webnovel

Pertemuan Terburuk

Seperti yang sudah Bundanya kirimkan barusan. Bella telah berada di depan sebuah restoran megah. Sudah sangat terlihat jika selera mereka akan banyak berbeda di sini.

Sangat glamor dan bisa dikatakan berkelas. Bella menatap malas restoran di depannya. Memasuki restoran dengan keyakinan kuat. Bella harus semangat memulai harinya.

Alana hanya memberi instruksi bahwa pria yang akan dirinya temui nanti mengenakan jas hitam. Tapi sejauh mata memandang, ada banyak pria yang memakai jas hitam. Lalu, mana yang Bella pilih sekarang?

"Kamu Bella?" suara bariton itu mampu mengejutkan Bella seketika.

"I … iya. Aku Bella. Kamu yang--"

"Ikut aku."

Sial. Belum sempat Bella menyelesaikan perkataannya barusan tapi pria ini sudah mulai menarik tangannya saja. Menyeimbangkan langkah kakinya dengan pria itu. Bahkan selama menuju tempat tujuan pun pria itu sama sekali tak mengeluarkan suara.

Memandangi Radit dengan malas. Tujuannya terhenti pada meja yang sudah sangat rapi. Sudah berisi makanan dan beberapa lilin yang menemani mereka.

Benarkah ini untuk pertemuan pertamanya? Bella rasa tak terlalu buruk juga jika seperti ini. Ikut duduk bersama Radit setelah dipersilahkan. Masih diam tak bergeming, Bella sebenarnya merasa sedikit aneh dengan pakaiannya yang tak imbang sama sekali.

"Lain kali kalo mau kencan, pakai baju yang lebih bagus bisa?"

"Setidaknya mengimbangi stylistku," peringat Radit dengan tatapan datar.

Bella merasa tersinggung. Kalimat yang setiap kali keluar dari mulut Radit bahkan tak ada bagus-bagusnya. Apakah untuk pertemuan pertama mereka harus mengkritik penampilan?

Bella tahu jika calon suaminya ini adalah orang terpandang. Orang kaya yang mungkin sifatnya ya, seperti itulah. Tapi mencela apa yang telah ada pada diri Bella memang sangat memuakkan.

"Sorry, Dit. Aku tadi mendadak ditelpon Bunda. Jadi enggak sempet dandan dulu.

Mungkin next time aku akan berpenampilan lebih baik lagi," ujar Bella mencoba mencairkan suasana.

Senyumnya yang sengaja ia luncurkan. Raut ramah yang Bella pasang agar calon suaminya ini tak begitu tegang. Tepat dugaan Bella jika pria ini bahkan tak mempedulikannya.

Hanya deheman yang Bella dengar barusan. Tak ada sepatah kata pun yang Radit ucapkan hanya untuk menghargai dirinya. Oh Tuhan, Bella mohon ... beri dirinya kesabaran lebih.

Hingga saat mereka pun makan bersama. Mengikuti arahan atau ajakan setiap yang Radit katakan. Bella pikir pertemuan kali ini mereka akan saling bercakapan untuk saling mengenal satu sama lain.

Bertanya satu sama lain agar mereka lebih dekat dan lebih merasa cocok. Ternyata kali ini Bella yang salah.

Tak ada perbincangan yang lebih intensif setelahnya. Hanya diam dan tak bergeming. Radit bahkan lebih fokus pada makanannya sendiri daripada dirinya. Sambil sesekali melirik Bella tanpa arti apa pun yang jelas.

"Pernikahan kita minggu depan."

"Uhuk … uhuk …

Minggu depan? Kamu serius secepat itu?"

Bella terkejut bukan main. Mendengar satu kalimat yang Radit ucapkan. Itu adalah tamparan tersendiri bagi Bella.

Minggu depan adalah waktu yang sangat cepat. Bella pikir setidaknya bulan depan lah, mereka akan menuju ke jenjang pernikahan bukan minggu depan yang bahkan di luar ekspektasinya sendiri.

Bella belum siap jika seperti ini. Selain urusan hati yang tak bisa langsung dipaksakan. Lingkungannya pun juga sebenarnya belum mendukung sepenuhnya. Usahanya yang sudah mulai berkembang bagus, juga tak mungkin Bella biarkan hanya untuk mengurus pernikahan.

"Ini sudah keputusan mutlak. Enggak bisa diganggu gugat."

"Tapi, Dit. Ini bisa dibicarakan baik-baik, kan? Kenapa secepat itu, sih?"

Radit hanya diam. Seakan tak tertarik dengan pertanyaan Bella barusan. Pria es batu itu memang sangat menjengkelkan. Baru saja dirinya bertemu sekali selama ini, kepala Bella seperti hendak pecah saja. Apa lagi menikah dengan pria ini.

Oh Tidak!

Pasti Bella akan tertekan terus jika hidup bersamanya. Bella yang memang sangat berani kepada siapa pun masih mencoba mempertahankan argumennya. Meyakinkan Radit agar mengubah keputusannya. Tapi Bella gagal.

Radit sama sekali tak terpengaruh kepadanya.

"Yaudah, deh. Terserah kamu aja. Capek juga ngomong kalo enggak dihargai kayak gini," sahut Bella pasrah.

Tak ada lagi yang dapat dirinya harapkan lebih dari ketidak adilan.

Melanjutkan kembali makannya meski sudah tak ada selera sedikit pun. Setidaknya Bella masih menghargai niat baik calon suaminya.

Tak ada angin ataupun badai, tiba-tiba dengan sadar Radit lebih mendekatinya. Sedikit berdiri sambil mendekati telinga Bella. Jujur Bella sedikit gugup berada di posisinyai.

Jarak mereka berdua sangatlah dekat. Bella tak tahu apa yang hendak pria ini akan bicarakan hingga berbisik.

"Aku cuma enggak mau, calon istriku yang sudah cantik ini didekati oleh pria lain. Jadi jangan pernah menolak perintahku." Finish.

Sangat dingin Radit berujar hingga mampu menggetarkan seluruh tubuhnya. Rasanya begitu asing bagi Bella. Rasa gugup, takut, terkejut seakan telah bercampur menjadi satu membuat Bella bingung.

Sebegitu yakin kah Radit dengan dirinya. Perasaan, barusan Radit sempat mengkritik penampilannya yang sangat kurang. Tapi mengapa sekarang Radit berkata jika dirinya cantik?

"Aku cuma pengen kamu merubah penampilan yang lebih bagus dari ini di depanku. Tapi kamu tak perlu berdandan. Karena kecantikanmu sudah alami."

Kembali duduk ke tempatnya. Mengatakan kalimat itu dengan lebih santai. Radit seakan tahu jalan pikirannya.

Tapi Bella masih tak ingin terlalu berpendapat. Dirinya sudah capek berdebat tadi yang telah menguras banyak energi. Dan lebih memilih menerima saja karena perkataan yang Radit katakan memang sudah benyak terdengar di pendengaran Bella dari banyak pria.

Hari sudah mulai sore. Bella rasa dirinya harus pulang sekarang. Untung saja masalah pabriknya sudah ada yang menghandle, jadi dirinya bisa keluar dengan tenang.

Bangkit dari duduk sambil merain tas selempangnya, belum sempat Bella melangkah tapi tangannya lebih dulu dicekal oleh Radit.

"Biar aku anter."

"Enggak usah, Dit. Aku tadi bawa motor, kok. Kamu pulang duluan aja."

"Enggak menerima penolakan."

Menarik pergelangan tangan Bella sedikit kasar. Menuju tempat mobil Radit terparkir. Bella pun masuk kedalam meski terpaksa.

Memikirkan bagaimana nasib motornya jika ikut pulang bersama Radit. Tapi pria itu menegaskan akan membawa motornya pulang ke rumah dengan menyuruh utusannya sendiri.

Bella tak suka dalam hati mendengar ada yang menaiki motornya. Selama ini tak ada yang dirinya perbolehkan untuk mencoba motornya kecuali dirinya sendiri. Tapi semenjak pertemuannya dengan Radit, pria itu sangat tak bisa diajak kerja sama.

"Turun … udah nyampek."

Bella sempat terkesiap memejamkan matanya yang sudah sangat berat. Bella memang selalu mengantuk jika naik mobil. Merasa bahwa posisinya sangat nyaman untuk tidur.

Mengambil tas dan keluar dari mobil.

"Nggak mau mampir dulu? Bunda sama Ayah di dalem, kok!"

"Enggak. Titip salam aja.

Selanjutnya bakal dibicarakan di telpon."

Menutup kaca mobil dan langsung melenggang pergi. Hanya itu yang Radit lakukan. Tepat di hadapannya Radit serasa tak punya sopan santun di sini.

Berlaku sesukanya saja. Memaksa apa pun yang harus dirinya kerjakan. Sambil memandangi mobil Radit hingga menghilang, Bella sudah mengumpati Radit dalam hati.

Serasa diri ini begitu geram bisa bertemu sosok seperti Radit. Spesies baru yang sangat tak bisa dicontoh. Seperti ini, kah lagaknya orang kaya kepada orang biasa?

"Gimana kencan pertama kamu, Sayang? Lancar?" Alana keluar dari rumah menyusul sang putri di teras. Pastinya Alana juga penasaran dengan perkembangan calon menantunya. Alana berharap memang Radit yang terbaik.

"Aku nyerah, Bun. Kayaknya Radit enggak sebaik itu, deh."

*Besambung ...