webnovel

Menguatkan

Hari kedua Orlan berada di Tongass Pack. Biasanya dia sangat semangat mengerjakan segala pekerjaan yang menyangkut bangsa werewolf, tetapi entah kenapa, sekarang dia merasa lesu dan tidak bertenaga.

Orlan menggeram kesal menatap pemandangan yang ada di depannya. Setelah dia amati selama dua jam, Winko itu suka sekali bermesraan dengan mate-nya, di mana pun itu. Memangnya tidak bisa di tempat lain?

"Izinkan aku untuk membunuhnya sekarang juga." Jay berteriak garang. Ini keempat kalinya Jay mengucapkan kalimat tersebut.

Orlan mendengus. Terkadang serigalanya itu suka tidak pikir kalau bicara.

Orlan sangat cemburu dan iri melihat siapa pun werewolf yang berduaan dengan mate-nya. Karena dia tidak bisa seperti itu dengan mate-nya. Harus sembunyi-sembunyi agar tidak ada yang melihat mereka. Sungguh, nasib yang malang.

Orlan melihat balasan pesan dari Noura. Senyum terbit di wajah tampannya. Hatinya menghangat. Sejak tadi wajahnya tertekuk masam, apalagi Noura sangat lama menjawab pesannya. Entah apa yang sedang mate-nya itu lakukan di sana. Sangat sibukkah?

"Aku ingin menikahi Arva secepatnya." Suara itu membuat Orlan berhenti mengetik, melirik Leon yang sudah duduk di sampingnya. "Kapan kau akan menikah?" Leon tersenyum miring, nada suaranya terdengar mengejek.

Orlan mendengus kesal. Dia mengabaikan Leon. Memilih kembali mengetik pesan dan mengirimnya pada Noura.

"Hei, kau dengar tidak?" Leon menyenggol lengan Orlan.

Orlan melirik Leon dengan tatapan tajam. "Dengar!" ucap Orlan geram. "Nikah saja, siapa yang melarang."

Leon menaikkan alisnya. "Ucapanmu terdengar tidak ikhlas."

Orlan menatap Leon sengit. Dia berkata tulus dari hati yang paling terdalam. Tadi Leon bilang apa? Tidak ikhlas? Dia tersinggung mendengarnya.

Leon tertawa, lalu merangkul bahu Alpha yang ada di sampingnya itu. "Tatapanmu itu sangat mengerikan kawan. Ke mana tatapan lembut yang kau berikan pada putri Noura? Berikan jugalah kepada yang lain. Sungguh, jika putri Noura melihat tatapan tajam mematikan milikmu itu. Aku percaya, dia tidak akan mau menerimamu." Leon berceloteh panjang.

Orlan sangat muak dengan ucapan Leon. "Kau sangat cerewet, Leon. Apa kau tidak sadar diri?" Padahal Leon sama saja dengan dirinya. Tidak ada bedanya. Suka menatap tajam orang-orang. Orlan tahu, Leon itu memang tidak pernah mengaca bila bicara.

Leon tertawa, lalu tawanya terhenti ketika melihat Winko bercumbu dengan mate-nya. Dia mengumpat kesal. Orlan mendelik, baru kali ini dia mendengar Leon mengumpat.

"Jika dia bukan Beta-ku, aku sudah membunuh dia dari dulu." Leon berucap geram.

"Yah, sama saja dengan Dafa." Orlan sudah biasa dengan pemandangan seperti itu. Bahkan Dafa selalu dengan sengaja mencium Luluna di depan matanya. Sialan memang makhluk satu itu. Rasanya dia ingin melenyapkan Dafa dari muka bumi ini. Sayangnya, dia masih membutuhkan Dafa yang merupakan seorang Beta.

Leon memiringkan kepalanya. "Ternyata kita senasib." Leon tersenyum miring.

Orlan melirik Leon sekilas. Malas menjawab ucapan temannya itu.

"Aku serius ingin mengajak Arva menikah. Aku sudah menahan selama tiga ratus tahun lebih. Aku sangat tersiksa." Leon berkata dengan nada serius disertai wajah yang penuh akan rasa penderitaan. Selama tiga ratus tahun dia dan Arva menjalin hubungan jarak jauh, walau mereka selalu bertemu dua minggu dalam satu bulan. Leon ingin menjadikan Arva sebagai Luan-nya.

Orlan menaikkan alisnya. "Aku tidak pernah melarangmu menikah dengan adikku!"

Leon menghela napas panjang. "Setidaknya kau bisa membantuku membujuk Arva agar kali ini mau menerima lamaranku. Lagi pula, kau sudah menemukan mate-mu."

Orlan terdiam. Memikirkan ucapan Leon. Kasihan Leon yang tersiksa dengan jarak jauh yang terbentang dalam hubungan mereka, tetapi tampaknya Arva biasa saja. Orlan mengembuskan napas. "Akan aku pertimbangkan."

"Pertimbangkan?" Leon menautkan alisnya. "Kau sungguh tidak berniat membantuku."

Orlan bangun dari duduknya mendengar suara Jorge yang memanggil. "Arva keras kepala. Kau tahu itu." Dia berjalan mendekati papanya dan sudah ada Revazio yang berdiri di depan pohon yang terdapat tanda darah vampir. Leon mengekor.

"Ada apa, Pa?"

Jorge menghela napas. "Kau akan ke Kerajaan Appalachia, bukan?" Orlan mengangguk. "Bagaimana jika kau katakan masalah ini pada raja Carlen? Pasti dia mau membantu kita."

"Benar juga," gumam Leon sembari menatap pohon yang ada di depannya itu.

"Ini ide dari Revazio. Kupikir juga tidak masalah. Hanya kau yang berhubungan baik dengan raja Carlen," ucap Jorge.

Orlan berpikir keras. "Baiklah jika seperti itu." Orlan mengangguk setuju. Membuat semuanya tersenyum senang. "Aku membutuhkan salinan berkasnya. Sekalian jika bisa, aku ingin membawa bukti darah ini."

"Oke, bisa diatur." Leon menyanggupi permintaan Orlan.

"Kita tinggal menunggu kabar selanjutnya darimu." Revazio terlihat senang pendapatnya langsung disetujui oleh Orlan. Karena Orlan itu selalu berpikir rumit, Orlan pasti akan memikirkannya secara sistematis dan ditelaah lebih dalam, sebelum menentukan setuju atau tidak.

Leon tersenyum kecut. Dia tahu, pasti Orlan langsung setuju agar cepat selesai. Karena sudah tidak sabar bertemu dengan mate-nya, putri Noura. Licik sekali. Dia juga ingin seperti itu!

**

Air berguguran dari atas langit. Hujan mendera membasahi bumi. Terlihat manusia berteduh di salah satu halte yang tak jauh dari kafe. Banyak pengunjung kafe yang datang dengan baju dan celana yang sedikit basah akibat terkena air hujan.

"Sudah lama tidak hujan." Arva melihat kaca yang berada di belakang tempat kasir. Kaca tersebut tertutup air hujan. Hari ini setelah mengantar keduanya Devin langsung kembali ke pack. Arva merasa gembira karena dia tidak lagi mendengar ocehan Devin yang menggombali wanita manusia.

Noura berdiri di samping Arva. Matanya juga tertuju pada satu titik yang sama dengan Arva. Saat hujan seperti ini, dia teringat dengan ibundanya. Dahulu dia dan ibundanya sering bermain di belakang istana yang merupakan hamparan padang rumput. Tempat untuk berlatih pedang, panah, dan senjata lainnya bagi para prajurit dan pengawal istana.

Ketika hujan datang, dia dan ibundanya akan menuju halaman belakang. Bermain di atas rumput yang basah, tanpa alas kaki dan membiarkan tubuh mereka terkena air hujan. Itu merupakan kenangan yang selalu terngiang dalam benaknya.

Sekarang, saat hujan tiba. Noura hanya akan berdiri di balkon kamar, menengadahkan tangannya membiarkan air hujan membasahi telapak tangannya. Tidak ada yang bisa dia ajak ke halaman belakang istana untuk bermain di bawah guyuran air hujan.

Arva menoleh, mendapati Noura yang wajahnya terlihat murung. Dia menepuk pundak tuan putri vampir tersebut. Noura seketika menoleh.

"Sedang memikirkan apa?" Arva menggeser tubuhnya menghadap Noura.

Noura mendesah pelan. "Hanya teringat ibunda." Dia menopang dagu dengan tangannya, tatapan matanya menyorot sendu.

Arva mengulum senyuman. "Aku tidak membayangkan, sahabat sejak kecilku ini kelak akan menjadi kakak iparku." Dia terkekeh di akhir kalimat.

Noura mengerutkan keningnya. Untung saja, dia selalu ingat untuk memakai kekuatannya saat bersama Arva. Mengantisipasi jikalau Arva membahas persoalan menyangkut hubungannya dengan Orlan. Bahaya kalau raja Carlen mendengarnya.

Noura tersenyum samar. "Ya, aku juga." Noura masih tidak percaya, kalau dia merupakan mate-nya Orlan. Selama bersama Orlan, Noura hanya menjalaninya saja. Waktu yang mampu menjawab, bagaimana akhir kisah cinta mereka. Noura tidak mau berandai-andai, dia terlalu takut bila tidak sesuai dengan keinginannya.

Arva menggenggam tangan Noura. "Percayalah, Lucia. Semua akan baik-baik saja. Jangan khawatir. Kami selalu berada di sampingmu. Kakak, ah, maksudku, Alpha Orlan pasti akan mengerti nantinya. Dia memang terkesan dingin, tapi dia sangat menyayangimu."

Noura sempat terkejut mendengar Arva yang mengucapkan nama aslinya. Memang hanya Arva dari kaum werewolf yang tahu siapa identitas aslinya. Sampai sekarang, Arva tetap memegang janjinya.

"Ya. Aku percaya kalian." Noura memejamkan matanya. "Aku sudah mempersiapkan diri, jikalau nantinya bangsa vampir menolakku." Dia tersenyum getir.

Arva menatap Noura dengan tatapan sendu. Dia tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada putri Lucia. Kenapa harus berpura-pura menjadi kembarannya? Terlihat sekali, beban berat yang ditanggung oleh tuan putri yang sedang bersamanya itu.

"Kamu tahu, susah sekali menjadi orang lain. Sikapku dan dia sangat bertolak belakang." Noura menghembuskan napas berat. Lalu dia memaksa tersenyum. "Aku tidak boleh mengeluh." Noura tertawa hambar.

Arva tersenyum miris. Mengeratkan genggaman tangannya, berusaha menyalurkan kekuatan pada sahabatnya itu. "Aku selalu mendukungmu. Jika kamu ingin bercerita, ingatlah, ada aku yang selalu siap kapan pun itu."

Noura membalas genggaman tangan Arva. "Terima kasih. Kamu juga, kita berbagi cerita."