webnovel

Ameera yang Malang

Sesosok pria paruh baya menatap wajah Ameera yang tengah bersimbah air mata. Wajah pria itu sangat pucat dan tampak rapuh. Melainkan Joseph—paman Ameera—yang sedang menahan sejumlah rasa sakit.

"Tetaplah menjadi gadis yang baik, Ameera. Jaga dirimu dan jaga ibumu. Paman yakin, ibumu akan menerima kamu suatu saat nanti. Jagalah dia dan maafkan semua kesalahannya, Sayang. Maafkan Paman juga yang tidak bisa menjagamu lebih lama lagi," ucap Joseph pada Ameera.

Yang tak lama kemudian, Joseph benar-benar diam dan menutup mata. Ameera begitu terperanjat mendapati Joseph tak lagi bernapas. Tangisan sangat keras miliknya lantas mengisi seluruh ruang rawat di rumah sakit itu. Rasanya sesak dan benar-benar pilu. Ameera tidak rela ditinggal pergi oleh sang paman yang begitu baik serta telah menjaganya selama ini. Naas, kenyataannya sang takdir sedang tidak ingin berpihak pada keinginan Ameera yang malang.

Dalam keadaan terengah-engah, Ameera membuka matanya. Mimpi itu lagi, begitu pikirnya. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak Joseph tiada, tetapi kejadian kematian pria itu masih saja menyapa setiap tidur Ameera. Ketidakrelaan yang masih menyelimuti ruangan hati, membuat wanita cantik tersebut terus terkungkung kesedihan pasca kehilangan satu-satunya orang yang menyayanginya.

"Paman," ucap Ameera begitu lirih. "Apa kabar Paman di atas sana? Apa Paman melihatku yang masih sering merindukan Paman? Kenapa Paman selalu datang dalam keadaan seperti itu? Bisakah sesekali Paman mengunjungi mimpiku dengan sebuah senyuman?"

Setetes air mata berlinang dan lantas bercampur dengan peluh di paras ayu milik wanita itu. Suasana yang gelap, dingin, serta hujan menjadi dukungan penuh atas kenestapaan yang masih Ameera miliki hingga saat ini. Padahal dirinya sedang mendapatkan libur kerja langsung dari ibunya. Alih-alih dapat beristirahat dengan tenang, kenangan terakhir bersama sang paman masih saja terlintas di alam bawah sadarnya.

Belum lagi tentang penyesalan yang Ameera rasakan. Tentang, seandainya pada saat itu, Ameera lebih melihat penderitaan Joseph. Seandainya, sejak awal Ameera mulai menyadari bahwa batuk berdarah yang dialami Joseph adalah sebuah masalah serius yang harus segera ditangani. Oh, penyesalan itu yang terus membuat Ameera benar-benar sulit menerima kenyataan.

Pasalnya, selain bersedia merawatnya sejak masih bayi, hingga menjadi gadis belasan tahun, Joseph tidak pernah menyerah untuk membuatnya terus menempuh pendidikan yang bagus. Sayang, Ameera terlalu gelap mata pada semua pemberian Joseph, sampai tak menyadari penyakit serius yang diderita oleh pamannya tersebut.

Kini, setelah kepergian Joseph, Ameera hidup di bawah naungan Catarina. Ia berada di rumah super besar milik ibunya itu. Namun, kamar yang ia tempati bukanlah kamar seorang putri, melainkan kamar yang biasa dipakai oleh para pelayan.

Sementara Ameera tidak lagi dapat pergi dari rumah itu, setelah menandatangani kontrak kerja jangka panjang sebagai pelayan di klub malam. Ia yang dulu masih berusia 17 tahun memang sempat kesulitan dalam mencari pekerjaan, apalagi pada saat itu dirinya masih merupakan gadis lulusan baru yang tak memiliki pengalaman apa pun. Oleh sebab itu, Ameera terpaksa mendatangi Catarina, memohon agar dibantu mendapatkan pekerjaan. Selain itu, ia ingin menepatinya janjinya pada Joseph untuk terus menjaga Catarina yang pasti lambat laun akan segera menua.

"Ah sudah jam empat rupanya. Aku harus bangun dan membuat sarapan untuk Ibu, siapa tahu hari ini beliau sudah mau mene—" Belum selesai dalam melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja pintu kamar Ameera terdengar tengah diketuk oleh seseorang.

"Ameera! Sudah waktunya kau bangun!" Suara Catarina lantas terdengar bergiliran dengan bunyi ketukan. "Ameera!"

Mata Ameera lantas terbuka lebih lebar. Detik itu juga, ia segera beranjak turun. Ia melangkah dengan terburu-buru demi memenuhi panggilan sang ibu.

"Iya, Nyonya, saya sudah bangun," jawab Ameera kemudian berangsur membuka pintu kamar itu.

Catarina yang Ameera panggil menggunakan sebutan 'nyonya' sudah tampak berdiri tegak di balik pintu. Entah ada gerangan apa yang terjadi, sebab baru kali ini Catarina tiba-tiba datang dan meminta sang putri segera beranjak dari tempat tidur.

"Iya, Nyonya. Se-selamat pagi," sapa Ameera. Jujur saja, ia berharap sikap Catarina yang se-demikian asing merupakan salah satu tanda bahwa ibunya tersebut sudah mulai bersedia menganggapnya sebagai putri yang sesungguhnya.

Namun ... alih-alih memberikan balasan hangat untuk sapaan Ameera, Catarina justru bersikap acuh tak acuh. Sementara, di detik berikutnya, ia lantas menyerahkan sebuah kotak berukuran besar.

"Pakailah barang-barang di dalam kotak itu dan rias wajahmu dengan baik. Aku tunggu pagi ini pukul tujuh di ruang tamu," ucap Catarina.

Ameera mengernyitkan dahi, sebab merasa kebingungan sendiri. "Apa ini, Nyonya?"

"Kau masih punya tangan dan mata, bukan? Tak seharusnya kau bertanya, di saat dua anggota tubuhmu itu masih berguna," jawab Catarina ketus. Benar-benar tidak mencerminkan sosok ibu yang baik. Wajah ayu Ameera yang memiliki sedikit kemiripan dengan Robert, memang kerap membuatnya muak.

"Baik, Nyonya."

"Jam tujuh, di ruang tamu, jangan terlambat! Kurasa kau masih bisa merias wajahmu sendiri, mengingat sudah sekian tahun menjadi pelayan di bar milikku."

"Iya, Nyonya. Saya sudah lihai tentang hal itu."

"Oke. Setidaknya, aku bisa lebih berhemat karena tidak perlu menyewa penata rias. Kau memang harus terus tahu diri, Ameera. Kau sudah makan dan tinggal di sini, jadi jangan pernah menyusahkanku lagi setelah ini."

"Akan saya usahakan, Nyonya Catarina."

Catarina tersenyum sinis, sesaat setelah mendengar jawaban persetujuan dari Ameera. Baginya, Ameera memang tak lebih dari sekadar pembantu. Apa pun yang ia katakan harus terus ditaati oleh putrinya itu. Anggap saja sebagai cara balas dendamnya pada Robert Aland yang sudah meninggalkannya serta memberikan luka mendalam untuk hatinya.

Setelah merasa cukup dalam memberikan perintah dan penekanan pada Ameera, Catarina lantas berlalu dari tempat itu. Sementara, Ameera masih saja terdiam sembari menatap punggung ibunya yang tetap indah meski sudah nyaris 50 tahun.

"Kapan Ibu akan memeluk diriku, layaknya seorang putri yang sesungguhnya? Dan setelah sekian tahun aku berada di sini, tak adakah setitik saja rasa sayang yang Ibu berikan padaku? Paman ... tugas yang engkau berikan sungguh berat. Kenyataannya Ibu tetap membenciku," gumam Ameera.

Lantas, wanita cantik itu menghela napas dalam. "Tapi, hanya aku satu-satunya keluarga yang Ibu miliki saat ini. Bahkan, meski Ibu sangat kaya, tetap saja kekayaan itu tak menjamin kehidupan masa senjanya akan bahagia jika tanpa keluarga. Paman ... aku akan terus berusaha menjaga Ibu, bahkan meski harus terus diperlakukan seperti ini. Lagi pula, selama ini Ibu tidak pernah mengizinkan siapa pun menyentuhku di tempat gelap penuh dengan pria hidung belang tersebut," lanjutnya berkata-kata.

Detik berikutnya, Ameera memutuskan untuk menutup pintu kamarnya lagi. Ia berjalan menuju ranjang berukuran kecil di sudut kanan ruangan. Sebuah kotak berukuran besar, ia letakkan di atas tempat tidur tersebut. Yang mana setelah itu, Ameera mendapati gaun berwarna merah tanpa lengan dan cukup terbuka, lalu highheels berwarna senada. Satu kotak kecil make-up pun Ameera temukan di dalam big box tersebut.

"Apa ini? Untuk apa aku diminta memakai semua barang-barang ini?" gumam Ameera bertanya-tanya.

***

Welcome to my new Novel!^^

VhyDheavy_Putricreators' thoughts