webnovel

Jujur

Yana masih ragu saat Galih menyuruhnya untuk turun dari mobil. Ia takut Galih melakukan hal gila untuk membatalkan pernikahannya dengan Danu. Tapi, Yana tidak mungkin menolak saat Galih meminta dengan wajah penuh harap.

"Ayo turun ... seperti janjiku tadi, aku hanya ingin kamu menemani aku sampai tertidur. Hanya itu Ayana dan setelah aku tidur kamu boleh pergi dan ini terakhir kalinya aku mengganggu hidup kamu. Aku akan kembali ke Amerika dan memulai hidup baru di sana dan melupakan rasa cinta aku," ujar Galih dengan wajah sendu. Yana diam dan menatap mata Galih, Yana merasa Galih serius dengan ucapannya.

"Kembali ke Amerika? Ya Tuhan kenapa aku jadi sedih dengan keputusannya. Seharusnya aku senang tapi ..." gumam Yana dalam hati.

"Baiklah," Yana pun memutuskan ikut masuk ke dalam hotel bersama Galih meski ia memilih jalan di belakang Galih agar tidak ada yang melihat ia jalan dengan laki-laki selain Danu. Galih tertawa licik karena rencananya berhasil. Walau harus berbohong untuk bisa membawa Yana ke hotel yang sama dengan Danu dan Jenny.

"Kamar 1406 dan ini kunci kamarnya," ujar petugas resepsionis sambil menyerahkan kunci kamar ke tangan Galih. Galih tersenyum dan mengedipkan matanya ke petugas resepsionis itu.

"Terima kasih Mbak yang cantik," ujarnya seramah mungkin. Galih lalu memutar tubuhnya dan melihat Yana sedang menunggu sambil sesekali melirik ke arahnya.

Galih sengaja memilih kamar persis di dekat kamar yang dipesan Danu. Galih mau Yana melihat langsung perangai bejat tunangannya. Galih ingin Yana membuka mata dan tidak terpedaya mulut manis laki-laki seperti Danu yang ternyata manis di luar tapi jahat di dalam.

"Ayo," ajak Galih saat Yana masih enggan beranjak dari tempatnya berdiri. Yana lalu membuang napasnya dan akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift. Yana sengaja berdiri agak jauh dari Galih dan memainkan tali tasnya agar rasa gugup dan takut hilang dari hatinya.

Bahkan saat lift akhirnya terbuka mereka masih diam membisu. Galih lalu memutar tubuhnya dan melihat ke arah Yana, "Ayolah, apa yang kakak takutkan? Bukankah aku sudah berjanji tidak akan melakukan hal yang kakak takutkan?" tanya Galih lagi.

"Kakak? Dia memanggilku kakak dan rasanya sangat menyakitkan," ujar Yana dalam hati. Yana mengutuk kebodohannya dan bukankah ini yang ia inginkan. Hubungan mereka hanya sekedar kakak dan adik.

"Iya," akhirnya Yana keluar dari lift dan mereka berhenti di depan pintu kamar 1406. Galih melirik ke pintu kamar 1405 dan kembali mengeluarkan tawa liciknya.

"Sebentar lagi … bersabarlah Galih," ujarnya dalam hati.

Yana membuang napas saat Galih membuka pintu kamar, "Jangan takut, aku tidak akan menyentuh kamu. Aku hanya butuh teman untuk bicara sampai aku tertidur pulas," Galih sekali lagi berusaha membujuk Yana agar mempercayainya dan setelah berpikir panjang akhirnya Yana ikut masuk bersama Galih.

"Duduk,"

Yana lalu duduk di sofa sedangkan Galih membuka jaketnya dan membuangnya ke atas meja. Galih lalu membuka kulkas dan mengeluarkan dua kaleng beer untuknya dan Yana.

"Beer dingin bisa meredakan sakit kepala dan rasa gundah di hati," Galih menyerahkan beer kaleng ke tangan Yana.

"Aku tidak minum," tolak Yana dan meletakkan beer itu ke atas meja. Galih mengangkat bahunya dan membuka beer yang dipegangnya lalu meminumnya dalam sekali teguk. Yana ingin menahan tapi ia batalkan karena Galih seperti tidak ingin diganggu.

"Ahhhhhhh segarnya," Galih meremas kaleng yang sudah kosong dan melemparkan kaleng itu ke dalam tong sampah.

"Gool!" teriaknya saat kaleng itu berhasil masuk ke dalam tong sampah.

"Katanya mau tidur,"

"Ah iya," Galih lalu membuka kancing tangan kemejanya lalu menggulungnya sampai ke siku. Matanya masih menatap Yana yang masih duduk dalam posisi tegang dan kaku. Galih tahu kalau sekarang Yana dalam posisi waspada.

Galih lalu mengambil ponselnya dan melihat sebuah BBM dikirim Jenny.

Jenny : Lima belas menit lagi dia akan keluar.

Galih menyimpan kembali ponselnya dan melihat ke arah Yana, "Berceritalah tentang apapun sampai aku tertidur dan setelah itu kamu boleh pergi," Galih menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan menatap langit-langit kamar. Yana mulai bercerita tentang masa lalu mereka di panti asuhan, perlahan namun pasti Galih mulai memejamkan matanya. Kali ini benar-benar memejamkan matanya, Galih sangat lelah setelah tahu alasan kenapa Sekar membuangnya dan sekarang ia harus melakukan cara selicik ini untuk mendapatkan cinta Yana.

Setengah jam Yana berceloteh tentang apapun agar Galih tidur. Yana baru berhenti setelah mendengar suara mendengkur keluar dari mulut Galih. Galih meletakkan tangan kanannya di bawah kepala sedangkan tangan kirinya diletakkan di atas perutnya.

"Kamu sudah tidur?" tanyanya pelan. Yana lalu membuka sepatu dan kaos kaki yang masih terpasang di kaki Galih. Yana lalu menarik selimut agar Galih tidak kedinginan, setelah itu Yana kembali memandang wajah Galih yang terlihat menyimpan banyak masalah. Yana lalu duduk di samping Galih dan reflek menyentuh pipi Galih.

"Kenapa kita harus bertemu di panti itu? Seandainya ayah tidak mengadopsi kita mungkin aku tidak akan merasa sesakit ini, andai …" Yana kelu melanjutkan ucapannya. Seharusnya ia bersyukur Ardan mengangkatnya sebagai anak, menyayanginya selayaknya anak kandung dan memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari orangtua kandungnya.

Yana lalu menghapus airmatanya dan ingin segera pergi dari tempat ini agar hatinya tidak kembali goyah. Yana lalu mematikan lampu dan mengambil tasnya dan membuka pintu agar Galih tidak bangun. Saat Yana ingin meninggalkan kamar Galih tanpa sengaja ia melihat dengan mata Danu sedang mencium wanita yang tidak ia kenal.

"Danu, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Yana tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Selama ini ia pikir Danu laki-laki baik. Danu kaget dan mendorong Jenny kembali masuk ke dalam kamar.

"Hey!" teriak Jenny dengan kesal. Danu lalu memutar tubuhnya dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Yana, kamu salah paham … aku di sini untuk meeting dan wanita tadi …" ujarnya berkilah. Yana tersenyum miris mendengar pembelaan Danu yang sangat tidak masuk akal. Yana melihat dengan mata kepalanya Danu mencium wanita itu, bahkan Yana melihat bekas ciuman di leher Danu.

"Aku bukan wanita yang bisa kamu bodohi," Danu terpojok dan tidak mau Yana membatalkan pernikahan mereka. Danu bisa dibunuh calon mertuanya jika sampai Ardan tahu anak gadisnya dipermainkan seperti ini.

"Kamu salah paham Yana," Danu masih berusaha membujuk Yana. Yana masih diam dan kepalanya pusing memikirkan langkah apa yang akan Yana lakukan. Yana benci perselingkuhan apalagi saat mereka mau menikah seperti ini tapi membatalkan pernikahan juga tidak mungkin. Membatalkan pernikahan sama saja memberi harapan Galih untuk bisa masuk dan semuanya akan kacau.

Jenny yang menguping langsung menghubungi Galih untuk memberi tahu rencana mereka sepertinya akan gagal. Biasanya wanita yang menangkap basah tunangannya berselingkuh pasti akan menampar atau langsung membatalkan pertunangan tapi Yana tidak bereaksi apa-apa.

"Gimana?"

"Nggak tahu, wanita itu di luar tapi sepertinya dia masih ragu."

"Ragu? Maksud lo apa?"

"Gue kasih tahu ya, kakak lo itu menikah bukan karena cinta tapi demi menghindar dari lo. Lo pikir dengan membuat Danu selingkuh kakak lo itu akan membatalkan pernikahannya? Tidak Galih … dia rela menikah asal bisa lepas dari lo. Sekarang giliran lo untuk melanjutkan rencana ini dan ingat tas hermes keluaran terbaru gue tunggu di rumah gue,"

Galih membuang ponselnya dan menjambak rambutnya. Galih membuka pintu dan melihat Yana dan Danu masih bicara dengan muka serius.

"Kamu akan membatalkan pernikahan kita?" tanya Danu. Yana membuang napasnya dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak akan membatalkan rencana pernikahan kita," setelah mengucapkan itu Yana lalu meninggalkan Danu. Galih mengeram dan membanting pintu dengan kesal.

"Ayana bodoh!" Galih lalu mengambil jaketnya dan sudah waktunya ia bersikap jantan. Ia akan memberi tahu kedua orangtuanya tentang perasaannya dan cinta yang selama ini ia pendam.

Sesampainya di rumah Yana langsung masuk dan tidak mempedulikan panggilan Sekar untuk makan malam. Yana merasa sangat lelah dengan semua ini dan ingin berendam untuk menenangkan hatinya yang kacau. Suhu tubuhnya mulai naik dan kepalanya terasa berat, setelah berendam Yana ingin baring supaya kondisi tubuhnya membaik. Besok akan menjadi hari tersibuk dalam hidupnya, besok akan diadakan gladiresik acara akad nikah dan ia butuh tenaga ekstra.

"Yana kok muram?" tanya Ardan.

"Mungkin kecapean dan gugup … tidak terasa ya sayang kalau anak-anak kita sudah dewasa. Lusa Yana menikah dan akan menjadi istri orang, minggu depannya giliran Daniel, dan hanya menunggu waktunya Galih datang dengan wanita pujaannya,"

"Jangan lupakan Alleia … ah iya anak itu kenapa belum pulang?" tanya Ardan.

"Ya ampun kenapa aku sampai lupa ya. Mengurus pernikahan Daniel dan Ayana membuat aku melupakan anak gadis kita yang satu itu," ujar Sekar. Ardan tertawa dan menahan Sekar yang ingin menghubungi Alleia atau Galang.

"Galang akan menjaganya, mungkin Alleia keenakan liburan dengan teman-temannya," ujar Ardan. Sekar pun membatalkan niatnya menghubungi Alleia ataupun Galang dan kembali bersandar di dada Ardan. Mereka menikmati malam dengan menonton video yang dulu mereka ambil saat anak-anaknya masih kecil.

"Aku mau bicara sama Ayah dan Ibu," Sekar menjadi orang pertama yang langsung berdiri saat mendengar Galih memanggilnya Ibu.

"Ibu nggak salah dengarkan?" tanya Sekar dengan wajah bahagia.

"Aku mau bicara hal penting, bisa?" tanya Galih sekali lagi. Ardan ikut senang Galih akhirnya memanggil Ibu ke Sekar tapi perasaannya tidak enak melihat wajah serius Galih. Ardan lalu berdiri dan menyuruh Galih ke ruang kerjanya.

"Ayah harap kamu tidak bawa kabar kalau kamu pun menghamili pacar kamu seperti Biyandra," sindir Ardan saat mereka akhirnya duduk bertiga di ruang kerja Ardan.

Galih lalu membuang napasnya, "Aku mencintai Ayana dan ingin menikahinya. Aku ingin Ayah dan Ibu membatalkan pertunangan Ayana dengan Danu. Laki-laki itu bajingan dan dia tidak pantas mendapatkan Ayana," ujar Galih dengan berani.

Next chapter