan menyesal, kenapa dahulu dia tidak bisa membunuh vampir itu! Padahal saat perang kedua terjadi, dia dan Jay berjanji akan membunuh Ferin yang telah menyebabkan perang kembali terjadi, tetapi dia tidak menemukan Ferin di mana pun itu. Dari berita yang santer terdengar, Ferin berhasil membunuh putri Lucia dan bertarung hebat dengan raja Alison. Orlan tidak tahu, apa yang Noura dan Carlen rasakan ketika tahu Lucia mati di tangan Ferin. Pasti rasa benci dan dendam mereka berdua kepada Ferin jauh lebih besar darinya dan makhluk immortal lainnya.

"Aku tutup, ya. Nanti aku akan balas pesanmu, tapi saat malam." Noura langsung memutus sambungan teleponnya. Tidak menunggu jawaban dari Orlan. Dia malu sekali setelah mengatakan hal seperti itu pada Orlan. Apalagi ini pertama kalinya dia yang menelepon Orlan terlebih dahulu.

Orlan tersenyum memandangi layar ponselnya. Apa ini artinya, Noura telah menerima kehadiran dirinya? Kesabarannya sudah terbayarkan dengan melihat keterbukaan Noura padanya. Rasa cinta Orlan pada Noura semakin menggebu-gebu.

Orlan ingin Noura ada di sini bersamanya. Jadi ketika dia merindukan mate-nya itu, Orlan tinggal memeluknya. Tidak seperti sekarang, mereka terpisahkan oleh jarak dan waktu. Sungguh, menyiksa.

Orlan memandangi foto Noura yang mengenakan mantel cokelat dengan menunjukkan senyumnya yang begitu manis, membuat jantung Orlan kebat-kebit dan perasaan rindu ini semakin membesar. Dahulu galeri ponselnya dipenuhi dengan foto pemandangan, sekarang berganti dengan foto Noura yang dia dapatkan dari Noura atau dari Arva, dan ada juga foto hasil jepretannya yang diam-diam dia ambil ketika Noura sedang lengah. Kalau Noura tahu, apakah pujaan hatinya itu akan marah? Orlan memang mirip penguntit, ya?

**

"Apakah penyebab Lucia kekuatannya melemah, bukan karena terlalu banyak mempergunakan kekuatannya?" Carlen berbicara tanpa menoleh.

Jonas mengerjapkan matanya. "Anda juga merasakan ada yang aneh, Yang Mulia?"

Carlen mengangguk. "Saya menyesal baru membaca buku itu,"

Jonas mengembuskan napas. "Obat yang saya berikan selama ini sudah tidak lagi berfungsi. Jika dibiarkan, kekuatan vampir yang ada di dalam tubuh putri Lucia akan kalah dengan kekuatan lainnya."

Carlen mengangguk paham. Dia sudah tahu risiko itu. "Apa ini waktunya." Dia memandangi langit malam. "Apakah saya harus membiarkannya?"

Jonas menatap lekat sang raja yang sudah dia anggap seperti anak sendiri itu. Jonas sudah menjadi tabit istana sejak Kerajaan Appalachia dipimpin oleh Raja Alison. Dia akan terus mengabdi sampai ajal menjemputnya. "Apa pun itu, saya akan selalu membantu Anda, Yang Mulia. Semua keputusan ada di tangan Anda. Anda yang lebih mengerti, yang terbaik untuk putri Lucia."

Carlen mengembuskan napas berat. Jujur, dia tidak tahu keputusan seperti apa yang terbaik untuk adiknya itu. Meskipun dia merupakan raja. Carlen tidak boleh lupa, kalau dia merupakan kakak dari Lucia. Lucia adalah adik dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Carlen tidak mau mengambil langkah yang gegabah, yang hanya akan membuat adiknya itu semakin menderita.