webnovel

Memulai

Seorang laki-laki mengenakan jubah hitam itu yang berdiri di bawah pohon itu tercenung selama beberapa menit. Iris merahnya menyorot keheranan disertai kening yang berkerut-kerut melihat pemandangan yang sedang dilihatnya sekarang. Aneh dan misterius.

Teringat jelas di ingatannya dan tangannya pun masih dapat merasakan betapa beratnya pedang yang dia genggam untuk membunuh para makhluk yang menyerangnya secara berlomba-lomba dalam rangka ingin mencabut nyawanya.

Tiga hari lalu. Hutan ini menjadi saksi bisu peperangan antar bangsa vampir dan manusia serigala yang diikuti oleh beberapa bangsa immortal lainnya melawan bangsa penyihir.

Namun, hutan ini sama sekali tidak ada tanda-tanda telah terjadi pertempuran hebat yang menewaskan ratusan makhluk. Tidak ada bau bangkai dan tidak ada bau anyir darah.

Hutan ini hanya tampak berkabut sehingga tidak ada yang dapat dilihat. Hanya makhluk seperti dirinya dan mungkin manusia yang memiliki keistimewaan saja yang dapat melihat kabut pekat tak kasatmata yang menyelubungi hutan ini.

Dia memutuskan untuk melangkah lebih dalam. Berusaha mati-matian supaya indra penglihatannya dapat melihat sesuatu, entah itu darah atau tulang. Iris mata merahnya seperti senter yang menyala terang. Tanpa dia sadari, jarak sepuluh meter darinya, ada lima babi hutan yang masih belum menemukan tempat untuk bermigrasi–karena hutan ini sudah tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal–terkejut-kejut ketika mereka menangkap sinar merah yang berasal dari mata laki-laki itu. Secara serentak kelima babi itu lari tunggang-langgang, mereka masih dilanda trauma berat akibat perang yang berlangsung selama satu minggu itu.

Laki-laki berjubah hitam yang menutup kepalanya dengan tudung itu juga menajamkan indra pendengarannya yang tajam. Dia mengernyitkan keningnya kala mendengar suara dedaunan kering yang diinjak, tetapi dia tidak dapat melihat apa pun. Mungkin binatang? Ya, benar, tidak mungkin ada yang berani tinggal di hutan ini selain bangsa penyihir dan binatang. Dia sangat yakin, semua penyihir sudah tewas. Sehebat apa pun mantra sihir yang mereka miliki, mereka tidak akan bisa menang melawan ribuan makhluk immortal.

Laki-laki itu meringis lalu menendang akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah yang telah membuatnya tersandung itu dengan gemas. Sial. Rutuknya. Padahal dia mempunyai penglihatan yang tajam, tetapi entah kenapa di sini dia tidak dapat melihat apa pun. Terkutuklah penyihir yang telah menyelubungi hutan ini dengan kabut!

Kening laki-laki itu berlipat ganda. Bingung dengan ucapannya sendiri. Apakah benar, penyihir yang telah memasang kabut di hutan ini? Bukankah tadi dia meyakini, bahwasanya semua penyihir sudah meninggal? Lalu kabut ini ulah siapa?!

Laki-laki itu menghela napas panjang. Dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi setelah perang. Karena kemarin, ketika dia terbangun sudah berada di atas sofa di rumahnya dengan luka-luka yang mengering hampir di sekujur tubuhnya. Padahal seingatnya, dia sedang mencari keponakannya. Lalu hujan deras mengguyur hutan ini dengan petir yang menyambar-nyambar dan seluruh makhluk yang mengikuti perang langsung kocar-kacir mencari tempat berteduh.

Bagaimana caranya tiba-tiba dia sudah berada di rumah? Siapa yang membawanya? Ini masih menjadi sebuah misteri. Teka-teki yang dia harapkan dapat terpecahkan saat dia menginjakkan kaki di hutan ini.

Sebenarnya, ada satu lagi alasan dia datang ke hutan ini, yaitu untuk mencari anggotanya. Karena dia tidak dapat menemukan anggotanya baik di rumah maupun di markas. Apakah semua anggotanya telah tewas? Lalu tersisa dia seorang? Kalau benar, apa yang harus dia lakukan sekarang? Otaknya sama sekali tidak dapat berpikir.

Laki-laki itu menyerah. Dia sudah berada di tengah hutan, tetapi tidak ada yang dapat dia temukan. Semakin dalam, kabut semakin pekat. Sepertinya apa yang dia lakukan saat ini hanyalah sia-sia belaka.

Keyakinannya semakin menguat, kalau semua penyihir yang tinggal di hutan ini memang telah tewas. Malang sekali nasib mereka. Oh, jangan lupakan, seluruh anak buahnya juga tiada. Berarti sekarang dia benar-benar sendiri. Tidak, tidak, ada dia. Makhluk itu pasti akan menolongnya, bukan? Tunggu, apakah dia masih hidup? Dia kembali menghela napas panjang.

Sebelum pergi meninggalkan hutan, dia berjongkok dengan tangan yang meraba ke permukaan tanah di sekelilingnya. Dia masih penasaran. Walau sejauh dia melangkah, kakinya tidak bersentuhan atau menginjak sesuatu pun. Setidaknya satu saja. Entah itu satu jasad atau satu tulang; Entah itu jasad atau tulang penyihir ataupun anak buahnya. Indra penglihatannya mungkin tidak berfungsi, tetapi tidak dengan keempat indra lainnya.

Dia menggenggam erat tanah berwarna cokelat itu lalu mengendusnya lamat-lamat. Bau tanah. Beberapa kali dia mengambil segenggam tanah, tetap khas bau tanah. Tidak tercampur dengan darah. Dia menghela napas gusar.

Ke mana jasad mereka? Apakah sudah di makan oleh binatang pemakan bangkai? Kalau seluruh penyihir dan anak buahnya mati, berarti hutan ini dipenuhi oleh jasad. Tidak mungkin dalam waktu dua hari, para binatang secara rakus memakan seluruh jasad sampai tak bersisa. Setidaknya ada yang tertinggal, misal sepotong tulang?

"Ah, sial." Laki-laki itu mengumpat kesal. Dia memejamkan matanya. Lebih baik dia segera pergi dari sini. Dia takut matanya mengalami kerusakan karena berlama-lama di tempat gelap.

"Hai, F."

Laki-laki itu terkejut mendengar suara yang tidak asing itu. Dia mengedarkan pandangannya. Kemudian dia merutuki kebodohannya. Percuma. Dia tidak dapat melihat apa pun.

"Kabut ini menghalangi penglihatanmu?" Bersamaan dengan perkataan itu, cahaya putih menerangi sekelilingnya membuat kabut tak kasatmata menghilang. Sekarang laki-laki itu dapat sedikit melihat keadaan hutan yang seperti dugaannya, tampak seperti biasa, tidak ada tulang atau jasad yang berserakan. Tanah tetap berwarna cokelat dan pohon masih berdiri dengan kokoh.

"Heran?"

Laki-laki itu menatap lurus ke depan, dua orang wanita berjalan pelan ke arahnya.

"Bagaimana bisa, ya, tidak ada apa pun di sini? Ke mana jasad para penyihir yang tewas?" Wanita yang mengenakan gaun merah itu kembali berkata.

"Jangan tanya padaku."

Wanita itu terkekeh. "Kau ke sini sedang mencari anak buahmu?"

"Ya."

Wanita itu memandangi langit yang berwarna oranye. "Lupakan mereka. Mereka mati karena mereka lemah. Mulai hari ini aku yang akan membantumu."

Laki-laki itu menaikkan satu alisnya. "Dia?"

"Tewas." Wanita itu menggeleng miris. "Aku yang akan meneruskannya. Tujuan kita tetap sama, jangan sampai ramalan itu terjadi."

Laki-laki itu terdiam. Dia tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang akan membantunya. Lagi pula, wanita itu sama hebatnya dengan dia. "Oke."

Wanita dengan bibir merah merona seperti baru memakan bayi itu tersenyum semringah. "Keputusan yang bagus." Dia menoleh ke temannya yang berdiri kaku di sebelahnya itu. "Dia yang akan menjadi perantara di antara kita. Dia sudah lama bersamaku."

Laki-laki itu menatap wanita berambut sebahu berwarna pirang yang tersenyum ramah ke arahnya itu dengan dalam. "Oke."

Ratusan tahun berlalu sejak perang kedua terjadi. Kini, laki-laki yang masih setia mengenakan jubah hitam itu tersenyum bangga disertai mata yang berbinar-binar ketika melihat dua anak buahnya sedang bertarung menggunakan pedang di atas rerumputan, keduanya saling berusaha untuk tetap hidup. Pertarungan yang sangat sengit sekaligus menyenangkan.

"Kita berhasil lagi. Dengan begini, mungkin harapan kita akan tercapai." Laki-laki berambut hitam legam itu ikut tersenyum puas seraya menyedot darah manusia yang ada di botol.

"Ya."

Kedua laki-laki itu menoleh saat wanita berambut pirang itu datang dengan napas terengah-engah. "Hampir ketahuan, tetapi mereka berhasil kami pisahkan."

Laki-laki berjubah hitam itu menyeringai. "Kita lihat, bagaimana reaksi mereka melihat kinerjamu."

Wanita itu tersipu malu. Senang karena apa yang dia lakukan selalu diapresiasi oleh laki-laki yang merupakan ketuanya itu.

Laki-laki berambut hitam legam itu memberikan wanita itu tatapan tidak terbaca. "Istirahatlah."

Wanita itu mengangguk lalu pergi ke ruangannya.

"Carlen. Apa yang akan kau lakukan?" Laki-laki berjubah hitam itu terkekeh sinis.