webnovel

Harus Menerima

"Aku harus nikah sama pilihan Bunda? Dalam waktu dekat ini?"

Tampak jelas dari raut wajah Bella jika dirinya terkejut dengan pernyataan bundanya. Baru saja dirinya pulang dari pabrik setelah mendapat pesanan yang cukup banyak, Bella harus mendapat kabar sebegitu mendadaknya.

Bella mendekatkan diri menuju Alana, sang bunda. Mengamati dengan lekat wajah penat yang sangat terlihat dari kontak mata Alana. Bella menghembuskan napasnya gusar. Pliss … Bella sangat tak bisa jika menolak permintaan dari sang bunda.

Alana membelai rambut lembut Bella dengan sayang. Bella memang terlihat keberatan dengan kabar tadi, tapi Alana juga pasti memiliki tujuan lain dibalik ini semua.

"Bella, kamu percaya sama Bunda, kan? Bunda hanya ingin kamu bahagia, Sayang."

"Tapi Bun … Aku kan masih merintis usahaku dulu. Aku masih pengen fokus ngembangin Chateringku di sana Bun. Kemarin pesanannya lagi naik-naiknnya lho."

"Sayang … Bunda enggak pengen kamu kerja keras terus. Kamu sudah cukup berjuang selama ini. Setelah kamu menikah nanti … kamu akan hidup enak."

Bella memejamkan kedua matanya kuat. Kalimat itu … sangat sering Bella dengar dari ucapan bunda. Bundanya selalu ingin dirinya menikah dengan orang kaya dan menghentikan cita-cita untuk membangun usaha.

Bella tahu niat sang bunda itu baik. Dengan menikah dengan orang kaya, Bella bisa hidup lebih layak tanpa harus bekerja keras lagi. Tanpa harus bersusah-susah untuk berjuang lagi. Dan di sinilah Bella merasa jika usahanya sedikit tak terlihat.

Bella bingung. Bella bimbang. Bella tak tahu harus bersikap seperti apa lagi setelah ini. Bundanya tak pernah meminta sesuatu selama ini kepadanya, tapi kali ini Bella harus mendapatkan permintaan dari bunda dengan permintaan yang besar.

"Orang kaya mana yang akan Bunda jodohkan untuk aku, Bun?"

"Siapa dia? Apakah Bunda sudah yakin dengan pilihan Bunda sendiri? Pria itu benar-benar baik, bukan?"

"Iya, Sayang … Bunda sangat yakin jika pria ini baik buat kamu. Kamu ketemu dulu ya, sama dia?" sahut Alana dengan lembut sambil mengusap pelan pundak sang putri.

Melemparkan pandangannya ke segala arah. Menerawang sekilas permintaan sang bunda. Memang jujur Bella sangat berat menerima ini. Begitu sangat mendadak dan Bella tahu jika ini pun juga tak bisa dihindari.

Bella mengangguk pelan. Meski masih menyimpan banyak keraguan, Bella berusaha untuk menepisnya. Menyetujui permintaan bunda untuk menikah dengan pria pilihan. Bella harus yakin.

Bunda dan ayah adalah segalanya bagi Bella. Permintaan mereka bagiakan sebuah perintah yang harus Bella laksanakan semaksimal mungkin. Menarik senyum dan menerbitkan bahagia di depan bunda, Alana pun merangkul sang putri hangat.

"Namanya Radit, Sayang. Dia adalah seorang CEO di perusahaannya sendiri. Bunda yakin kamu akan menjadi ratu di sana.

Terima dengan ikhlas ya …"

"Aku percaya sama Bunda, kok. Apa pun akan aku lakukan untuk Bunda dan Ayah."

"Aku ke kamar dulu, ya?"

Melepaskan pelukan. Mengecup kedua pipi bunda tercintanya. Menebarkan senyum ke seluruh penjuru rumah. Bella pun pergi ke kamarnya.

Merebahkan tubuh yang sudah sangat penat sedari tadi berkutat di depan kompor. Memasak persiapan buat 1000 pesanan yang akan diantar besok.

Bella memang sudah memiliki pegawai, tapi bagaimana pun Bella tetap turun tangan untuk menjamin kesempurnaan cita rasa masakannya.

"Huft … yakin Bella. Kamu harus yakin jika pilihan Bunda adalah yang terbaik.

Kapan lagi kamu bisa membahagiakan Bunda? Jika ini bisa jadi sumber kebahagian Bunda dan Ayah, kenapa enggak?"

"Fighting!" ucap Bella dalam hati menyemangati diri sendiri.

Bangkit dari tidurnya. Meraih handuk dan bergegas mandi. Bella hanya ingin segera tidur nyeyak setelah ini. Hari juga sudah mulai larut, sudah sepantasnya Bella segera menyusul mimpi.

Tak terasa hari sudah berganti pagi. Bella harus memulai hari-harinya seperti biasa. Bersiap untuk menuju pabrik, mengkoordinasi dan menyiapkan hal-hal yang kurang. Bella selalu senang dengan pekerjaannya.

"Ayah … Bunda … Selamat pagi," sambut Bella sambil maraih tas slempangnya. Merapikan rambut dengan ujung jemari. Seperti orang sedang menyisir. Berjalan menuju Bram dan Alana. Bella hendak berpamitan berangkat.

"Kamu enggak makan dulu, Sayang? Ini masih pagi lho."

"Iya … Setidaknya minumlah susu dulu Bella buat isi perut," tambah Bram sambil memandangi putrinya.

"Ehm … Enggak perlu Yah, Bun. Aku sarapan di pabrik aja. Pesanan harus diantar jam sembilan nanti. Jadi aku mau chek semuanya dulu."

Bella memang menyebut tempat produksi chaterinya dengan sebutan 'Pabrik' baginya itu adalah rumah sumber kebahagiaannya. Selalu memberi energi tersendiri dan tak pernah mengeluh atas kerjaannya. Bella sangat menikmati.

Melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh, Bella segera bergegas.

Lima pegawai yang sudah dipastikan menunggunya untuk menyiapkan pengiriman, Bella tak ingin membuat semuanya terhambat. Mengecup punggung tangan kedua orang tuanya dan bepamitan berangkat. Bram dan Alana pun tak bisa mencegah putri mereka.

Berangkat dengan menaiki motor kesayangan. Jarak antara keberadaannya dengan pabrik memang cukup jauh. Bukan karena ingin mempersulit diri dalam perjalanan. Bella hanya ingin mencari tempat yang lebih strategis saja untuk membuka usahanya.

Kurang dari tiga puluh menit, Bella sudah sampai di rumah produksinya. Dapur kesayangan yang sudah penuh makanan. Ah … Bella sangat bahagia jika sudah melihat banyak makanan berjejer di sana.

"Bu Bella … anda lama sekali datangnya, Bu? Kita udah nunggu lama lho menunggu intrukasi dari Bu Bella." Bella terkekeh ringan mendengar pegawainya yang sebegitunya menunggu dirinya.

"Aku udah bilang, kan? Aku sudah sering kasih tahu kalian dan memberi contoh kepada kalian. Enggak perlu nunggu perintah dari aku kalau waktunya udah mepet kayak gini."

Berjalan menuju berapa kotak makanan yang sudah siap. Memberi contoh packing yang tepat untuk acara kali ini. Hanya satu kali contoh yang Bella berikan, para pegawainya pun langsung tangkas mengerjakan hal yang sama dengan sangat gesit.

"Padahal udah bisa semua … kenapa enggak dilakuin dari tadi, sih?"

Menggelengkan kepalanya heran. Semua pegawainya ini sebenarnya sudah cakap semua. Sudah tahu mana yang perlu dilakukan dan mana yang tidak.

Tersenyum tipis Bella memandangi mereka. Dirinya sebenarnya tahu jika pegawainya melakukan itu hanya karena menghargai Bella sebagai bos mereka.

"Kak Belllaaaaa."

"Abel gosongin ayam yang ada di sanaaaa."

Salah satu pegawai termuada Bella yang bernama Abel berlari kecil menuju keberadaan Bella sekarang. Selalu saja ada kejadian yang Abel buat di dapurnya. Bella yang tak pernah mempermasalahkan itu. Selalu gemas dengan Abel sendiri sambil menanggapi Abel dengan sikap manjanya.

Mengambil duduk tepat di hadapan Abel yang sudah hendak meneteskan air mata. Hidungnya yang memerah sudah membuat Bella tak tega melihat itu semua.

"Hey, Abel. Enggak usah nangis dong!

Udah enggak papa biarin aja ayamnya dibuang. Nanti kakak-kakak yang lainnya biar masak lagi. Udah ya … "

Bella yang tetap berusaha menenangkan Abel sedih memang masih belum ada perubahan. Jangan katakan bahwa Abel bekerja untuknya. Tidak … Bella sangat tak setuju sebenarnya memperkerjakan anak muda yang masih sekolah ini.

"Maafin Abel ya, Kak Bella. Abel enggak sengaja."

"Iya … enggak papa. Kamu jangan main di dapur lagi ya? Bahaya."

"Tapi--"

KRIIIINNGGGGG

Panggilan telepon berhasil memecah keseriusan mereka. Mengangkat ponsel yang berdering sedari tadi. Nama Bunda tertera jelas dalam layar ponselnya. Bella pun langsung mengangkat pangilan Alana.

"Halo Bun … ada apa?"

"Radit udah nunggu kamu di salah satu Restoran. Kamu ke sana sekarang, ya? Nanti Bunda shere lock."

"Hah?? Ketemu Radit sekarang?"

Next chapter