Aku melihat seorang wanita paruh baya yang sedang menaruh permen gulali pada raknya.
"Iya, ma," jawab sang anak yang berada di samping ibunya.
Sang ibu tersenyum lalu menggandeng tangan anaknya pergi.
Aku berjalan menuju tempat permen gulali itu ditaruh.
Permen gulali terakhir.
Tapi ... tempatnya tinggi sekali. Aku tidak mungkin bisa mencapainya.
Aku menaruh jinjingan yang sedari tadi kupegang. Kali ini aku harus bisa mencapainya.
Saat aku hendak menggapai permen gulali dengan jariku, seseorang mengambilnya.
"Hei, itu permen gulali ... kamu ...?"
♛♛♛
"Kamu mau ini?" Gabriel mengayun-ngayunkan permen gulali yang sudah ia ambil dariku.
"Iya, kembalikan." Aku berusaha mengambilnya dari tangan Gabriel, namun ia menariknya kembali.
"Sepertinya kamu suka sekali, ya, dengan permen gulali?"
"Menurutmu?" ketusku.
"Kebetulan aku juga menyukai permen gulali, jadi ini milikku." Gabriel tersenyum miring.
"Loh, tidak bisa. Aku yang mengambilnya terlebih dahulu, jadi ...," ucapku terputus.
"Kamu bahkan tidak mencapainya, May."
Ugh, dia benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah mati-matian untuk mendapatkan permen gulali itu.
Mataku tertuju pada seorang gadis yang sedang berjalan sambil melihat sekeliling toko.
Itu ... Amora?!
Oh, tidak. Itu benar Amora! Amora tidak boleh melihatku ada bersama Gabriel.
"Permen gulalinya untukmu saja. Aku permisi." Aku membawa jinjinganku dan segera pergi meninggalkan toko.
"May, tunggu."
Aduh, kenapa, sih, Gabriel masih terus mengejarku. Padahal' kan ia sudah mendapat permen gulalinya.
"May." Sebuah tangan berhasil menahanku yang membuat langkahku terhenti.
♛♛♛
Aku menoleh. "Kamu mau apa lagi? Bukannya aku sudah ...."
"Kenapa kamu tadi berlari seperti orang ketakutan?" Gabriel melepas tangannya.
"A ... aku tidak ketakutan," jawabku. Gabriel tidak boleh tahu kalau aku berlari karena takut dengan Amora.
Gabriel menghembuskan nafasnya. "Kamu tahu' kan kalau kamu tidak pandai berbohong?"
Ya, aku tahu. Makanya ini aku sedang memikirkan alasannya, bodoh.
Mendadak rintik-rintik hujan mulai turun membasahi tanah.
"Hujan!"
"Lalu?" Pandangan Gabriel masih terfokus padaku.
"Karena ini aku tadi terburu-buru, takut hujan."
Sebelum pria elang itu berbicara lagi, lebih baik aku pergi saja.
"Tunggu."
Aku menoleh dengan malas. "Apa lagi?"
"Kamu yakin ingin berlarian dalam keadaan hujan pulang ke rumah?"
"Kan ada tak ...," ucapku terputus.
"Memang uangmu masih tersisa?"
Ngg ... benar juga, ya. Uangku' kan sudah habis karena tadi membayar biaya pajak belanjaan. Pajak menyebalkan.
♛♛♛
Warga kota Winthen mulai berlarian, mencari tempat untuk berlindung dari hujan.
Sudah 10 menit aku dan Gabriel duduk di bawah teras, ditemani oleh jinjingan belanjaanku di tengah. Hening. Hanya suara hujan dan hembusan angin yang terdengar sejak tadi.
Aku melihat ke arah Gabriel. Ia sedang menyantap permen gulali yang sudah dibagi dua tadi untukku.
"Kamu kenapa tidak pulang? Kamu' kan bisa pulang naik taksi."
Gabriel menoleh. "Aku tidak pernah naik taksi karena aku punya trauma masa lalu."
Tidak pernah naik taksi? Kenapa mirip sekali, ya, dengan seseorang?
"Temanku juga ada yang tidak pernah naik taksi karena trauma masa lalu. Persis seperti dirimu."
"Oh, ya?" Aku mengangguk. "Sekarang bagaimana kabar temanmu itu?" tanya Gabriel.
"Entahlah. Aku tidak bertemu dengannya sejak lima tahun yang lalu."
Gabriel mengangguk mengerti. "Kalau kamu suatu saat bertemu dengannya, apa yang akan kamu lakukan?"
Kalau suatu saat aku bertemu dengannya, ya?
♛♛♛