Malam ini aku berharap waktu akan secepat kilat berputar, dan menerbitkan matahari yang cerah. Dering telpon yang berasal dari panggilan Mocha sengaja tak ku jawab.
Pukul 06.30 wib aku sudah terbangun dan bergegas pergi ke Bandara, Mama sengaja tak ku perbolehkan untuk mengantar ku, Mama menurut, dia hanya ingin secepatnya aku menemui Mocha dan mencari tahu seluk beluk pasangan Mocha.
"No, kamu langsung kabari Mama ya, dan langsung temui Mocha, Mama agak khawatir dengan anak itu." ucap Mama tampak gusar.
"Pasti Ma, udah Mama santai aja di rumah, Chino bakal ngasih kabar ke mama secepatnya," Aku mencoba menenangkan Mama yang akan ku tinggal beberapa hari sendirian.
Di sepanjang perjalanan aku terus memikirkan ocehan Mocha, rasa yang baru ku sadari kini harus ku hilangkan begitu saja karena cinta ku bertepuk sebelah tangan. Aku akan berusaha untuk merelakan Mocha ku jika yang membuat Mocha bahagia.
Sudah sekitar 17 jam lamanya perjalanan untuk tiba di Bandara London, aku langsung menghubungi Mama dan secepatnya ingin menemui Mocha.
Mocha melanjutkan study nya di Universitas London, aku bingung kemana harus pergi. Ke kampus Mocha atau ke hotel ku. Ya, mungkin di hotel melihat pemandangan membuat fikiran menjadi lebih fresh.
London Marriot Hotel menjadi salah satu impianku untuk menginap di sana, menginap untuk beberapa hari tak masalah sebagai ganti rugi atas kerja kerasku selama ini.
Setelah check-in, pemandangan yang indah bak surga dunia sudah ada di depan mata, aku merasa sangat segar berada di tempat ini.
Ku coba menghubungi Mocha, beberapa saat terdengar jelas suara Mocha
"Hallo, No, lo udah sampe?" tanyanya, aku kaget sebab dari mana dia tau kalau aku sudah ada di London. Jawabannya adalah Mama, aku yakin benar Mama tak begitu percaya dengan omongan ku, dasar Mama, sudah membuat rencana ku gagal.
"Hallo .. No,.. Halo.. Lo gak papa kan?" tanyanya lagi dengan suara agak keras
"i iya gue denger, gue udah nyampe, udah gak usah khawatirin gue , gue sekarang udah dihotel, kita ketemu di Big Ben" pintaku padanya
Setelah aku membenahi pakaian, aku bergegas pergi menuju Big Ben, jam nasional yang menjadi ikon London itu. Aku menoleh kekanan kiri mencari keberadaan mocha, namun tak juga terlihat
"darrrrr" aku sedikit terkejut dengan kedatangan mocha yang entah dari mana.
"dasar bocah, hobinya ngagetin gue" aku melihat perubahan mocha di negara maju itu, mocha mengenakan dres putih dibalut cardigan lengan panjang berwarna hijau memadu padankan betapa cantiknya mocha, ditambah rambut pirang sebahu yang sengaja digerainya. Ia mungkin sudah terbiasa tinggal di negara ini. Berbeda denganku yang hanya memakai celana jeans,kemeja biru dengan jaket tebal dan sepatu sneakers.
"ayo ikut gue, gue mau ajak lo jalan" mocha menggandeng tanganku sangat erat, lalu kami tak lupa mengabadikan momen yang entah kapan lagi bisa terulang, kami menelusuri tempat-tempat favorite seperti Menara london dan jembatan menara. Aku dapar merasakan betapa bahagianya mocha saat itu. Hanya aku dan mocha.
Mocha yang ternyata tinggal di apartmen yang tak jauh dari hotelku menjadi lebih sering bertemu. Esok aku dan mocha rencananya akan ke mata London, salah satu wahana bianglala terbesar, aku ingin mencobanya. Tak lupa kami memberi kabar pada mama disana.
Esoknnya hari begitu dingin, mocha yang datang menemuiku di hotel tampak begitu manis, mengenakan sweater merah jambu, aku bersiap sebentar
"kebiasaan deh lo no, selalu gue yang nunggu lo" gerutunya
'lo gak tau aja cha betapa lamanya gue nungguin lo'ucapku dalam hati
Aku hanya diam tak ingin berdebat dengan mocha, moodku sedang baik dan aku tak ingin mood ku hancur sepagi ini. Kami pergi dengan taxi, aku sengaja menjaga jarak dengan mocha lantaran ia kini tak lagi sahabatku, ia kini sudah milik orang lain.
Setibanya di mata London, suasana terlihat agak berbeda, aku yang tak mau banyak bicara sibuk dengan ponselku dan mocha sekarang entah dimana, aku mencoba mencarinya, lalu mataku tertuju padanya,ia terlihat berdebat dengan seorang lelaki disana.
"Mocha" sontak aku memanggilnya dan menghampiri dirinya.