webnovel

Molded World

Spesies pasca-manusia terjebak dalam sebuah perang yang tidak berkesudahan. Seorang android yang telah tertidur selama ribuan tahun, bangun untuk mempelajari manusia dalam dunia yang tumbuh oleh sisa-sisa peradaban itu.

Kattapulto · Sci-fi
Not enough ratings
10 Chs

Cermin

Bagi Attak, ini adalah pertama kalinya ia melihat pertempuran. Sebuah situasi dimana konflik mencapai puncak, sehingga baik kedua belah pihak, menggunakan kekerasan untuk mengunggulkan tujuannya. Walau gelap, ia dapat melihat Collen, melesat menggunakan engine yang memancarkan cahaya biru, membenturkan dirinya ke salah satu musuh, dan menyisakan ledakan-ledakan kematian.

Sekali lagi, Attak merasakan sesuatu yang aneh… Sesuatu yang berbeda.

Walaupun ia memahami konsep tentang 'perang' dan 'konflik', baik secara filosofis hingga politis, ada sesuatu yang mengemuka dalam dirinya ketika ia melihat Collen melawan 3 orang Venusian itu. Ketika Collen pertama kali melancarkan serangan dan berhasil membunuh seorang dari mereka, lengkingan suara yang penuh amarah dan kesedihan, tiba-tiba menyeruak di antara deru mesin dan tembakan senjata.

Namun, Attak bersyukur ketika seluruh pertempuran itu berakhir, dan Collen kembali mendarat di kapal dengan selamat. Disampingnya, seorang Venusian, terkulai lemas tak sadarkan diri, dan perasaan aneh itu kembali muncul dalam diri Attak.

Mereka memborgol Venusian berambut hitam panjang itu, kemudian membawanya masuk dalam kabin kapal. Sementara itu, Collen menghampiri Rose, melaporkan hasil pertarungan, dan membanggakan tawanan perang dari aksi heroiknya.

Rose, walau menunjukan mimik muka tidak senang karena lagi-lagi Collen mengacuhkan komando, hanya mengangguk dan memerintahkan seluruh kru kembali bekerja untuk berlayar ke markas Martian.

Attak menghampiri Collen, dan perempuan itu sudah siap dengan senyum di wajahnya.

"Syukurlah kamu baik-baik saja!" kata Attak.

"Butuh waktu lama untuk memburu Venusian putih itu, tapi akhirnya aku berhasil mencetak skor,"

"Waktu lama?"

"Ya, hampir tiga setengah tahun sejak kami pertama kali bertemu, dan aku selalu memburunya hingga saat itu."

"Kenapa kau memburunya?"

Collen terdiam sejenak, ia ingat hari itu dengan sangat jelas dalam kepalanya.

***

4 tahun lalu, di sebuah daratan yang sebelumnya adalah salah satu bagian negara Amerika Serikat…

Di wilayah gersang yang terus diperebutkan Venusian dan Martian, Collen pertama kalinya merasakan perang. Saat itu, ia bersama teman-temannya dari Batch 105, setelah selama sepuluh tahun mempelajari cara untuk bertarung, tiba saatnya bagi mereka untuk mempertaruhkan jiwa mereka untuk bangsa.

Angkatan Udara Batch 105, Regu 31, dan diketuai oleh seorang kapten veteran dengan nama Risk. Collen melapor selayaknya tentara yang terlatih.

"Collen, kode produksi: 68247, Unit penyerang udara, siap bertugas!"

Ruangan regu 31 berisi 4 orang veteran yang sedang berbincang, atau sedang membersihkan senjata. Tiga buah ranjang tingkat tersusun di ujung ruangan, karena ruangan regu ini juga merupakan tempat tidur bagi seluruh anggota.

"Kamu anggota baru? Cuma kamu saja?"

"Serius? Aku dengar regu 27 dapat 3 anggota baru! Dan kita hanya dapat… seorang anak kecil?" tukas salah satunya lagi.

"Itu karena mereka kehilangan dua anggota mereka dalam satu tahun terakhir ini, Tusk, diamlah dan urusi urusanmu sendiri."

Seorang perempuan yang barusan mengobrol berdiri, ia memiliki rambut pendek yang dipotong dengan gaya Mohawk, bewarna merah menyala. Ia mendatangi anak baru itu, yang tingginya hanya separuh badannya. Si anak baru terlihat mencolok dengan seragam resmi, dimana seniornya yang lain mengenakan pakaian minim yang sama sekali berantakan.

"Ya bu… siap bertugas."

Collen menelan ludah, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa takut.

40 menit setelah Collen merapikan barang-barangnya, ia bersama keempat seniornya bersiap di arena latihan dengan menggunakan {Engine] mereka. Collen diminta untuk mendeskripsikan kemampuan [Engine] nya, medemonstrasikan cara kerjanya di medan perang, serta menyusun strategi terbaik bersama keempat seniornya.

Risk adalah seorang pemimpin yang handal, setidaknya menurut pendapat Collen. Ia serius dalam menerima seluruh informasi yang Collen katakan, dan secara detail menjelaskan apa yang perlu Collen lakukan dengan kemampuan miliknya.

Hari kedua dari waktu kedatangan Collen, dan mereka langsung diterjunkan ke medan perang.

Tugas mereka ada di salah satu garis pertahanan yang berada di daratan yang terjal. Venusian dengan posisi yang lebih tinggi dapat dengan mudah menembak siapa saja yang berjalan ke arah tebing tersebut. Mereka butuh bantuan udara.

Regu 31 bertugas untuk memberikan bantuan serangan lewat bom karpet, akan tetapi mereka tidak mengetahui keberadaan senjata anti-udara yang disembunyikan Venusian.

Ketika hampir seluruh anggota regu celaka akibat itu, Risk dengan cepat memerintahkan Collen bersama dengannya untuk menyerang senjata udara dengan senjata jarak dekat. Dan sejak saat itu, Collen merasa bahwa ia lebih baik dalam pertarungan jarak dekat dibanding jarak jauh.

Dua puluh menit kemudian, pasukan Martian dapat menembus pertahanan tebing, dan mengklaim tempat tersebut sebagai garis pertahanan baru, sementara tentara Venusian menarik mundur pasukan mereka.

Regu 31 mendapat penghargaan atas peran penting mereka dalam meminimalisir kerugian yang diderita pasukan Martian dalam penyerbuan tersebut. Beberapa hari kemudian, Regu 31 mendapat penugasan kembali, dan mereka sempat dicegat oleh pasukan udara Venusian.

Collen menunjukan potensi bakat dalam medan perang. Misi selesai dengan sukses, dan sejak itu, Regu 31 mulai lebih sering mendapat tugas-tugas penting. Seiring waktu, Collen juga mulai dekat dengan seniornya yang lain, terutama terhadap Risk.

Bagi Collen, Risk adalah pedoman seorang tentara teladan. Kemampuan, cara pikir, serta strateginya tepat sasaran, dan berhasil membawa kesuksesan pada misi mereka. Akan tetapi, ia juga tahu cara untuk bersenang-senang, dan menyatukan regu bersama.

Pada suatu malam, setelah mereka sekali lagi menyelesaikan misi sukses, Regu 31 menyelenggarakan pesta kecil-kecilan. Senior-senior mengajak teman-teman dari regu lain untuk bernyanyi dan bersenang-senang.

Akan tetapi Risk lebih memilih untuk berada di balkon, dengan sekaleng bir, dan memandang langit malam.

"Oh, anak baru!" Risk baru sadar akan kehadiran Collen ketika ia mendekatinya.

Collen melihat kaleng berbentuk tabung yang ada di tangan seniornya itu.

"Oh ini? Ini namanya bir. Minuman yang dibuat oleh peradaban lampau, mau coba?"

"Walaupun aku coba, bukankah kita para [Ningyo] tidak memiliki indra pengecap? Lagipula mengapa repot-repot memproses bahan dasar kalau kita bisa hidup dari apa saja?" jawab Collen.

Risk hanya memberikan senyum simpul, kemudian ia menarik birnya, dan meneguk minuman tersebut.

"Aku… minta maaf, teralu banyak bicara…" tukas Collen.

Risk, malah tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa kamu justru ciut setelah berbicara seperti itu? Apa yang kamu katakan itu memang benar kok. Dibanding peradaban lampau, kita memiliki tubuh yang lebih praktis untuk bertahan hidup. Kita tidak memerlukan proses bernama 'makan' seperti yang dilakukan oleh peradaban lampau." Kata Risk "Akan tetapi, sebagai sebuah spesies yang telah ada lebih dulu, mereka meninggalkan banyak rekaman tentang bagaimana 'makanan' dan 'minuman' menjadi bagian dari kehidupan mereka."

"Bukankah hal tersebut sudah jelas untuk makhluk hidup biologis?"

"Tidak hanya untuk hidup. Konsep makanan dan minuman yang mereka ciptakan, adalah cara untuk berkomunikasi satu sama lain. Mereka menciptakan jutaan jenis resep, menciptakan makanan dan minuman untuk dimakan bersama. Dari sana, peradaban mereka mulai berkembang."

Collen sejenak melihat ke arah senior-seniornya yang sedang bernyanyi dan bersenda gurau bersama.

"Hal itu juga sama. 'musik' adalah suara unik yang diciptakan manusia untuk saling berkomunikasi. Sadar atau tidak, peradaban kita adalah cermin bagi peradaban sebelumnya."

"Cermin… kalau begitu… apakah perang ini juga demikian?"

Risk tidak menjawab, alih-alih ia membuka satu kaleng bir baru dan memberikannya pada Collen.

Ada semacam ekspresi di wajah Risk yang tidak bisa Collen jelaskan, seniornya terlihat sedih, tetapi juga marah, seakan ia memiliki masalah, tetapi tidak memiliki cara untuk mengatasi masalah tersebut.

"Ya… aku pikir bahkan pada perang ini pun, kita mencerminkan masa lalu peradaban itu." Kata Risk.

Collen mencoba meneguk minuman tersebut, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang baru menyelimuti permukaan lidahnya.

"Risk… Ini…" Collen tidak bisa berkata-kata, ia merasakan sensasi rasa pahit yang getir, serta rasa manis yang menyenangkan. Ia juga mencium aroma alkohol dan tumbuhan, yang menyeruak masuk dalam otaknya.

"Menyenangkan bukan? Aku juga terkejut ketika pertama kali merasakan itu." Katanya.

Malam itu, Collen memikirkan bagaimana miripnya dia, dengan peradaban lampau, yang ia ketahui, musnah akibat kebodohan mereka sendiri.

***

"Kemudian… Apa yang terjadi dengan Risk?" Tanya Attak pada Collen yang tengah sibuk menyiapkan sesuatu di balik dapur. Saat ini hanya ada mereka berdua di sana, umumnya pada jam ini, pasukan yang tidak memiliki giliran jaga diwajibkan untuk tidur, sehingga suasana malam ini sangat sepi.

"Beberapa misi setelah hari itu, Risk tewas dalam pertarungan." Jawab Collen, membuat Attak terkejut.

"Saat itu adalah pertempuran udara. Kami dicegat oleh unit yang belum pernah kami lihat sebelumnya, dan Venusian putih itu, adalah orang yang menembak Risk." Collen menuangkan air kedalam dua buah gelas, dan membawanya pada Attak.

"Aku… Minta maaf…"

"Tidak usah dipikirkan. Lagi pula, aku juga telah membunuh rekannya. Berkali-kali."

Attak menatap Collen.

"Dimana aku bertugas, aku selalu bertemu dengan si Putih itu. Ketika mata kami saling beradu, ada perasaan yang mendorong untuk mengangkat pedang. Juga, aku melihat ekspresi mengerikan itu pada wajahnya. Seakan aku tahu bahwa dia akan membunuhku."

Attak merasa bahwa Collen menjelaskan perasaan marah yang mereka berdua rasakan. Entah mengapa, mereka selalu bertemu dalam medan perang, mereka telah membunuh rekan satu sama lain, dan hal itu menumbuhkan perasaan benci dan terancam di antara mereka.

"Collen, aku ingin menanyakan sesuatu…"

"Ada apa?"

"Apakah… kau mau menemaniku untuk bertemu dengan Elviet?"

"…Untuk apa?" Collen memberikan ekspresi tidak suka akan pendapat Attak.

"Aku merasa… bahwa ada lebih dari sekedar konflik antara kalian berdua. Aku adalah android yang menyimpan data kehidupan manusia, dan konflik adalah tembok yang selalu menghadang manusia mencapai persetujuan."

"Karena itu, ijinkan aku menjembatani kalian berdua, mencapai kesepakatan seperti yang pernah manusia dulu lakukan."

Collen terdiam, mata gadis di hadapannya itu terlihat penuh dengan tekad. Ia berpikir sebentar.

"Aku akan mengizikannya jika kau mau mencoba minuman itu." Collen melirik pada gelas yang ia sajikan.

"Eh? Bo…boleh…? Baiklah…" Attak tergagap karena ia tidak menyangka Collen akan setuju secepat ini.

Ketika menyeruput minuman tersebut, perasaan menggembirakan menyeruak dari komponen lidah Attak, kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Eh!? Ini enak sekali… Minuman ini…"

"Teh susu dengan madu. Aku banyak mencari informasi tentang bahan makanan biologis, dan menemukan resep-resep makanan manusia jaman dulu." Jawab Collen tersenyum lebar.

Attak menghirup aroma teh, kemudian lanjut meminumnya pelan-pelan. Ia merasa hangat dan tenang.

Ia kini mengerti mengapa manusia berkembang dengan jutaan resep makanan dalam peradaban mereka.

***

Elviet berada pada sel penjara yang terletak di ujung dek kapal, lehernya diborgol oleh sebuah mesin yang mengeluarkan cahaya LED bertuliskan 'armed'. Borgol itu berfungsi untuk membunuh Elviet bila alat itu mendeteksi upaya tahanan untuk memunculkan [Engine]. Elviet akan mati dengan mengenaskan bila ia tidak dapat mengatasi borgol tersebut.

Selain benda itu, Pengamanan untuk Elviet hanya sebatas beberapa penjaga, dan ruang besi yang dapat ia hancurkan dengan mudah, bila ia memiliki [Engine] nya.

Ia mendongak ketika mendengar suara langkah kaki dan beberapa orang berbicara, akan tetapi tidak ada yang bisa membuatnya lebih terkejut ketika melihat 'orang itu'.

Rambut keriting pendek bewarna merah, sesuai dengan warna engine yang berkali-kali berhadapan dengannya di langit. Berkali-kali pula warna tersebut merenggut nyawa rekan-rekan seperjuangannya seperti yang baru saja terjadi kemarin malam.

Tidak ada kata diucapkan, baik oleh Merah, maupun Putih. Hanya tatapan panjang yang hening.

"Eh… Anu, nona Venusian, boleh aku mengetahui namamu?" Attak memecah keheningan, ia menjulurkan tanganya sambil tersenyum kepada perempuan berambut hitam panjang tersebut.

"Siapa kamu dan mau apa denganku?" jawab Elviet dingin.

"Namaku Attak, seorang Android. Aku disini untuk menanyakan beberapa hal padamu."

"Android? Jangan becanda, Mereka sudah hilang bersama dengan peradaban lampau." Cemoohnya.

"Sepertinya setelah kau gagal membunuhku kemarin, aku tanpa sengaja menemukan Attak, dalam kapsul waktu." Collen masih tidak bisa menyingkirkan pandangan tajamnya.

"Begitu ya? Sayang sekali."

Collen menganggap jawaban perempuan itu adalah cemooh, ia mengepalkan tangan dan menghentak lantai.

"Collen, tunggu sebentar." Attak menahannya, dan Collen mundur.

"Nona Venusian, aku disini tidak berafiliasi dengan siapapun, aku juga tidak berniat untuk menginterogasi anda, hanya waktu sebentar untuk mengobrol."

"…Elviet." Tukas gadis Venusian itu. "Itu namaku."

"Nona Elviet! Salam kenal! Aku Attak!" wajah Attak berbinar bahagia, trali besi ini tidak memungkinkan mereka untuk berjabat tangan, jadi Android itu memberikan senyum terbaik yang bisa ia berikan.

"Jadi? Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Ah! Benar… Nona Elviet… Mengapa Venusian dan Martian berperang?"

Elviet membuang muka sejenak kemudian pandangan matanya tertuju tajam kepada Collen.

"Apalagi kalau bukan karena kalian, para Martian, menyerang dan membunuh kami, para Venusian."

"Begitukah? Bukankah hal yang sama juga kalian lakukan? Menyerang dan membunuh para Martian?" balas Collen.

Attak hanya dapat menyaksikan perang mata antar kedua orang tersebut.

"Eh… Anu… kalau begitu apakah kalian mengetahui perintah yang diberikan atasan mengenai situasi perang kedua belah pihak?"

Collen dan Elviet saling melihat Attak.

"Perintah? Tentu saja, dengan mengambil sebanyak mungkin wilayah Venusian, maka kami, Martian akan menjadi lebih kuat dan aman dari serangan mereka,"

"Ha! Akhirnya kau menunjukan niat jahatmu juga, penjajah!"

"Jika bukan kaum kalian yang pertama kali melakukan pembunuhan, tidak akan ada perang sejak awal!"

"Anu��� tolong jangan bertengkar… Collen, apa maksudmu tentang yang pertama kali membunuh?"

Collen menegakan badan, menyingkirkan kekesalannya pada si tahanan perang.

"Kami diajarkan sejarah bagaimana perang ini terjadi. Seharusnya, bertahun-tahun lalu, Martian dan Venusian adalah satu kaum. Akan tetapi seorang Venusian mulai membunuh. Sejak saat itu, Martian takut bahwa Venusian akan terus membunuh [Ningyo], jadi kami, Martian, berkumpul sendiri dan memerangi mereka," Collen menunjuk Elviet.

"Omong kosong! Kalian adalah kaum pertama yang mulai membunuh kami, sehingga kami harus angkat senjata melawan kalian!" balas Elviet.

"Aku mengerti, jadi baik Venusian, maupun Martian, keduanya berperang berdasarkan komando yang diberikan… Tapi apakah kalian pernah melakukan upaya untuk mencari kebenaran dari kisah tersebut?"

Baik Elviet maupun Collen menggelengkan kepala.

Attak menaruh tangan di dagunya. Ia menarik kesimpulan bahwa baik Elviet maupun Collen tidak memiliki alasan jelas mengapa mereka harus bertarung. Satu-satunya cara yang harus dilakukan selanjutnya adalah bertanya langsung pada seseorang dengan pangkat lebih tinggi dalam peperangan ini.