webnovel

Pergi Ke Mana?

Demi menempati janjinya dengan Orlan yang tidak pernah lupa mengingatkan dirinya akan jalan-jalan pertama mereka. Mengantisipasi takut Carlen secara tiba-tiba datang ke kafe dan tidak menemukannya, akhirnya Noura memutuskan meminta izin Carlen. Butuh waktu selama tiga puluh menit untuk Carlen memperbolehkannya pergi.

Tentunya Noura tidak bilang akan jalan-jalan bersama Orlan. Karena Noura sedikit curiga, sepertinya kakaknya itu tahu tentang cincin hitam pemberian Orlan. Noura harus berhati-hati.

Apalagi sekarang sepertinya putra mahkota Vander telah menjadi mata-mata untuk selalu mengawasi Noura. Siapa lagi yang menyuruh kalau bukan Raja Carlen.

Sejak menjejakkan kakinya ke dunia manusia. Noura tidak pernah lupa menggunakan kekuatannya, yaitu mengedapkan suara supaya kakaknya itu tidak mendengar pada siapa saja dia berbincang. Karena kemampuan Raja Carlen yang dapat mendengar suara dari jarak ratusan kilometer itu, sungguh membuatnya kerepotan.

Noura mengenakan kaos polos lengan panjang berwarna biru muda yang dipadukan dengan jeans. Rambut cokelatnya selalu dia gerai.

Sekitar dua menit menunggu, sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan Noura. Keluarlah Orlan dengan menampakkan senyuman lebar.

"Maaf, sudah membuatmu menunggu." Orlan mengenakan kemeja. Lebih terlihat santai, biasanya Orlan selalu memakai setelan jas—jika datang ke kantor.

"Tidak, aku juga baru datang." Noura tersenyum. Dia segera masuk ke mobil. Dia tidak mau lama-lama di luar, bahaya jika ada vampir yang melihat mereka. Terlebih lagi, mata-mata Carlen ada di mana-mana untuk mengawasinya. Andai Noura mempunyai kekuatan agar tidak dapat dilihat, dia tidak perlu merasa ketakutan ketika bersama Orlan.

Orlan memutar balikkan mobilnya.

Noura memelotot. Menerka-nerka ke mana kiranya Orlan membawanya pergi?

Jalannya familier. Batin Noura. Selama lima menit menggali ingatannya. Satu tempat terlintas di pikirannya. Noura melebarkan matanya, lalu dia menggeleng. Daripada menebak-nebak, lebih baik dia bertanya. "Orlan, sebenarnya kita mau ke mana?"

"Redwood Pack. Kedua orang tuaku ingin bertemu denganmu," jawab Orlan santai. Berbanding terbalik dengan reaksi Noura yang sangat syok, ternyata dugaannya benar.

"Kedua orang tuamu sudah tahu tentang kita?" Noura tidak percaya. Mudah sekali bagi Orlan untuk memberi tahu kedua orang tuanya. Berbeda dengan dirinya yang harus sembunyi-sembunyi supaya tidak tertangkap radar pantauan kakaknya.

Orlan menghela napas panjang. Kalau bukan karena ayahnya melihat dia dan Noura di kafe, dan kedua orang tuanya tidak bertanya. Orlan juga tidak tahu, kapan dia akan memberi tahu hal ini kepada kedua orang tuanya. Ini diluar perkiraannya!

Namun, Orlan bersyukur karena kedua orang tuanya sudah tahu dan mereka menerima kehadiran Noura. Akhirnya Orlan tahu, ke mana dia akan mengajak Noura pergi yaitu, Redwood Pack. Itu pun atas usul kedua orang tuanya.

"Waktu itu papa melihat kita di kafe. Lalu cerita ke mama. Terus mereka bertanya padaku dan aku mengakuinya. Jadi mereka ingin bertemu denganmu." Orlan menjelaskan secara garis besar apa yang telah terjadi.

Noura mengangguk paham. "Mereka menerimaku?" Raut wajah Noura tampak keheranan sekaligus terkejut. Orlan mengangguk. Noura semakin heran. Andai reaksi kakaknya seperti itu dan sepertinya mustahil. Meskipun terlihat baik, Carlen itu agak sensitif dengan bangsa werewolf.

**

Perjalanan dari Hutan Appalachia menuju Redwood Pack memakan waktu hampir satu jam. Untung jalanan tidak terlalu macet.

Mereka tiba di rumah Orlan yang sangat megah. Di halaman rumah terdapat air mancur. Jarak antara pintu gerbang dengan rumah lumayan jauh. Noura selalu iri dengan siapa pun itu yang memiliki rumah. Dia ingin sekali tinggal di rumah. Karena dari lahir sampai sekarang, dia selalu tinggal di istana yang membosankan.

Maid membukakan pintu untuk mereka. Orlan menggenggam tangan Noura, Noura yang terkejut refleks menarik tangannya, lalu Orlan kembali meraih tangan Noura dan menggenggamnya erat.

Sesampai mereka di dalam. Mereka disambut dua orang yang terlihat sudah tua, tapi masih terlihat cantik dan tampan. Kedua orang tua Orlan itu duduk di sofa, sengaja menunggu kehadiran mereka berdua.

Mata Garneta berbinar-binar, lalu berjalan ke arah Noura yang mematung. "Ya, ampun. Aku sangat senang." Noura sedikit tercekik dengan pelukan erat yang Graneta berikan.

"Granet, kau ingin membunuh menantumu." Jorge menggelengkan kepala

Granet melepaskan pelukannya, dia terkekeh kecil. "Maaf, aku terlalu senang."

Noura tersenyum lembut. Garneta mengingatkannya pada ibundanya.

"Senang bertemu denganmu, Putri Noura." Jorge tersenyum ramah. Noura tersenyum kikuk. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Sudah lama dia tidak berinteraksi dengan makhluk lain, padahal sudah selama satu tahun dia bersama Arva dan beberapa minggu mengenal Orlan.

"Genggamannya bisa dilepas kali," ucap Graneta menggoda. Dia melirik Orlan yang masih menggenggam Noura, tampak seperti takut Noura kabur atau diambil oleh orang lain.

Noura tersenyum malu, pipinya merona. Orlan mendeham, lalu melepaskan tangan Noura.

"Oh, kau sangat mirip dengan mendiang putri Lucia." Graneta memperhatikan wajah Noura. Dia tidak bisa menemukan perbedaan antara Lucia dan Noura.

"Kau aneh. Jelas mirip. Mereka, kan, kembar," jawab Jorge malas.

"Aku pernah bertemu dengan mendiang putri Lucia. Dia pernah ke sini dengan mendiang ratu Cassie. Tepat dua hari sebelum terjadinya perang kedua." Wajah Graneta berubah murung. Dahulu hubungannya dengan ratu Cassie sangatlah dekat.

Noura tersenyum tipis. Dia teringat dengan saudari kembarannya. Noura menoleh ketika merasakan elusan lembut di kepalanya, Noura terpaku dengan perlakuan lembut yang selalu Orlan berikan dan mungkin ini saatnya Noura mengakui, Orlan terlihat semakin tampan ketika sedang tersenyum.

"Maafkan istriku, Putri Noura. Dia tidak bermaksud untuk membuatmu sedih," kata Jorge. Walaupun Noura terlihat biasa saja, tetapi di lubuk hati yang paling terdalam, pastilah Noura bersedih.

"Iya, maafkan Mama, Sayang. Mama hanya tiba-tiba merindukan Cassie." Graneta mengulas senyuman. Noura terenyak dengan ucapan Granet yang menyebut 'mama'.

"Panggil kami Mama dan Papa, oke? Anggaplah kami seperti orang tuamu." Garneta mengelus lembut kedua pipi Noura yang memerah. Noura mengangguk malu-malu.

"Iya, anggap kami orang tuamu. Kelak kamu akan menikah dengan Orlan, bukan?" Jorge melirik Orlan yang sedang tersenyum menatap interaksi Garneta dan Noura.

Orlan dan Noura sama-sama tercengang. Mereka terdiam. Jorge tertawa melihat reaksi keduanya, lalu dia mengatakan untuk tidak memikirkan ucapannya barusan.

"Ayo, masuk. Dari tadi kita berdiri di tengah jalan." Graneta menarik Noura. Orlan dan Jorge mengikuti dari belakang.

***

Orlan mengajak Noura ke taman belakang. Tempat rahasia yang hanya dapat dimasuki olehnya, Arva, dan Dafa. Taman ini dilapisi sihir yang amat kuat.

Di tengah taman, terdapat air mancur. Di samping kiri ada empat pohon apel yang sedang berbuah, lalu dibuat ayunan di antara dua pohon apel, dan kolam ikan dengan berbagai macam spesies. Di samping kanan ada dua pohon mangga dan satu pohon jeruk. Di sebelah pohon jeruk ada kandang kelinci berukuran besar yang terbuat dari besi, di dalamnya diisi kelinci dengan berbagai macam spesies dan warna.

Di belakang air mancur ada pekarangan yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman hias yang sedang bermekaran di antaranya bunga mawar dan bunga lily, lalu di depan air mancur ada dua bangku dan meja.

"Astaga, bagus sekali taman ini." Noura terkesima, dia melongo tak percaya ada taman seindah ini. Arva tidak pernah cerita kalau ada taman di dalam pack. Lagi pula, untuk apa Arva cerita? Kalau bukan karena Noura ialah mate dari Orlan, tidak mungkin dia tahu ada taman di sini.

Jika bukan mate Orlan. Noura mungkin tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di Redwood Pack.

"Sebenarnya taman ini tersembunyi. Tidak ada yang tahu letak pasti taman ini. Hanya aku, Arva, dan Dafa yang tahu." Orlan berjalan menuju kursi yang berada tepat satu meter dari air mancur.

Noura menyapu pandang sekeliling taman. Sangat luas, asri, dan indah.

Noura mengambil salah satu kelinci anggora yang bulunya berwarna cokelat putih itu. Dia menggendong kelinci tersebut dan duduk di kursi berhadapan dengan Orlan.

Orlan menatap horor Noura yang sedang menggendong kelinci seraya mengelus-elus kelinci tersebut.

"Kamu tidak berniat untuk meminum darahnya, bukan?" tanya Orlan memastikan. Bahaya kalau Noura tiba-tiba menyedot darah kelinci mungil tersebut. Bukannya apa-apa, semua kelinci itu merupakan milik Arva. Bisa mengamuk, kalau tahu kelincinya hilang satu. Sebab setiap kali ke sini, Arva akan ke taman ini untuk bertemu dengan semua kelinci peliharaannya itu.

Noura tertawa. "Tenang, aku hanya minum sehari sekali. Tadi pagi aku sudah minum. Kelinci ini sangat lucu, aku tidak tega meminum darahnya." Noura masih setia mengelus bulu kelinci tersebut.

Orlan menghela napas lega. Dia tidak akan terkena amukan Arva.

"Mau buah apel atau mangga? Aku bingung mau menawarkan apa." Orlan menggaruk kepalanya. Dia tidak tahu apa-apa tentang vampir. Lebih tepatnya, dia tidak tahu apa makanan yang sering dikonsumsi oleh vampir selain minum darah hewan atau manusia.

Noura menatap Orlan lurus. "Apel saja. Aku suka makan buah apel. Hanya buah itu yang kukomsumsi selain darah hewan." Noura tahu betul, pasti Orlan bingung makanan apa yang dia konsumsi selama ini.

Orlan berjalan menuju pohon apel yang berada di belakangnya. Dia mengambil galah untuk mengambil beberapa buah apel.

Noura meletakkan kelinci yang sedari tadi dia elus itu. Lalu duduk bersila di atas rumput-di samping kursi. Dia menyambut beberapa kelinci yang meloncat-loncat ke arahnya. Dia tertawa melihat tingkah lucu para kelinci.

Orlan memperhatikan Noura yang sedang berinteraksi dengan para kelinci. Dia tersenyum senang. Noura terlihat sangat ceria, tetapi sosok misterius tetap melekat pada dirinya. Sudah dua minggu mereka saling mengenal, tetapi Orlan merasa dia tidak tahu apa pun tentang Noura. Noura terlalu menutup diri. Mungkin karena Noura masih tidak percaya dengan kenyataan yang menyatakan kalau Noura merupakan mate Orlan.

"Orlan, aku baru ingat. Bukankah dahulu sebelum terjadi perang kedua, kita pernah bertemu dengan Putri Noura? Kenapa dahulu kita tidak mencium dan merasakan kehadiran mate dalam dirinya?" Jay berseru dalam pikirannya. Memecah konsentrasi Orlan yang sedang mengamati Noura.

"Benar, Jay. Aku juga baru ingat. Lalu kenapa sekarang kita merasakan kehadiran mate dalam diri Noura?" Orlan duduk di kursi. Matanya masih setia melihat Noura yang sedang duduk di atas rumput seraya mengelusi beberapa kelinci di pangkuannya.

"Itu dia. Aku curiga. Jangan-jangan Putri Noura yang sekarang, bukanlah Putri Noura melainkan putri Lucia?" Jay berspekulasi.

"Tidak mungkin, Jay. Putri Lucia telah meninggal. Kalau dia memang putri Lucia, untuk apa dia berpura-pura menjadi Noura?" Orlan tidak setuju dengan ucapan Jay yang sangat ambigu.

"Atau jangan-jangan yang dahulu bertemu dengan kita merupakan putri Lucia?" Jay kembali berspekulasi.

Orlan menghela napas panjang. "Tidak, Jay. Aku sangat ingat. Waktu perkenalan, dia mengaku namanya Putri Noura." Orlan masih ingat betul kejadian ratusan tahun silam itu, saat dia bertemu dengan Noura.

"Maumu apa, Orlan? Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Putri Noura yang dahulu kita temui sebenarnya ialah putri Lucia. Kedua, Putri Noura yang sekarang kita temui, bukanlah Putri Noura melainkan putri Lucia." Jay kembali memberikan pendapatnya. Yang selalu bertentangan dengan Orlan.

"Aku tidak tahu, Jay. Aku sangat pusing memikirkannya. Kau lupa dengan ucapan mama? Kalau putri Lucia pernah ke sini. Jikalau yang sekarang bersama kita ialah putri Lucia. Dia pasti akan bersikap biasa saja, tidak terkejut saat kubawa ke pack." Orlan menggeleng.

"Bisa saja dia hanya berpura-pura terkejut. Coba saja nanti kau tanya padanya. Ingat tidak, kalau kita pernah bertemu." Jay kembali menyuarakan pendapat.

"Orlan, aku ingin memetik bunga mawar itu. Apakah boleh?"