Beberapa hari kemudian mocha seperti sudah kembali pulih, aku memilih pindah ke apartmen untuk waktu yang lebih lama dengannya, mocha sudah memutuskan hubungan dengan beny, aku berniat melamarnya malam ini. Kebetulan hari ini mocha sedang menyelesaikan wisudanya, aku ingin memberinya kado spesial.
"cha kita ketemu di mosimann's pukul 8 malam ini" kukirimi dia sebuah pesan singkat, aku ingin mengajaknya dinner di salah satu restoran terkenal di london.
Aku sangat nervous, mengenakan setelan jas dan celana hitam, sebuah cincin sudah tersimpan di dalam saku jas ku,
Terlihat mocha dari sana mengenakan setelan dress merah, sangat cantik lebih dari biasanya, ia berjalan kearahku dengan senyum manis di lesung pipinya
"ciye udah s2 aje neng" ledekku padanya agar tak terlihat gugup
"apaan sih lo" ia terlihat malu-malu lalu menatapku tajam
"ada apa sih ini, tumben lo ngajak gue ke tempat beginian" sambungnya
"lo inget gak sih cha, kita pernah buat janji pernikahan, saat usia kita tepat 30 tahun tapi kita belum nikah, kita bakal nikah" aku yang sedikit bercanda berubah ketika melihat mocha yang menjadi serius
" iya gue inget no, gue kira lo yang bakal nikah duluan, soalnya lo yang bikin perjanjian semacam itu" penjelasannya dan wajahnya tampak begitu serius
" sebenernya gue udah punya calonnya cha, gue sekarang mau ngelamar dia" ucapku tak kalah serius
" ohya, mana orangnya?" mocha terlihat mencari-cari seseorang
"ini didepan gue" jantungku ingin copot rasanya, perasaanku sungguh tak karuan melihat raut wajah mocha terlihat seperti marah, mampus gue!
"lo? Lo no? Sejak kapan?" tanyanya dengan nada tinggi
"gue gak tau cha kapan rasa ini muncul, gue baru sadar ketika lo 2 tahun yang lalu pulang, gue ngerasa nyaman kalau di deket lo" aku mencoba menjelaskan secara detail kepadanya
"chaa.. Will you marry me ?" aku berlutut di hadapannya meminta balas cinta darinya berharap ia mau menerima segala kekuranganku, menyodorkan cincin yang sudah kusiapkan tempo hari, tak lupa juga meminta restu mama.
"yes i do chino" ia meneteskan air mata didepanku, aku tahu itu adalah air mata kebahagiaannya, aku sangat gembira sekali, kusematkan sebuah cincin dijari manis mocha ia tampak begitu manis dengan cincinnya.
Aku memeluknya dengan bangga, akhirnya aku menemukan seseorang yang tepat selama ini, yakni mocha, partner yang sudah berada di sampingku bertahun-tahun sampai kami sesukses ini.
"eitss, gue rasa lo udah ngelanjar janji deh no, lo bilang kan umur kita genap 30 tahun, tapi baru minggu depan kita ultah, gak adil lo" dia menepuk kecil pundakku, senyum nya yang manis membuatku luluh dengan perkataannya
" iya deh iya, minggu depan gue ngelamar lo lagi di depan mama" ucapku malu-malu, kutatap dalam wajah mocha yang terlihat begitu cantik malam itu, sangat cantik.
Malam itu aku dan mocha menghabiskan malam berdua dengan cerita-cerita absurd kami merancang masa depan bersama, menceritakan segala harapan konyol yang ingin kami jalani hingga akhir hayat.
Selanjutnya, dering telfon membuat suasana romantis menjadi mencekam, bosku menelfon dan ingin aku pulang malam ini, katanya ada rapat yang sangat penting terkait kantorku, melihat wajah mocha aku jadi tak tega meninggalkannya
"ada apa no" tanyanya saat aku telah selesai menelfon,
"ini cha, gue di panggil bos gue mendadak buat rapat penting katanya" aku menceritakan kejadian yang memang sebenarnya terjadi dengan terbuka oleh mocha,
"yaudah gue gak papa disini, lagian 3 hari lagi gue juga balik ke Jakarta no" dengan senyumnya yang manis ia memberiku pengertian,
"makasih cha, lo emang sahabat plus calon istri idaman banget" ucapku melambungkan mocha
"apaansih lebay" ia tertawa malu-malu,
Aku langsung membeli tiket untuk pulang ke jakarta malam ini, aku menggandeng tangan mocha selama di bandara aku tak akan melepaskannya. Takpernah.
"cha, lo baik-baik disini ya, jaga hati buat gue" pintaku, lalu memandangnya lebih dekat
"iya no, gue janji gue bakal secepatnya
pulang, lo hati-hati ya. Kalo udah nyampe kabarin gue secepatnya" katanya tak kalah menatapku
Aku mendekatinya perlahan, sekarang aku dan dia hanya berjarak 1 centi, hingga hidung kami bertabrakan, kuberanikan diri menatapnya tajam lalu bibirku perlahan menyentuh bibirnya, nafas kami menjadi satu, bandara yang kala itu memang sunyi karna sudah tengah malam, udara dingin menjadi panas ketika mocha dan aku menyatu. Beberapa detik kemudian mocha melepas kecupannya, dengan malu-malu ia menahan senyum di wajahnya hingga terlihat memerah.
"iloveyou cha" bisikku di telinganya, lalu aku pergi dan meninggalkan hatiku di hatinya dengan liar. Mocha memandangiku dari kejauhan, perlahan wajahnya tak terlihat, aku sangat mencintai gadis itu. Tak akan pernah aku lepaskan.