webnovel

Festival Sungai Arandra

“Eh. Ooo,” karena yang di pikirannya saat itu hanya ada Arandra. Soa terlihat tidak siap dengan pertanyaan Dori. Ia tampak linglung sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Ya ... Dia memang keren,” sebisa mungkin gadis itu berusaha menyambung.

“Aku yakin, dia pria paling keren yang pernah kau jumpai.”

Terukir senyum terpaksa di bibir Soa yang tak bisa ia tahan. Gadis itu tak habis pikir kenapa sahabatnya begitu tergila-gila pada Ivander Azura. Tidak ingin membuat kecewa, Soa pun terpaksa mengiyakan, “ya. Dia pria paling keren yang pernah kutemui.”

Langsung saja Dori tertawa bersemangat, dan kembali memfokuskan pandangannya hanya kepada Ivander Azura.

“Jadi dia pria paling keren!” betapa kagetnya Soa karena Arandra telah muncul di samping kanannya. Ingin sekali ia berteriak agar hantu itu tidak selalu mengejutkannya namun apa daya, itu hanya membuatnya dianggap sebagai orang gila. “Laki-laki itu sangat pandai mempengaruhi para gadis! Apa kalian pikir dirinya tak akan menua dan lemah? Jadi untuk apa kalian berteriak di sini sampai lupa waktu.”

Soa merasa harus pasrah, tak ada pilihan lain selain mendengarkan gabungan antara perbincangan hangat Ivander dan Zoe di atas panggung, dengan celoteh sang hantu di dekatnya.

Ivander Azura mengisi acara dengan sebuah lagu miliknya lagi. Itu adalah lagu terakhir yang ia bawakan di Festival Sungai Arandra. Ingin memanfaatkan waktu yang tersisa, semua gadis yang sudah sangat hafal dengan lagu itu ikut bernyanyi bersama. Sementara Soa yang tak hafal hanya bisa menerima ajakan Ivander untuk kompak berbarengan mengangkat tangan sambil melambaikannya ke kanan dan ke kiri.

“Lagunya sama sekali tidak enak!” celetukan Arandra terdengar jelas di telinga Soa. Lagi-lagi ia harus menahan diri untuk tidak menimpali.

“Pokoknya aku harus berfoto dengannya!” Dori berujar penuh semangat.

“Aku ikut! Aku ikut!” Hanna pun sama.

Soa melirik ke arah Arandra, hantu itu sudah bersilang tangan dengan angkuh menunggu apa yang dikatakan Soa. Tanpa ragu gadis itu pun menambahkan, “aku juga mau ikut!”

Arandra langsung terbelalak. “Astaga, kau ini.”

“Itu bagus Soa. Kita akan berjuang bersama untuk bisa berfoto bareng dengan Ivaander Azura!” seru Dori.

Soa hanya membalas tersenyum lalu menoleh kembali ke arah Ivander.

Tak berselang lama sang bintang turun panggung. Dori langsung mengajak Hanna dan Soa untuk mengejarnya ke belakang layar. Bukan sesuatu yang mengejutkan memang, ketika mereka tahu bukan hanya mereka yang hendak menyusul Ivander Azura, akan tetapi gadis-gadis lain pun juga melakukan hal yang sama.

“Sepertinya kita akan sulit mendapatkannya,” ujar Hanna di tengah kerumunan.

“Yeah. Aku bahkan kesulitan melihat Ivander,” balas Dori.

“Kau hanya membuang-buang waktumu, Soa!” ketus Arandra.

Dengan kondisi yang berdesak-desakkan seperti itu, Soa tak tahan lagi dengan sikap Arandra. “Dasar berisik! Berhentilah menggangguku! Tidak seharusnya kau mengganggu kesenangan orang lain!”

Arandra yang terkejut dengan amarah Soa tak kalah menimpali. “Dasar perempuan galak! Aku hanya tidak ingin kau membuang waktumu!” balasnya kesal, kemudian dengan seenaknya ia menghilang.

“Hei, kenapa kau membentakku?!” seorang gadis merasa tersinggung dengan sikap Soa. Jelas saja, karena ia tak pernah menyadari kehadiran Arandra.

Soa kaget bercampur bingung. Ia sudah berhasil menarik perhatian orang-orang di dekatnya. “Soa kau kenapa?” Hanna sama herannya dengan Dori.

“Ma-maaf,” Soa gelagapan. Ia berusaha menemukan alasan. “Aku tidak membentakmu,” ucapnya membela diri.

“Lalu siapa yang kau anggap mengganggu?” gadis berkulit sawo matang itu belum puas. Kedua temannya juga ikut memasang raut muka tak senang. Mereka menunjukkan keberanian untuk menantang Soa duel.

Soa masih bisu, berusaha membentuk kebohongan yang masuk akal. Ia lihat Arandra muncul lagi namun sedang asyik berdiri tersenyum meledek di belakang gadis yang tersinggung itu. Soa dibuatnya makin geram, namun hal itu percuma, bukan? Secara wujud nyata, orang yang harus dihadapinya adalah tiga wanita di depannya.

Tiba-tiba saja seekor lalat melintas di pikiran Soa. “Lalat itu!” Soa bersuara seraya menunjuk ke arah Arandra. “Lalat itu yang membuatku kesal. Dia terus mengikutiku!” ganti kini Arandra yang terpancing kesal, ia tahu kalau lalat adalah julukan yang sengaja Soa berikan padanya. Para gadis itu mencari-cari, termasuk Hanna dan Dori. “Ah, untunglah lalat mengesalkan itu sudah pergi. Sekali lagi maafkan aku,” sambung Soa sebelum mereka berhasil menemukan si hewan lalat.

Gadis yang tersinggung mulai memaklumi. “Baiklah,” ucapnya santai. Akan tetapi tatapan matanya masih terlihat menantang. “Seharusnya kau pergi mandi dulu sebelum kesini,” celetuknya diikuti tawa kedua temannya.

Soa yang tidak ingin terjadi konflik, memilih membiarkan mereka berlalu dari hadapannya dengan tawa yang mengejek.

“Kenapa jadi mereka yang membuatku kesal!” geram Dori.

“Sudahlah, aku tidak ingin ribut. Seharusnya aku lebih bisa menjaga mulutku.” Soa tidak ingin teman-temannya terpancing, lalu ia mengajak Dori dan Hanna untuk melanjutkan rencana mereka mengejar Ivander Azura dan meminta foto bersama.

Terlalu banyak para penggemar bergerombol mengerubungi aktor itu. Mereka harus bersaing kuat untuk bisa berfoto bersama. Tentu ini akan memakan waktu yang sangat lama untuk antre, dan tidak menjadi jaminan juga mereka akan mendapatkannya. Sang aktor bisa saja pergi tiba-tiba karena kewalahan.

“Rasanya aku tak sanggup kalau terus berdesak-desakan begini,” Soa berubah pesimis.

“Dasar payah, cinta itu butuh pengorbanan!” Dori begitu gagah berkata. Tanpa menunggu kawan-kawannya, ia melangkah maju menyelip di antara mereka yang tergila-gila.

Hanna dan Dori langsung melongo saling berpandangan. “Dia sungguh pantang menyerah,” komentar Soa takjub.

Hanna pun mengangguk lesu. “Andai kepercayaan diriku sepertinya.”

Terselip komentar Arandra. “Apa mereka tidak memiliki pekerjaan yang lebih penting?”

“Kalau kau pernah menyukai seseorang. Harusnya kau paham,” jawab Soa tanpa melepaskan pandangannya dari Ivander Azura yang begitu sabar menghadapi penggemarnya.

“Tentu saja aku tahu,” justru Hanna yang malah menjawab. Membuat Soa sadar, lagi-lagi ia lupa kalau tak ada seorang pun kecuali dirinya yang bisa melihat dan mendengar Arandra.

Hantu tampan itu berdiam diri dalam perenungannya. Hatinya jadi tergelitik oleh ucapan Soa. Ada sebuah benak memahami yang ia tangkap dari perjuangan para penggemar itu. Perasaan mereka tentu saja pernah ia rasakan, menyukai seseorang yang sulit sekali untuk ditemui. Bahkan untuk duduk bersama pun mungkin tidak akan terjadi. Seorang yang menyukai hanya bisa melihat dari jauh dalam diam, sekuat tenaga mengejar meski tanpa balasan sepadan.

Melihat Soa yang begitu serius dengan usahanya, sebuah ide pun muncul di pikiran Arandra. “Kau betul-betul ingin berfoto bersamanya?” tanyanya pada Soa. Kali ini gadis itu lebih sadar, ia tidak menjawab sepatah kata pun. “Beri saja aku anggukan jika kau memang ingin,” lanjut Arandra paham dengan maksudnya.

Soa pun menatap mata Arandra penuh kesungguhan, dan dengan ringan langsung saja anggukan kepala itu menjadi sebuah jawaban. Tanpa gadis itu terka, Arandra bersiap melakukan sesuatu untuknya.

Soa lihat Arandra berjalan dengan lapang menerobos kerumunan orang-orang itu. “Arandra? Apa dia mau meminta tanda tangan juga?” gumam Soa di dalam hati.