"Kalah?" Aduh, kenapa juga aku bertanya. Aku memicingkan mata ke arahnya. "Lalu, apa tujuanmu datang kemari? Kalau tidak ada urusan yang penting, kamu bisa pulang karena aku harus mencari obat pereda pusing." Tinggal sedikit lagi pintu tertutup, namun sebuah tangan menahannya. Aku membuka pintu itu kembali.
"Aku ingin mengambil jaketku."
Oh, jaket. "Hm, masuklah." Aku memasuki rumah disusul Gabriel.
"Kamu duduk saja, aku akan ambilkan jaketnya." Aku mempersilahkan Gabriel duduk di sofa. Langkahku berjalan menaiki tangga.
♛♛♛
"Ini." Aku memberikan jaket pada Gabriel. "Sudah' kan? Kalau tidak ada hal lain, kamu boleh pulang."
Gabriel menerimanya lalu ia tersenyum tipis. "Kamu ini mau mengusirku, ya?" Ia bangkit dari duduknya.
"Bukan itu maksudku ...." Astaga, orang ini mengebalkan sekali. "Maksudku ...."
"Apa?" Mata Gabriel masih terfokus melihat ke arahku.
"Itu ...." Aduh, kenapa kepalaku pusing sekali, ya. Pandanganku juga buram.
"Kamu kenapa?"
Aku menggeleng pelan. Pusing .... Wajah Gabriel terlihat berbayang. Seketika pandanganku menjadi gelap.
♛♛♛
Aku membuka kedua mataku secara perlahan, berusaha bangkit dari tempat tidurku.
Kenapa aku bisa ada di ranjang, ya? Seingatku tadi aku sedang berada di ruang tamu bersama Gabriel.
Aku melihat sekeliling. Mataku tertuju pada saputangan yang berada di atas nakas. Di sampingnya juga ada kotak obat pereda pusing.
Saputangan ini milik siapa, ya? Apa mungkin ini punya mama?
♛♛♛
"Ma."
Mama yang sedang memasak pun menoleh lalu tersenyum. "Kamu tadi tidur pulas sekali. Seharusnya besok kamu sudah bisa masuk sekolah."
"Ini saputangan mama?" Aku memperlihatkan saputangan berwarna biru langit berbahan lembut itu.
Mama yang sedang menaruh hidangan di atas meja menoleh ke arah yang dimaksud. "Bukan."
Bukan? Jadi, ini ....
"Tadi mama lupa memberitahumu kalau obat pereda pusingnya ada di laci dekat dapur. Tapi ternyata kamu sudah menemukannya."
Tunggu dulu. Saputangan ini bukan punya mama. Dan aku ... bukan aku yang menemukan obatnya. Aku saja kesulitan mencarinya.
"Mama pasti kelelahan, ya, tadi membawaku sampai ke kamar?" Aku duduk di hadapan mama sambil tertawa kecil.
"Mama saja baru pulang 10 menit yang lalu, sayang. Kamu pasti belum sepenuhnya sadar, ya?" Mama tersenyum sambil memberikan sepiring nasi dengan ayam goreng mentega kepadaku.
Aku menerimanya. Ini aneh. Mama baru pulang 10 menit yang lalu. Jadi, siapa yang membawaku sampai ke kamar? Bahkan sampai mengobatiku segala.
Apa jangan-jangan ....
♛♛♛
"Aku senang kamu bisa masuk sekolah juga akhirnya!" Visera memelukku dengan erat.
Aku hanya tertawa kecil. Baru saja aku memasuki kelas, aku sudah mendapat sambutan.
"Padahal aku hanya tidak masuk sehari, loh." Aku menaruh tas di atas meja.
Visera menyusulku duduk, lalu berbisik, "Iya, kamu beruntung kemarin tidak masuk."
"Kenapa memangnya?"
"Kemarin Amora sudah menyiapkan rencana jahat untuk mencelakaimu. Tapi karena kamu tidak masuk, rencananya gagal. Sebenarnya tidak gagal, tapi ketahuan."
Aku tertawa. "Oh, ya? Sayang sekali, ya, rencananya gagal." Kulihat Visera yang sedang menyiapkan buku. "Memang ketahuan oleh siapa?"
Visera menoleh. "Ketahuan oleh ...."
Hiane datang memasuki kelas. "Semuanya, segera ke lapangan! Pak Ezekiel sudah menunggu!"
♛♛♛
Ah, lelah sekali. Untung tadi Pak Ezekiel hanya menyuruh kami untuk berlatih mendrible bola basket. Ya, setidaknya itu lebih baik daripada lari keliling lapangan.
Aku menutup kran air lalu mengeringkan kedua tanganku dengan kain lap yang tergantung di samping wastafel.
Aku baru tahu lapangan sekolah ini ada tempat untuk mencuci tangan. Tapi ini mempermudah agar tidak perlu ke toilet.
"Hai." Suara tersebut membuatku menoleh. "Aku senang kamu sudah baikan."
Aku tersenyum. "Terimakasih. Kan berkat dirimu juga yang sudah membantu mengobatiku."
"Mengobati maksudnya?"
♛♛♛