webnovel

Part 39

Wajah keduanya tampak begitu serius, bahkan suasana di dalam kamar itu terasa sangat canggung. Mereka seperti saling bermusuhan dengan saling menatap tajam satu sama lain. Ron duduk di samping Anne, ia memegang tangan Anne dan berusaha untuk mengalah pada wanita itu.

"Aku minta maaf karena sudah marah padamu," ujar Ron lirih.

Anne terdiam, ia ingin mendengar kelanjutan dari ucapan Ron setelah ini. Anne berusaha untuk tetap tenang, jika keputusan Ron membuatnya sakit, ia berencana akan mengikat Ron dengan perjanjian bodoh seperti dulu.

"Beri aku waktu untuk kembali mencintaimu, aku melakukan ini semua untuk kebahagiaan Cio dan juga dirimu, Anne," jelas Ron.

Anne tidak menyangka dengan keputusan Ron, ia menatap wajah Ron yang kini terlihat menyesal dengan perbuatannya di masalalu. Lelaki itu sudah memikirkan semuanya dengan sangat matang. Ia ingin membahagiakan Anne dan Cio seperti rencana awal.

"Anne, apa kau masih berseia menerima aku di dalam hidupmu dan juga Cio?" tanya Ron.

"Ron, a-aku tidak menyangka jika kau akan berkata seperti ini. Awalnya, aku mengira bahwa kau akan memilih Sia," ujar Anne.

"Sejenak aku memikirkan saudara kembarmu. Namun, aku sadar jika aku mencintainya karena wajahnya yang sama denganmu," jelas Ron.

"Ron, aku melihat sorot mata Sia ... ada cinta di sana dan cinta itu untuk dirimu," ujar Anne.

Ron mempererat genggaman tangannya, ia merasa bersalah karena sudah membuat Sia jatuh cinta pada dirinya. Ron berusaha meyakinkan Anne agar ia tidak salah paham dengan semua ini.

"Apa kini kau ragu untuk menerima aku lagi?" tanya Ron.

"Ron, aku masih mencintaimu seperti dulu, meski kau berhubungan dengan siapapun di luar sana, kau tetap milikku!" tegas Anne.

Ya, wanita itu akan selalu menerima Ron, apapun konsekuensinya. Meski harus menyakiti saudaranya sendiri, Anne akan tetap mempertahankan Ron untuk tetap di sisinya. Ron merasa lega saat mendengar ucapan Anne, tetapi di dalam hatinya yang terdalam, ada sedikit rasa bersalah pada Sia.

"Baiklah, kita jalani kehidupan ini seperti biasa, aku ingin kita menjadi keluarga utuh, tetapi tidak dalam waktu dekat," jelas Ron.

"Baiklah, aku mengerti."

Ron menarik tubuh Anne lalu memeluknya dengan erat. Ron merasa nyaman saat memeluk wanita itu.

Tok

Tok

Tok

Seseorang mengetuk pintu kamar mereka, Ron melepaskan pelukannya dan melihat siapa yang berada di balik pintu itu.

"Cio," ucap Ron.

"Papa, di mana Mama? Aku sudah menunggu untuk sarapan bersama, tetapi kalian tidak kunjung datang," ujar Cio.

"Maaf, Sayang. Kami sedang berbincang untuk beberapa saat lalu. Sekarang ayo kita makan bersama," ajak Anne.

Cio tersenyum lalu menggandeng tangan Anne menuju ruang makan. Sementara Ron berjalan mengekor di belakang keduanya.

Sampai di ruang makan, hidangan untuk makan pagi sudah tertata rapi di atas meja. Ron duduk berdampingan dengan Anne, sedangkan Cio duduk di seberang kedua orang tuanya. Suasana saat itu begitu hangat tanpa adanya gangguan.

"Aku akan berangkat ke kantor setelah ini, apa kau akan kembali bekerja juga, Anne?" tanya Ron.

"Sejak dinyatakan sembuh, aku sudah mulai bekerja Ron. Hanya saja yang mereka ketahui bahwa Layla yang menyelesaikan semuanya. Kali ini juga, aku akan tetap bekerja di ruang kerja, sementara Layla akan bekerja mewakili aku di kantor," jelas Anne.

"Baiklah kalau begitu," jawba Ron.

"Abercio, Apa kau tidak pergi ke sekolah?" tanya Anne.

"Aku akan ke sekolah, Ma."

"Siapa yang mengantarkanmu, sayang?" tanya Anne.

"Paman Granger, ia selalu menjagaku selama ini," jelas Cio.

"Sepertinya kalian sangat dekat. Baiklah, jangan berbuat ulah selama di sekolah, Mama dengan kau selalu membuat onar dengan meninggalkan jam pelajaran," ujar Anne.

Wajah Cio memerah karena malu, ia tidak menyangka jika Ibunya akn mengetahui tingkah lakunya selama di sekolah. Sementara Ron terkekeh melihat raut wajah anaknya yang terlihat malu dan juga takut.

"Jangan terkejut jika Ibumu mengetahui semuanya karena aku sudah mengalaminya sebelum dirimu, Jagoan," terang Ron sembari memakan makanannya.

"Diam Ron! Kau pikir aku tidak tahu apa yang baru saja kau lakukan dengan seorang jalang di kelab!"

"Uhuk ... uhuk."

Mendengar penuturan Anne, Ron tersedak hingga terbatuk. Sementara Cio tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Ibunya.

"Diam kalian! Cepat selesaikan makan dan pergi!" bentak Anne yang kini terlihat kesal.

Ron dan Cio segera menghabiskan makanannya, lalu keduanya beranjak dari meja makan menuju pintu utama. Ron mencium kening Anne sebelum masuk ke dalam mobil.

"Aku pergi," pamit Ron.

"Jangan bermain api lagi Ron! Kau tahu jika aku memiliki banyak mata di manapun kau berada," ujar Anne.

"Aku tahu, Sayang. Sampai bertemu lagi," ucap Ron.

Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan mengendarainya menuju kantor Solon Group. Sementara Cio pergi bersama Granger menuju sekolahnya.

Anne berbalik badan lalu melangkah masuk ke dalam Mansion. Ia mengambil napas dalam-dalam, mengatur dirinya agar tetap tenang menghadapi semua ini.

***

Anne berkutat dengan laptop dan juga berkas yang menumpuk di atas meja kerjanya. Ia memeriksa laporan bulanan yang diberi oleh Layla. Tidak lama kemudian, ponsel Anne berdering, nama Sia tertera di layar ponsel itu.

"Ada apa?" tanya Anne.

"Aku akan segera menikah minggu depan," ujar Sia dari seberang.

"Kau menerima perjodohan itu?"

"Ya, Papa mengancamku jika aku tidak menurutinya, ia akan mengambil dirimu sebagai pengganti," jelas Sia.

"Papa memang sudah gila," ujar Anne.

"Jangan datang karena bisa saja ini semua taktik Papa untuk menahanmu," terang Sia.

"Aku tahu, tetapi aku khawatir pada dirimu," ujar Anne.

"Aku akan baik-baik saja, Anne. Kau tidak perlu cemas," ujar Sia menenangkan.

"Apa lelaki itu tampan? Apa ia juga baik padamu?" tanya Anne.

"Namanya Zain, Pangeran Timur Tengah. Tampan, untuk kesan pertama bertemu, ia sangat baik padaku," ujar Sia.

"Syukurlah, aku harap ia bisa membahagiakan dirimu," ujar Anne.

"Ya, terima kasih. Bagaimana dengan hubunganmu ?" tanya Sia ingin tahu.

"Kami baru saja memutuskan untuk membangun kembali hubungan ini," jelas Anne.

"Baguslah, semoga kalian bahagia selamanya. Salam untuk Cio, aku sangat merindukan anak genius itu," ujar Sia.

"Akan kusampaikan, kau juga ... selamat berbahagia," ujar Anne sebelum memutuskan sambungan telepon itu.

Anne menghela napasnya dengan kasar.

"Kau sungguh berpikir jika aku peduli, Sia."

Anne dan Sia memang dua orang yang sama dengan sifat yang berbeda. Jika Sia terlihat sangat peduli dengan saudaranya itu, tidak dengan Anne yang lebih mementingkan ambisinya. Anne kembali melanjutkan pekerjaannya dan melakukan beberapa panggilan telepon dengan Layla.

"Masuk!"

"Nona, aku membawa wanita bernama Julia kemari," ujar Xander.

"Bagus, bawa ia ke gudang timur. Aku akan segera kesana setelah ini."

Xander mengangguk, lalu segera beranjak dari ruang kerja Anne.

Setelah itu, di gudang timur. Seorang wanita dengan tangan dan kaki yang terikat tengah tersungkur di lantai yang terlihat sangat kotor itu. Mulutnya terikat sebuah kain hitam, wajahnya terlihat sangat takut, bahkan airmatanya tidak bisa berhenti untuk mengalir membasahi pipinya.

Julia menggelengkan kepalanya, berharap untuk diampuni dan dibiarkan pergi. Sayang, Anne bukan tipe wanita yang mudah melepaskan seorang tahanan.

"Nona," sapa Xander yang melihat Anne masuk ke dalam gudang itu.

"Lepaskan penutup mulutnya, aku ingin mendengarkan kalimat terakhir yang ingin ia sampaikan," ujar Anne.

Xander mendekati Julia, lalu melepaskan kain hitam penutup mulutnya. Julia terisak saat melihat Anne di hadapannya.

"Nyonya, apa salahku?" tanya Julia.

"Kesalahanmu adalah, kau memuaskan seorang lelaki semalam dan ia adalah milikku," ujar Anne.