webnovel

MISSING WIFE

TAMAT MATURE CONTENT (21+) Harap bijak dalam membaca! Mentari Handoyo, seorang putri angkat dari Mirna Arzeta Wijaya. Ia harus menyembunyikan identitas aslinya dari Laura, putri kandung Mirna. Mentari bekerja sebagai seorang pengasuh untuk mengelabui kakak angkatnya itu. Ia hanya menandatangani surat kontrak kerja selama setahun. Siapa sangka, ia terjebak dalam jeratan ayah dari anak yang diasuhnya. Waktu setahun itu bertambah panjang, karena ia melakukan pernikahan kontrak dengan sang majikan. Siapa sebenarnya Mentari? Mungkinkah mereka bisa saling jatuh cinta?

Sekar_Laveina_6611 · Urban
Not enough ratings
252 Chs

Dikunci bersama di kamar William

"Mama!"

Monica terbangun dari mimpinya. Ia berteriak memanggil Mentari yang sedang mendengarkan keluhan William karena membawa anaknya pergi tanpa izin. Sebelumnya, Will bersikap masa bodoh jika Monica ingin bersama dengan istrinya namun desakan Dirga membuatnya harus rela memisahkan anaknya dari Mentari.

"Ya!" Mentari segera berlari ke kamar, disusul William di belakang.

Gadis kecil itu menangis karena tidak menemukan Mentari di sampingnya. Mereka tidur berdua,  saat bangun seorang diri, gadis itu berpikir Tari telah meninggalkannya. Kedatangan Tari dan ayahnya menghilangkan segala ketakutan Monica.

"Ada apa, Sayang. Mama di sini, jangan takut," ucap Tari sambil memeluk erat Monica. 

Wajah mungil gadis itu menempel di dada Mentari, bersembunyi rapat dari pandangan sang ayah. Mentari melirik sekilas kepada William dengan pandangan tak suka. Gadis kecil itu bermimpi buruk saat Tari tidak berada disisinya, lalu ayahnya ingin memisahkan gadis kecil itu darinya.

'Bagaimana ini? Monica sudah sangat bergantung akan kehadiran istriku. Aku tidak tega memisahkan mereka.'

William membatin lirih. Ia berdiri terpaku di tengah pintu kamar Mentari, melihat dua sosok wanita yang sangat berarti baginya. Pemandangan yang telah lama mengisi angan-angannya itu kini terpampang jelas di hadapannya, lalu ia berniat merusaknya.

Bam!

Laki-laki itu pergi setelah memukul daun pintu dengan kesal. Membuat kedua wanita yang sedang berpelukan tu berjingkat kaget. Pak Ran berlari mengikuti tuan majikan yang terlihat sangat marah. Terlihat dari wajahnya yang merah padam.

"Papa marah karena Monic nakal, ya, Ma?" tanya Monica sambil menyeka sisa air mata di bawah mata sipit khas bangun tidur. Suaranya parau seperti sedang batuk.

"Tidak, kok. Papa sedang banyak masalah di kantor, jadi kecapekan dan marah-marah. Papa tidak mungkin marah sama gadis secantik bidadari seperti ini," ucap Mentari sambil menangkup kedua pipi Monica. Menghibur gadis kecil itu mungkin tidak akan berguna, karena Monica memiliki kepintaran yang cukup untuk menilai seseorang berbohong atau tidak.

"Hum …," desah Monica pelan.

"Monic belum makan siang, kan? Makan siang dulu dengan Bi Sa, oke! Mama mau pergi bicara dengan papa," ucap Tari. Ia mengecup kening gadis kecil itu, lalu pergi mencari Willam.

'Dia sudah keterlaluan. Aku harus bicara dengannya.' Tari bergumam kesal dalam hati. Monica masih kecil dan kelakuan ayahnya bisa saja membuat gadis kecil itu trauma. Apa pun bentuk kekerasan di depan anak, bagi Mentari itu adalah suatu kejahatan.

Tidak peduli jika itu adalah ayah dari Monica, Tari juga harus membuatnya membayar atas kelakuannya. Ia sudah berdiri di depan kamar William. Sebelum masuk ke kamar, ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan kasar.

Brak!

"Aahh!" teriak Tari saat melihat William dalam keadaan polos. Ia berbalik hendak pergi, tapi laki-laki itu memegangi baju Tari. "Lepaskan aku!"

William tidak mengabulkan permintaan istrinya. Ia justru menutup pintu dan menekan tubuh Mentari ke pintu. Dalam keadaan tanpa sehelai benang yang menutupi tubuh kekarnya, ia menempelkan tubuh bagian depan ke punggung Mentari.

Mentari tercengang dengan kedua mata membulat dan wajah yang seketika bersemu merah. Bagaimana tidak? Ia tahu seperti apa keadaan tubuh laki-laki yang sedang menekan tubuhnya saat ini. 

'Apa yang dia lakukan di sana? Di bawah, seperti ada … tidak! Tidak! Apa yang sedang kupikirkan?'

"Apa kau selalu seperti ini?" tanya William dengan suara berat seperti menahan sesuatu. Ia berbicara tepat di samping telinga Mentari dan bibirnya menempel sedikit tanpa disadari olehnya.

Namun, Mentari merasakan embusan napas dan lembutnya bibir merah yang jarang menyentuh tembakau. Darahnya berdesir saat laki-laki itu berbicara. Bagai ada jutaan kupu-kupu yang terbang mengelilingi mereka. Keduanya sama-sama terbuai dalam keadaan hening.

Tari ingin memberontak, tapi ia takut. Jika dia berbalik  mendorong William, bukankah artinya Tari akan melihat tubuh polosnya? Gadis itu akhirnya hanya bisa memejamkan mata, berharap laki-laki itu berhenti menekan tubuhnya.

"Aku bertanya padamu dan kau harus menjawabnya!" William menangkup dagu gadis itu, menengadahkan wajahnya ke atas agar menatap kepadanya.

Tinggi badan Mentari yang tidak terlalu tinggi, membuat ia bisa melihat wajah William dengan jelas meski dari bawah. Bibirnya yang semula ingin memarahi Will, kini seperti terkunci rapat. Bahkan, ia tidak mampu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan suaminya yang tampak marah.

"Aku tanya sekali lagi! Apa kau selalu seperti ini?"

"Se … seperti apa?" Mentari balik bertanya karena tidak mengerti arah pertanyaan suaminya.

"Masuk ke kamar laki-laki sembarangan dan melihat tubuh laki-laki itu dalam keadaan telanjang," tandas Will dengan tatapan mata tak beralih dari wajah Tari yang menengadah.

"Aku … ah, sakit! Kamu pikir aku boneka yang bisa digerakan tanpa merasakan sakit? Leherku seperti mau patah," gerutu Tari dengan bibir mengerucut.

Deg!

Jantung Will berdetak cepat melihat bibir Tari bergerak saat menggerutu. Menggemaskan. Kata itu sedang berputar di dalam kepalanya. Separuh pikirannya seolah pergi dan membuatnya kehilangan kesadaran. 

"Ekhem …. Jawab pertanyaanku! Kenapa malah mengeluh?" Will mencoba menyadarkan dirinya dari rasa kagum akan bibir merah yang menggoda hasrat kelelakiannya.

"Aku menerobos masuk karena ingin bicara denganmu. Aku harap, kau tidak pernah bersikap kasar seperti tadi saat di depan Monic. Dia bisa mengalami trauma dan aku tidak ingin hal itu terjadi. Aku sudah selesai bicara, lepaskan aku sekarang!" Tari memberontak dan mendorong tubuh Will menggunakan punggung.

Sayangnya, Tari salah perhitungan. Apa yang dilakukannya justru membuat mereka jatuh terjengkang. Will menggunakan kesempatan itu untuk membalikkan tubuh istrinya. William menimpa tubuh Tari, memerangkapnya di antara lantai yang dingin dan tubuh panasnya. Hasrat yang terganggu sejak tadi pun dilampiaskan lewat kecupan yang dalam.

"Uhm …." Tari mendorong tubuh William agar menyingkir darinya. Namun, kedua tangannya dicekal oleh sang suami. 

Will berbaring di atas tubuh Tari dalam keadaan yang masih polos, membuat wanita itu semakin ketakutan. Mereka pasangan sah, tapi pemaksaan yang dilakukan Will membuat Mentari bergidik ngeri. Saat satu tangan Will perlahan-lahan menyusup ke dalam baju, sebuah ketukan menyelamatkan Tari.

"Mama! Papa!" Monica memanggil kedua orang tuanya dari depan kamar. Beruntung kamar itu terkunci. Jika tidak, tubuh polos ayahnya bisa dilihat oleh gadis kecil itu.

Will berhenti mencumbu istrinya. Kesempatan itu dipergunakan Tari untuk mendorongnya pergi. William naik ke atas ranjang dan menyelimuti tubuhnya sebelum istrinya membuka pintu.

Klek!

"Mo … Monic! Kenapa kamu datang mencari Mama? Kan, mama sudah menyuruh kamu untuk makan," ujar Mentari sambil merapikan baju yang kusut karena ulah tangan jahil suaminya.

'Sial! Aku hampir kehilangan kontrol. Tari sangat menggoda. Kalau terus berada di dekatnya, aku takut tidak bisa menahan hasratku.'

Monica menoleh ke arah ayahnya yang berbaring di bawah selimut tebal. Lalu, pandangannya beralih kepada Tari yang rambutnya terlihat acak-acakan. Gadis kecil yang terlalu sering melihat drama itu pun menebak apa yang sedang dilakukan kedua orang tuanya sebelum ia datang. Merasa telah mengganggu, Monica mengambil kunci kamar dan mendorong Mentari kembali ke kamar lalu mengunci pintunya dari luar.

*BERSAMBUNG*