webnovel

Alpha

Laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna hitam itu sedang memandangi dedaunan yang rontok dari ranting pohon. Musim gugur telah tiba. Jalanan dipenuhi oleh ribuan bahkan mungkin ratusan ribu daun dengan bermacam warna.

Mata biru lautnya mengikuti arah gerak terbangnya kumpulan dedaunan yang tersapu oleh angin.

Sesekali dia mengembuskan napas. Sudah hampir tiga puluh menit, dia berdiri di halaman belakang ruang kerjanya. Hidupnya sungguh membosankan dan kesepian.

Dia melirik jam tangan yang bertengger manis di tangan kirinya. Sekali lagi, dia mengembuskan napas. Dia mulai menyeret kakinya memasuki ruang kerjanya. Banyak pekerjaan yang harus segera dia selesaikan.

Baru saja dia membuka pintu, dia melihat penampakan yang selalu membuat dia lebih baik mati sekarang juga. Dia sudah tersiksa selama ratusan tahun ini. Sampai kapan dia harus merasakan sakit, tapi tak berdarah seperti ini. Sampai kapan?!

"Alpha," pekik seorang laki-laki yang ada di ruangan. Seorang wanita yang bersama laki-laki itu gelagapan. Mereka telah tertangkap basah oleh sang Alpha.

Laki-laki yang dipanggil Alpha itu memelotot tajam, dia masih setia berdiri di depan pintu menuju halaman belakang.

"Maaf, Alpha." Laki-laki yang tadi tertangkap basah itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Wanita yang tadi bersamanya telah keluar dari ruang kerja sang Alpha.

Laki-laki bermata biru itu berjalan masih mempertahankan tatapan tajam dan wajah marahnya. Karena dia memang sangat marah. Dia berdiri tepat di depan laki-laki yang tengah menunduk.

"Kebiasaan! Saya tahu kau memang sengaja mengejek saya." Suara Alpha tonenya terdengar menggelegar, tetapi itu tidak membuat lelaki di depannya merasa takut. Justru lelaki berambut hitam itu menyengir lebar.

"Saya tidak mengejek Anda. Saya memang tidak bisa menahannya. Percayalah pada saya, Alpha. Jika Anda telah menemukan mate Anda. Anda pasti juga akan seperti saya." Lelaki berambut hitam itu tangannya membentuk huruf V—tanda damai.

Laki-laki bermata biru yang merupakan Alpha dari Redwood Pack itu menatapnya tajam seolah dari tatapan matanya bisa membunuh orang yang ada di hadapannya.

Redwood Pack merupakan pack tertua dan keturunan werewolf pertama. Di pack ini tempat berkumpulnya werewolf yang terkenal akan kekuatannya dapat dengan mudah memisahkan kepala dari badan, pada siapa pun itu terutama musuh mereka.

"Kalau kau bukan Beta. Saya sudah membunuhmu sejak lama," geram Orlan. Sang Alpha yang terkenal berhati dingin. Belum ada yang bisa mencairkan kutub es yang ada di dalam hatinya itu. Selain kedua orang tua dan adiknya.

Orlan duduk di sofa. Dia langsung menemukan secarik kertas yang membuatnya tertarik untuk membacanya.

Dafa tersenyum kecut. Padahal kali ini memang tidak sengaja, dia sudah lama tidak bertemu dengan mate-nya. Makanya dia mencium mate-nya di sini, di ruang kerja Alpha-nya.

"Apa ini?"

Dafa terkejut mendengar suara Alpha-nya yang masih dalam keadaan marah. Membuat gendang telinganya hampir pecah. Wajah Alpha-nya itu tampak bingung dengan kening yang berkerut sembari memegang kertas yang tadi dia bawa dan taruh di atas meja. Dafa duduk di hadapan Orlan.

"Itu kertas ramalan yang saya dapatkan dari Alpha Revazio." Dafa menjelaskan. "Lihat Alpha, saya semakin yakin, kalau nama Anda yang tertulis di ramalan itu," ucap Dafa penuh keseriusan. Dia selalu membicarakan tentang ramalan penyihir tahun 1150. Dafa sampai berkelana ke sana kemari hanya untuk mendapatkan kertas ramalan. Bahkan dia hampir di usir dari pack karena sering melalaikan tugasnya sebagai Beta.

"Masih saja percaya dengan ucapan mereka." Orlan menekankan setiap patah kata. Dia sudah muak mendengar segala ucapan Dafa mengenai ramalan.

Dafa sangat tertarik dengan dunia sihir menyihir. Sementara Orlan sama sekali tidak percaya. Penyihir telah mengkhianati bangsa werewolf terutama Redwood Pack untuk apa percaya pada ramalan omong kosong yang terjadi pada ratusan tahun silam itu? Bahkan saat ramalan itu diumumkan dirinya belum lahir. Pada tahun 1150 pun bangsa werewolf dan bangsa vampir tidak mengenal bangsa penyihir.

"Sebenarnya saya percaya tidak percaya, tapi ciri-cirinya sama persis dengan Anda, Alpha." Dafa semakin bersemangat. "Keduanya tidak dipertemukan dalam kurun waktu ratusan tahun. Selama itu, keduanya tidak akan pernah merasakan rasa cinta dan kasih sayang." Dafa membaca isi kertas ramalan yang dia dapatkan dari Chugach Pack.

Orlan terdiam. Memang sama sepertinya. Kalau benar, masa mate-nya vampir?

"Sudah, jangan membicarakan itu," ketus Orlan muak.

"Aneh bukan, kenapa Chugach Pack mendapatkan kertas ramalan ini? Sedangkan kita dan Tongass Pack tidak." Dafa kembali membicarakan tentang ramalan. Dia tidak memedulikan tatapan mematikan Alpha-nya yang tertuju pada dirinya itu. Dia tetap berpegangan teguh pada pendiriannya, jikalau nama Alpha-nya yang tertulis di ramalan itu.

Orlan memutar kedua bola matanya. Beta-nya itu tidak takut padanya. Makhluk kurang ajar yang suka mengejek dan menyindir Alpha-nya sendiri. "Karena saat perang terjadi. Kita terlalu fokus bertarung dengan bangsa vampir sampai lupa pada tujuan awal."

"Benar. Saat itu pula konsentrasi kita semua terpecah belah, karena bangsa vampir menyerang para tetua." Dafa mengimbuhi. Mengingat kejadian perang kedua yang terjadi ratusan tahun silam itu.

"Orlan, aku yakin. Nama kau yang tertulis di ramalan itu. Ayo, kita taruhan!" Jay berseru di pikiran Orlan.

Setiap werewolf dapat berkomunikasi dengan serigala yang berada di tubuhnya.

"Berisik." Orlan malas menanggapi serigalanya yang sangat berisik, apalagi jika menyangkut mate yang tak kunjung mereka temukan. Jay tertarik dengan pembicaraan ramalan ini. Dia beranggapan, bisa jadi ramalan itu terjadi pada dia dan Orlan. Bertentangan dengan Orlan yang sangat tidak percaya dengan ramalan tersebut.

"Astaga Orlan, lama-lama aku bisa mati jika tidak kunjung bertemu dengan mate-ku." Jay kembali berceloteh tidak jelas.

"Memangnya kau saja, aku juga!" teriak Orlan dengan geram. Dia memutuskan mindlink-nya dengan Jay, jika dibiarkan Jay tidak akan diam.

Ruangan menjadi sangat hening. Sampai suara angin yang berembus terdengar jelas di indra pendengaran. Keduanya larut dalam pemikiran masing-masing.

Orlan pusing mendengar ocehan yang keluar dari moncong serigalanya itu yang terus saja menyuruhnya mencari keberadaan mate mereka. Karena tahun ini dia sudah berusia 449 tahun dan selama itu pula dia tidak kunjung menemukan mate, belahan jiwanya. Sudah cukup gila dia hidup dengan rasa kesepian selama ini. Dia tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan tanpa seorang mate. Apalagi dia merupakan seorang Alpha yang tentunya membutuhkan kehadiran seorang mate.

"Alpha, bagaimana dengan masalah werewolf yang ditemukan tewas di hutan?" tanya Dafa seraya mengambil tumpukan berkas yang ada di atas meja. Dia mengalihkan pembicaraan, Alpha-nya itu selalu marah bila dia membahas soal ramalan.

Orlan melirik malas ke arah Dafa. Beta-nya ini sangat cerewet, setiap hari pertanyaan itu terus yang keluar dari bibir tipisnya. Ingin rasanya Orlan melakban mulut Dafa. Masalahnya Dafa hanya bertanya, tapi tidak memberikan solusi atau saran apa pun.

"Saya baru beli lakban." Orlan melirik lakban yang masih ada di dalam bungkus plastik, berisi sekitar 5 buah lakban.

Dafa menampilkan cengiran lebar. Akhirnya dia memilih diam, tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia tahu betul apa maksud Alpha-nya.

Dafa membuka map yang bertuliskan 'Berkas kematian manusia serigala yang ditemukan di hutan.'

Setelah beberapa menit, suasana ruangan kembali hening. Dafa bolak-balik melirik Alpha-nya yang sedang asyik mengetik di laptop.

Orlan merogoh kantong celananya, mengambil benda pipih yang dari tadi berdering itu. Terlihat di layar nama Arva.

"Halo ...." Orlan menjawab telepon dari adiknya itu.

"Kak, jadikan? Tidak lupakan? Kakak sudah janji."

"Apa? Janji apa?" tanya Orlan. Dia lupa, apa yang telah dia janjikan kepada adiknya itu?

Terdengar suara berdecak kesal. "Ih, masa lupa. Katanya Kakak mau menemani aku pergi ke taman itu. Katanya Kakak mau menunjukkan sesuatu padaku."

Orlan menepuk jidatnya. Kenapa bisa lupa. "Iya, iya ingat. Kakak ke sana sekarang. Kafe kamu sudah tutup?" Orlan melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, menunjukkan pukul setengah lima sore.

"Belum, tutup jam tujuh. Kakak ke sini paling sudah tutup."

"Iya, aku ke sana." Orlan memutuskan sambungan telepon.

"Mau ke mana, Alpha?" tanya Dafa. Dia tahu pasti yang menelepon itu Arva. Ya, pada siapa lagi Alpha-nya bicara panjang lebar dan begitu lembutnya. Hanya pada kedua orang tua dan adiknya saja. Dafa saja sering tidak dijawab panggilan teleponnya.

Orlan bangkit dari duduknya. Dia mengambil kunci mobil di atas meja kerjanya. Dafa mengerutkan dahinya. Orlan hendak membuka pintu, dia menoleh pada Beta-nya. Dafa menaikkan alisnya.

"Kau tahu, di mana lokasi kafe milik Arva?"

Dafa mengangguk. "Tentunya, saya sering ke sana. Bukannya terkadang Anda menyuruh saya untuk mengantar dan menjemput Arva?"

Orlan menepuk jidatnya. Kenapa dia lupa. Sepertinya dia mulai pikun. "Antarkan saya ke sana. Butuh berapa jam untuk sampai ke sana?" tanya Orlan. Jangan sampai melewati jam dua belas malam. Pokoknya, jam dua belas malam dia harus sudah sampai di pack.

"Mungkin sekitar dua jam lebih," jawab Dafa. Orlan melemparkan kunci mobil pada Dafa, yang segera ditangkap oleh Dafa.

Saat Orlan membuka pintu, sudah ada Devin yang berdiri mematung. Kelihatannya Devin akan mengetuk pintu, dilihat dari tangannya yang menggantung di udara.

"Alpha, Anda mau ke mana?" tanya Devin—Gamma Redwood Pack.

"Ada urusan," jawab Orlan. Dia melihat map kuning di tangan Devin.

"Ini Alpha, fotonya," ucap Devin memberikan map kuning pada Orlan.

"Letakkan di meja saja." Orlan menunjuk ke dalam ruangannya. Devin mengangguk paham. Orlan melangkah pergi diikuti Dafa di belakangnya.